Mulai Capek dan Lelah

Photo by Marion Michele on Unsplash



It's tiring.

Menyadari sebuah fakta bahwa selama ini gue sering melakukan sesuatu berdasarkan motivasi: demi menjaga nama baik.

Nama baik diri sendiri, nama baik keluarga, nama baik kampus tempat kuliah dulu, nama baik perusahaan tempat gue bekerja.

Dan itu semua sangat prestigious.

Bergengsi.

Mengangkat harkat dan martabat gue sebagai manusia yang diakui eksistensinya oleh orang-orang di sekitar gue.

Sometimes, gue hanya fokus pada menjaga nama baik itu.

Tak peduli seberapa tak nyamannya diri ini untuk melakukan hal tersebut.

Yang penting nama baik tetap terjaga.

Yang penting bisa ngikutin ekspektasinya orang lain.

Ekspektasi orang lain mulai jadi hal yang sangat penting buat gue.

Padahal, ekspektasi diri sendiri aja sulit gue urusin.

Ini apalagi ekspektasi orang lain yang...kadang mereka gak tau detil kehidupan gue tapi semudah itu memberikan judgement.

Who are you, people?

Terus...lama-lama gue capek juga ya mikirin ekspektasi orang terhadap apa yang gue lakukan.

Kadang, gue berpikir untuk bertingkah laku baik supaya orang-orang enggak nge-judge gue jahat.

Supaya gue 'alim-looked'.

Supaya gue 'karena-gue-orang-Kristen-dan-udah-hidup-dalam-Yesus', so I shouldn't looked bad; bukan dengan kesadaran bahwa harusnya gue berbuat baik untuk dilihat Tuhan Semesta Alam yang tak kelihatan.

Yes, gue ternyata lebih fokus melakukan sesuatu untuk dilihat manusia.

...and it's tiring.

No, it's not just about doing the good deeds.

It's about heart and motivation.

-----

Hari ini gue mencoba untuk  "gak mikir" ketika akan melakukan pelayanan.

(Or perhaps I should say "pelayanan"?)

Karena gue cukup gagal paham dengan orang-orang sekitar gue yang katanya pelayanan tapi easy to judge, doyan becanda pas ibadah sampe too annoying (well I'm sure orang yang gak becanda pas ibadah juga belum tentu hatinya menyembah Tuhan, sih--tapi tetep intinya gue yang mau serius ibadah jadi keganggu!), yang kalo ibadah cuma nyari kuantitas tapi kualitasnya...ya gitu deh.

So, tudei gue beneran cuma bawa hati.

And...gue ngerasa ringan banget sih untuk melangkah.

Gue gak mau mikirin apa yang akan terjadi di ibadah yang tudei konsepnya hura-hura.

Gue gak mau mikirin gimana jadinya kalo ketemu orang-orang yang sangat sangat sangat malesin dan jadi batu sandungan buat gue.

Dan ternyata itu jauh lebih melegakan dan meringankan, gaes.

Ketika segala hal "buruk" terjadi sepanjang ibadah, ya gue udah bodo amat and didn't feel uneasy lagi.

Karena ya genjrengan gitar gue cuma untuk menyembah Tuhan (meskipun tetep aja gue ngerasa sedih banget orang-orang sekitar gue nyanyi kayak gaada nyawa).

Yasudahlah.

Terus, akhirnya gue sampai pada pemikiran bahwa: God, what a relief!

Aku yang cuma bawa hati ini ternyata gak sampai se-stress dulu loh pas ibadah tadi.

Gak sampai se-uneasy dulu.

Semua situasinya sama, tapi akunya yang merasa berbeda.

Gue pikir: iya yah, it's not our business to change their habit (yang jadi alesan gue untuk merasa uneasy bersekutu di sana).

But when I decided to change myself (my mindset, my focus, my expectation, my heart), yang ada di benak gue ya cuma Tuhan.

Nothing else.

Seriously, langkah gue pun jauh lebih ringan.

Gue memang masih tetap gak nyaman kok bersekutu di sana.

Very noisy, I feel the emptiness, no spiritual growth, membanggakan kesalahan / sifat jelek diri sendiri dan malas / takut melakukan yang benar (yeah, aneh kan.

Orang yang doing the right thing malah dicengin dan akhirnya jadi minder), tukang ngomongin orang di belakang tapi ngedoain aja kagak.

Tapi hal yang akan jadi ujian gue ke depannya adalah okay gue mau dan bersedia untuk melayani lagi di sana, TAPI tidak untuk mencari makanan rohani atau bersekutu secara rutin.

Kenapa?

Ini bukan judgement gue tapi pengalaman yang membuktikan: the longer I am with them, the more I'll be like them.

Bakal serupa dan segambar gue dengan mereka.

No, thanks.

Cukup sudah, gue capek dan lelah mengikuti ibadah yang kosong dan cem rutinitas checklist tapi gaada pertobatan dalam hidup.

Tapi kalau memang Tuhan kasih kesempatan gue untuk melayani di sana (biasanya sih jadi pemusik), I'll take it.

With the same attitude like I've done today.

-----

Beberapa langkah sebelum memasuki lokasi, tepatnya sebelum perempatan jalan, I whispered: "God, I'm scared."

Then I imagined God's respond be like: "For what?"

"For everything.

For some people who rejected me.

For some people who always 'threw a knife behind me'.

For being judged by them."

Lalu kuingat salah satu Firman dari khotbah ibadah Minggu lalu di gereja dekat rumah:

"Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau..." (Yeremia 1:8)

Then I whispered again: "Ok then, Lord. I will go in."

It's real, gaes.

GOD strengthen me when I was there; when I met all people, when I played the guitar, at any time.

It's real.

(Btw gue beneran berbisik loh ya, bukan ngomong dalem hati hahaha.

Bisikannya memang ketutup masker so nobody would see my mouth moved).

To feel God's guidance, sometimes you don't always have to use your logic.

When you tired, when you feel confused, when your brain is full of these earthy-things, just use your heart to trust His heart.

"Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri." (Amsal 3:5)

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN