Clickbait? Tulisan Ini Dijamin Akan Membuka Pandanganmu!

Photo by Jason Leung on Unsplash



(...ya kalo pandangannya gak dibuka mana bisa baca tulisannya! πŸ˜‚)

*****

Hari ini gue dateng ke sebuah acara yang dibuat sama Remotivi.

Mereka berkolaborasi dengan Virallo dan Kolega.

Judulnya: "CLICKBAIT PADA ERA DIGITAL".

Pertama kali liat judul eventnya gue langsung tertarik.

Apakah karena gue korban dari sebuah fenomena digital yang bernama clickbait?

Bisa iya, tapi itu bukan satu-satunya alasan.

Pertanyaan besarnya adalah: Clickbait itu haram atau halal, sih?

Dan gue rasa beberapa peserta lain yang hadir di ruangan diskusi hari ini punya pemikiran yang sama di kepalanya masing-masing.

Oke, gue akan bikin beberapa poin pandangan pribadi berdasarkan diskusi yang berlangsung tadi sore.

Gue juga akan bagikan beberapa hal serta sudut pandang yang kiranya bisa membuka wawasan kita sebagai warganet terkait isu clickbait ini.

*****

Ada 3 pembicara yang membagikan materi diskusi:

Mba Kustiah, Kontributor dari konde.co,

Mas Fauzan Hammy, Kepala Marketing dari Virallo,

dan juga Mas Roy Thaniago, Direktur Eksekutif Remotivi.

Sebelum melangkah lebih jauh, gue coba tuliskan dulu sebenarnya clickbait itu apa sih?

Apakah clickbait itu adalah sebuah judul artikel daring yang enggak nyambung sama isinya?

Atau apakah clickbait itu semata-mata: "Wow!", "HEBOH!", "...Nomor 5 Bikin Kamu Tercengang!", something like that?

Mari kita lihat arti kata clickbait menurut pengertian Oxford Dictionaries:

"(on the Internet) content whose main purpose is to attract attention and encourage visitors to click on a link to a particular web page."

Apakah ini artinya si clickbait memiliki tendensi negatif?

Bisa jadi.

Soalnya, tujuan utamanya adalah hanya menarik perhatian dan mendorong pembaca/pengunjung situs/warganet untuk NGE-KLIK sebuah situs tertentu.

(ini menurut gue yah, bukan ingin menggiring opini publik, jadi teman-teman pembaca boleh nih punya opini lain).

Tapi bentar, deh...

Tendensinya bisa positif juga, lho!

Dari sisi pembuat konten, kalo melihat definisi di atas, clickbait itu justru menguntungkan.

Soalnya, apapun konten yang ditulis pasti bisa banyak yang baca.

Kalo banyak yang baca, pageviews bisa tinggi, dan traffic juga bisa tinggi.

Untuk para pemain industri media, hal ini tentu penting banget buat narik pengiklan.

Dapet revenue deh dari situ.

*****

Photo by Elena Koycheva on Unsplash

Fenomena clickbait, atau yang biasa disamakan dengan 'tipu-tipu', enggak cuma ada di dunia media digital aja lho ternyata.

Dalam sebuah bisnis brand komersil, fenomena ini juga bisa terjadi.

Cuma memang labelnya bukan 'clickbait' aja.

You name it.

Contoh: pernah beli makanan ringan dalam kemasan?

Kita terpesona dengan kemasannya yang besar, tapi pas dibuka ternyata lebih banyak angin daripada isinya.

Well, sebenarnya ada alasan tersendiri kan kenapa kemasan itu harus lebih banyak anginnya daripada isinya?

Contoh lainnya: pernah dapet push notification promo dari aplikasi transportasi daring?

Di situ biasanya tulisannya: "DISKON 90% KEMANA AJA CUMA BUAT KAMU!"

Pas dibuka, ternyata ada tulisan "(Diskon maksimal Rp6,000)".

Yhaaaa πŸ˜‚

Dan kadang gue juga kesel yah kalo ada promo-promo di Instagram yang kelihatannya meyakinkan tapi ada tulisan kecil (biasanya di pojok kanan atau kiri bawah): "Syarat dan Ketentuan Berlaku"

πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Semacam...elo niat ngasih promo gak sih?

Tapi...

Memang seperti inilah yang dinamakan strategi marketing.

Gue pernah ada di posisi sebagai marketer sebuah bisnis restoran, dan hal-hal yang dianggap 'tipu-tipu' ini pun mau tak mau gue lakukan.

Gue agak lupa ya istilahnya apa kalo di dunia marketing tuh, mohon teman-teman yang anak iklan koreksi gue jika ada yang salah.

Ini bukan 'tipu-tipu', tapi sebuah cara untuk menarik calon konsumen supaya tertarik, dan akhirnya mau beli produknya.

AIDA = Awareness - Interest - Desire - Action

Itulah mengapa kalau di sebuah promosi, pasti yang bagus-bagusnya dulu yang ditekankan.

Enggak bisa tuh semua S & K dijabarin dalam sebuah bahasa promosi.

Panjang betul, dan gak akan menarik.

Gak akan ada konsumen yang mau beli.

Selebihnya, konsumen wajib baca syarat dan ketentuan yang berlaku.

NAH, jika aktivitas marketing ini mau disamakan dengan clickbait, sebenarnya bisa-bisa aja.

Berarti, dalam konteks ini, clickbait itu HALAL untuk dilakukan.

Inikah kesimpulan akhirnya?

Bukan.

*****

Dari bisnis brand komersil, kita kembali ke ranah media digital.

Kegelisahan beberapa orang terhadap beberapa pemberitaan di media daring adalah:

  1. Ketidaksesuaian judul dengan isi berita
  2. Eksploitasi kaum tertentu demi mendongkrak sisi menarik si berita (contoh: SARA, marginalitas, gender, dll)
  3. Ketidaksesuaian berita dengan interest si pembaca -- ini biasanya terjadi ketika kita udah bilang: "Ini berita apaan sih? Gak penting banget, asli."
  4. ...dan lain-lain silakan kalian sampaikan kegelisahan masing-masing.
Kalo udah kayak gini, apakah sepenuhnya salah pihak pembuat konten / media?

I don't think so.

Clickbait ternyata pada dasarnya tidak sama dengan 'menarik'.

Dalam dunia jurnalisme, kemampuan bikin judul menarik memang dituntut banget buat setiap reporter atau pembuat berita.

Berarti, sebenarnya kegiatan membuat judul yang menarik ini bukan hal baru di era digital, dong?

Dari jaman media konvensional puluhan tahun yang lalu pun ternyata para reporter sudah dituntut seperti itu.

Fungsinya apa?

Selain untuk memberi informasi dan pencerahan untuk publik, ya supaya banyak juga yang baca.

Buat apa bikin berita bagus-bagus kalo enggak ada yang baca gara-gara judulnya gak menarik?

That's why, skill bikin judul menarik tuh ternyata sepenting itu.

Dan hal ini gak termasuk dalam clickbait-ing.

Balik lagi ke definisi dari Oxford Dictionaries tadi, clickbait itu ya tujuannya cuma SUPAYA DI-KLIK aja.

Titik.

Masalah ada ketidaksesuaian konten dengan judul itu enggak diperhitungkan.

Ada 4 poin yang sempat dijabarin oleh salah satu pemateri tentang clickbait tadi:
  1. Adanya manipulasi informasi
  2. Manipulasi emosi
  3. Penyesatan (misleading)
  4. Penipuan
4 hal ini akhirnya bisa membuahkan kesimpulan kalau clickbait itu identik dengan hoax.

Jadi di sini SIAPA YANG SALAH YA?

Media dan para konten kreator, atau konsumennya?

Seorang senior pernah menasihati gue dengan kalimat bijak ini:

"Kalau ada masalah, jangan cari siapa yang salah, tapi apa yang salah."

*****

Wahai kalian para pelaku media, para pembuat berita, para pembuat konten.

Kupercaya bahwa enggak mudah memang mencari, memproduksi, hingga mempublikasikan sebuah konten dan berharap setiap konten membawa efek yang baik untuk semua pihak.

Apalagi ditambah kewajiban pekerjaan yang (gue yakin) enggak sedikit setiap harinya.

Ya ya ya gue paham kok.

Pernah ngalemin soalnya.

Tapi gue juga yakin dan setuju bahwa (mengutip summary dari Instastory-nya @kolegaco): Media yang baik adalah media yang menyajikan fakta dari 5W + 1H dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketinggian idealis lo!

Gimana caranya coba ngerjain semua hal itu saat lo dituntut untuk serba cepat?

Ya silakan diskusikan dengan industri media masing-masing 😊

*****

Photo by Amy Shamblen on Unsplash

Lalu apa kabar kita yang jadi penikmat konten-konten berita digital super berhamburan di layar smartphone setiap harinya?

Oke gaes, inilah saatnya kita wajib tau yang namanya literasi media / melek media / media literacy.

Di jaman media-yang-mendatangi-konsumen ini (kalo dulu kan konsumen yah yang datengin media, macem beli koran, langganan majalah, nyari-nyari loper koran, gitu-gitu), sebenarnya kita lagi ditantang untuk belajar kritis sama konten berita yang ada.

Enggak bisa lagi cuek dan langsung menelan setiap informasi yang didapat.

Apalagi sekarang udah pada pake ponsel pintar ya kan.

Jangan ngaku jadi pengguna ponsel pintar kalau diri sendirinya enggak lebih pintar dari si ponsel.

Sedih gak sih lo kalo hoax menyebar karena orang-orang yang cuma baca judul berita dan enggak baca isinya?

Gue yakin bukan cuma gue yang pernah ngeliat sebuah link berita yang dibagikan di Facebook atau Twitter, terus lo liat komen-komennya, dan lo menemukan ada warganet yang langsung cuap-cuap ini-itu gara-gara terpengaruh si judul.

Terus kemudian disanggah oleh warganet lain yang mengatakan: "Ini tuh maksudnya bla bla bla bla. Makanya baca dulu artikelnya sebelum komen".

Lalu lo pun berada di posisi bimbang antara "baca artikelnya atau enggak ya...". 

Duh, tapi kalo baca artikelnya berarti gue kena clickbait dan jadi nyumbang traffic buat si media dong?

Menurut gue sih ini bukan urusannya warganet ya.

Urusannya warganet adalah memiliki literasi media yang baik.

Banyak-banyak baca, rajin-rajin nyari pembanding (misalnya ragu dengan pemberitaan di media A, lo bisa googling dan baca referensi lain dari media B yang terpercaya), dan enggak perlu kepancing untuk forward sesuatu yang disebarkan di grup chat manapun.

Gue suka kesel yah kalo di grup chat tuh bhuanyaaaak banget forwarded chat yang kadang infonya meragukan.

Kadang ada berita si anu pindah agama lah (padahal gak terjadi), di tempat ini lagi ada bencana lah (padahal bencananya itu terjadi tahun berapaaa gitu, trus entah mengapa muncul lagi ke permukaan dan nakut-nakutin banyak orang, duh!), sampe info tentang lowongan pekerjaan pun bisa aja jadi hoax.

Gue paham, mungkin dari si pihak penyebar info ini niatnya baik.

Ingin berbagi informasi bermanfaat bagi seluruh anggota grup.

Tapi ya tolong sebelum menyebarkan, pastikan dulu apakah berita itu merupakan informasi terbaru atau udah basi.

Itu infonya beneran apa hoax.

Bukan yang langsung pencet menu terus forward dan mengklaim bahwa info yang dia sebarkan adalah benar adanya πŸ˜‘

Bakal jadi parah, kalo yang disebar adalah tautan-tautan berita yang sifatnya clickbait.

Makin parah lagi, kalo orangnya cuma baca judul dan gak baca isinya.

Ampun!

*****

Di rumah, gue coba memberikan kampanya literasi media ke orang tua gue biar mereka bisa lebih kritis pemikirannya.

Kalian para orang-orang muda juga bisa kok coba ajak orang tuanya untuk belajar literasi media.

Supaya enggak jadi korban hoax, dan enggak jadi pelaku penyebar hoax juga.

Ini cara simpel gue ya untuk menguji apakah berita yang gue dapat dari grup chat ini fakta atau hoax:

1. Copas seluruh isi chat-nya ke Google
Biasanya, kalau hoax nanti suka muncul tuh beritanya paling atas bahwa info itu tidak benar.

Kalo benar, ya pasti akan keluar juga tautan-tautan media daring yang pernah mempublikasikan berita itu.

Coba deh.

Bahkan bisa untuk nguji scam juga kok.

Scam itu kayak chat yang suka auto masuk ke elo gara-gara si pengirimnya gak sengaja nge-klik / tap tautan tipu-tipu.

Contohnya kayak Whatsapp berwarna lah, kupon gratis McD lah, sepatu Adidas gratis lah.

Padahal pihak mereka sama sekali enggak ngadain promo tersebut.

Sekali diklik / tap, boro-boro dapet promonya tapi malah disuruh nyebarin tautan itu ke 10 orang teman.

Baru mau close window dan bahkan belum sempet nyebarin, ternyata Whatsapp lo udah nyebarin chat tersebut secara otomatis ke semua kontak lo.

Ngeri, hahaha.

Itu scam.

2. Rajin-rajin pantengin media mainstream

TV contohnya.

Biasanya, berita yang memang heboh dan benar adanya tuh pasti masuk pemberitaan di TV.

Agak sulit nemuin hoax di TV karena sistem regulasi hukum dan etika penyiarannya udah kuat.

Beda sama media daring yang butuh kerja keras dari semua pihak untuk memantau kualitas kontennya.

---

Kembali mengutip summary dari Instastory-nya @kolegaco: "Pembaca yang baik adalah pembaca yang dapat memilih media berkualitas."

Yaaayyy itu benar gaes bahwasanya kita sebagai konsumen punya hak untuk milih media mana yang mau kita konsumsi! πŸ’ƒ

*****

Oh ya, mungkin jadi ada yang bertanya-tanya: trus gimana caranya gue bisa bedain mana yang clickbait dan mana yang enggak?

Dari diskusi tadi sore, gue mendapat pencerahan bahwa ketika lo sadar terjebak clickbait, lo sepatutnya sadar juga kalau situs media yang lagi elo baca kurang kredibel.

Kemudian lo bisa memilih apakah lo akan tetap menjadi konsumen si media tersebut, atau mulai pilih media yang terpercaya dan berkualitas.

Sekian πŸ’“

YUK, BACA! πŸ“–

*****

(P.S.: lalu hubungannya tulisan ini sama gambar cover-nya apa, Mei?)

Enggak ada.

Cuma ngambil dari unsplash.com (situs free-royalty-photos) dan cari foto-foto yang temanya pink / pastel biar sewarna sama background blognya 😜

Hehe.

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN