Ketika Pekerjaan Tak Hanya Sebatas Cari Uang dan Kerja Kantoran

Photo by Marten Bjork on Unsplash


(Tulisan ini telah tayang pertama kali di situs WARUNGSATEKAMU.ORG dan telah melewati proses penyuntingan oleh tim editorial)

---

Bagiku sukacita adalah ketika aku mendapatkan apa yang aku inginkan; semua keinginanku terpenuhi, semua ekspektasiku terjadi. Aku pikir, sukacita itu hanya identik dengan perasaan senang saja. Nyatanya, tidak selalu demikian. Termasuk dalam hal pekerjaan.

Aku memulai karirku sebagai marketing di sebuah bisnis restoran. Restoran tersebut merupakan tempat favoritku untuk nongkrong bersama teman-teman semasa kuliah. Ketika mengetahui bahwa aku diterima bekerja di sana, rasanya senang dan sangat bersyukur. Selain karena tempat itu adalah restoran favoritku, aku juga senang karena bisa merasakan bagaimana sensasi menjadi seorang pekerja setelah lulus dari universitas.

Awalnya semua terlihat menyenangkan. Aku juga berpikir bahwa aku akan bertahan sangat lama bekerja di bisnis restoran favoritku. Nyatanya, setelah melewati banyak pembelajaran, baik tentang tanggung jawab pekerjaanku, maupun tentang bagaimana menjalin kerjasama tim yang baik dengan orang-orang di sana, aku mengakhiri petualanganku dalam jangka waktu 2,5 tahun. Aku memutuskan resign karena aku takut terlalu nyaman. Aku takut kemampuanku tidak berkembang lebih banyak kalau terlalu lama bekerja di tempat itu. Ditambah lagi, sebagai lulusan dari ranah Ilmu Komunikasi, rasanya ada yang kurang jika aku tidak mencoba terjun ke dunia media. Akhirnya aku melamar ke salah satu perusahaan media besar di Indonesia, dan Tuhan menjawab doaku.

Lagi-lagi merasa sangat senang, bahagia, dan bersyukur bisa diterima di perusahaan media yang aku incar tersebut. Bahkan aku sempat merasa pekerjaan itu adalah panggilan hidupku di dunia berkarir. Di masa-masa awal bekerja, aku berekspektasi bahwa karirku akan sangat bagus di tempat ini. Dengan gaji yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, nama baik perusahaan yang berpotensi meningkatkan harga diriku di mata orang lain, memiliki teman-teman yang seru, dan beberapa faktor menyenangkan lainnya membuatku sempat merasa bahwa ini adalah pekerjaan terbaikku. Aku yakin bisa bertahan lama di sini.

Namun, 7 bulan bekerja adalah realita yang terjadi. Aku kembali memutuskan untuk resign karena aku tidak suka dengan konten media yang harus aku produksi setiap harinya. Ada idealisme di dalam diriku yang memberontak ketika aku mengerjakan bagianku. Aku bertanya-tanya: apakah ini salahku? Atau salah tempat kerjaku? Ekspektasiku hancur. Aku kecewa. Waktu itu aku sangat bingung karena kekecewaan yang kualami campur aduk; antara aku kecewa dengan tempat kerja yang tidak memenuhi ekspektasi, atau aku kecewa dengan diriku sendiri karena memiliki ekspektasi yang berlebihan. Aku sedih sekali harus berpisah dengan teman-teman yang seru dan tidak bisa bertahan lama bekerja di sana. Aku merasa tidak berguna dan gagal. Dengan kondisi ekspektasi yang hancur ini, aku memutuskan tidak melamar pekerjaan dulu selama 3 bulan.

Setelah 3 bulan, aku kembali membuka hati dan diriku untuk melamar bekerja. Kali ini, pilihanku kembali ke bisnis restoran karena aku merasa sepertinya aku memiliki minat di industri tersebut. Singkat cerita, aku kembali diterima di sebuah bisnis restoran sebagai Staf Media Sosial (Social Media Officer). Lagi-lagi merasa senang, bahagia, dan bersyukur, TAPI kali ini aku tidak merancang ekspektasi apapun. Aku belajar untuk menyerahkan karirku ke dalam tangan Tuhan dan belajar menikmati segala proses di pekerjaanku. Bisnis restoran kali ini cukup asing, karena aku belum mengetahui apa-apa tentang merek restoran ini sebelumnya. Sempat ada rasa takut gagal lagi, takut kecewa lagi, tapi aku mau belajar untuk selalu percaya bahwa Tuhan menyertai hari-hariku bekerja di sana.

Ketidaknyamanan mulai terasa kembali ketika aku mengenal karakter dari bosku yang, dalam pandanganku, memiliki karakter yang kurang baik dan kurang menjadi teladan, khususnya dalam hal bertutur kata. Ketakutanku saat itu adalah aku bisa terpengaruh, meskipun sebenarnya beliau memperlakukanku dengan baik dan profesional. Beliau juga mendukungku ketika aku bertanya-tanya soal job description yang menjadi tanggung jawabku. Hanya terkait tutur katanya saja yang membuatku tidak nyaman.

Sempat terpikir kembali untuk resign namun aku sudah terlalu lelah untuk menyerah. Akhirnya aku mencoba untuk menuangkan unek-unekku dengan cara bertemu salah satu abang seniorku yang adalah hamba Tuhan, Bang Alex Nanlohy. Meski sempat ragu, karena aku paham beliau pasti sibuk sekali, aku beranikan diri saja untuk mengontak dan puji Tuhan beliau mau menyempatkan waktu bertemu denganku sehabis membawakan khotbah di sebuah ibadah persekutuan mahasiswa.

Dari percakapan kami, aku belajar bahwa kita tidak akan pernah menemukan tempat kerja se-sempurna yang kita inginkan. Bahkan seorang petani pun harus turun menjejakkan kakinya di lumpur agar bisa bertani. Yang harus diperhatikan dalam aspek pekerjaan kita seharusnya adalah: Allah dimuliakan, pekerjaan tersebut tidak mengikat kita dalam dosa, orang lain terberkati, kebutuhan diri sendiri terpenuhi. Seusai pertemuan tersebut, aku merenungkan nasihat beliau, dan singkat cerita aku mengambil komitmen untuk bertahan sampai Tuhan sendiri yang benar-benar memberi sinyal bahwa aku harus berhenti bekerja di sana.

Dua minggu setelah pertemuanku dengan Bang Alex, bisnis restoran tempatku bekerja bangkrut. Restoran pun tutup, dan di situ aku sangat sedih. Sedih karena aku mulai menikmati apa yang kukerjakan, mulai belajar menerima karakter bosku yang sempat tidak membuatku nyaman, kembali berpisah dengan teman-teman baru, dan sedih karena aku hanya bertahan lebih singkat yaitu 6 bulan. Aku bertanya-tanya: Tuhan, Meista harus melamar ke mana lagi? Dengan kondisiku yang masih sedih, aku berniat melamar pekerjaan kembali di awal tahun 2020 (peristiwa tempat kerjaku bangkrut terjadi di awal Desember 2019).

Pertengahan Desember, mantan senior di tempat kerja lama menghubungiku. Beliau bertanya apakah aku memiliki teman yang bisa membantu timnya di bagian marketing dan media sosial untuk bantu promosikan sebuah perusahaan minuman teh. Berhubung aku sedang tidak bekerja, jadilah aku yang menawarkan diri untuk mengisi posisi tersebut. Singkat cerita, beberapa hari setelahnya aku diwawancara dan langsung diminta bekerja per 6 Januari 2020. Hingga tulisan ini dipublikasikan, aku masih bertahan bekerja di sana.

Jujur, akhirnya aku menemukan apa yang menjadi sukacitaku dalam bekerja: aku senang menolong orang lain. Aku tidak hanya senang dengan jenis perusahaan yang lagi-lagi di bidang kuliner, tidak hanya senang dengan jenis pekerjaanku yang kembali menekuni bidang pemasaran dan komunikasi, tapi aku juga senang membantu bosku memajukan produktivitas bisnisnya yang terbilang masih ada di tahap awal (startup). Tantangan, resiko, konflik antar pribadi tentu menjadi hal yang tak terhindarkan, karena aku bekerja di dalam sebuah tim, bukan seorang diri. Aku belajar bahwa berkarir tidak hanya tentang: uang, pengalaman, kebanggaan diri, atau status tidak menganggur, melainkan juga tentang kerjasama tim dan bagaimana berhadapan dengan karakter orang lain.

Aku juga belajar bahwa ternyata sukacita identik dengan rasa syukur. Rasa cukup. Aku tidak perlu lagi berekspektasi ini dan itu secara berlebihan karena aku yakin Tuhan menyediakan dan berikan yang terbaik buatku. Ini bukan berarti aku bisa bermalas-malasan dan tidak bijak dalam menggunakan waktu yang ada. Aku justru belajar bahwa melakukan bagianku dalam pekerjaan adalah hal terbaik yang bisa kulakukan. Membuat perencanaan dan memasang target itu sangat diperlukan, tapi melibatkan Tuhan di dalamnya itu jauh lebih penting. Ketika menyadari bahwa Tuhan terlibat dan Tuhan menyediakan, sukacita itu pun juga tersedia meskipun yang terjadi tidak selalu sama dengan yang kita harapkan atau inginkan.

Maukah kita selalu percaya pada-Nya? Tuhan Yesus memberkati.

---

Terima kasih sudah membaca sampai siniiii 🌈

Oh iyaaa, bisa baca juga nih tulisan-tulisan aku yang lain yang pernah aku kirim ke WSK πŸ˜‰:






Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN