Kejujuran: Sebuah Luka dan Bayar Harga—Para Cewek Pikir-Pikir Lagi Kalo Mau Menyatakan Perasaan, Hehe




Peristiwa penolakan yang terjadi di masa lalu ternyata bukan hanya sebatas menimbulkan luka dan trauma, melainkan perubahan pola pikir; khususnya dalam konteks bagaimana diri sendiri menilai serta memandang diri sendiri.

Tulisan ini aku dedikasikan khusus buat para cewek-cewek yang mungkin konteksnya saat ini lagi suka sama cowok. Tapi memang hati-hati, jangan sampe tulisanku ini langsung dijadikan best practice tanpa melihat bahwa setiap kita (khususnya para cewek) itu punya karakter, kepribadian, pola pikir, dan respon yang berbeda ketika menghadapi fenomena yang sama: menyukai seseorang dari kaum Adam.

---

Menyukai teman lawan jenis itu bisa gue bilang sebuah anugerah ya. Itu berarti kita diciptakan memiliki emosi, perasaan, dan bukan sebagai ras robot yang segala sesuatunya lempeng-lempeng aja gitu.

Dalam perjalanan dan petualangannya, kita para cewek pasti punya kisah dan cerita masing-masing ketika ada di fase ini. Balik lagi: characters matters. Ada yang easygoing santuy-mantuy, ada yang drama dan emosional (gue masuk ke kategori ini btw, wkwkwk), dan berbagai respon-respon lainnya.

Nah, tahun 2015 dan 2020 menjadi tahun "istimewa" bagi gue karena gue melakukan sesuatu hal yang...mungkin dalam kultur kita masih dianggap "taboo" ya. Sesuatu hal yang sempat menimbulkan luka dan trauma, yang nanti seiring dengan tulisan ini akan aku bagikan gimana update kondisiku saat ini.

Buat beberapa teman-teman yang pernah baca tulisanku di beberapa postingan (sejujurnya lupa juga sih aku pernah ceritain ini di mana aja, saking terlalu banyaknya nulis, wakakakk), aku salah satu cewek yang pernah berani menyatakan perasaan suka sama teman priaku. 1x di tahun 2015, 1x di tahun 2020. Tentu cowoknya beda ya, hahahh.

...dan kedua pengalaman itu tidak berakhir "sesuai ekspektasi" alias penolakan.

Waktu itu memang gue hanya sebatas mengakui; mengemukakan dan menyatakan bahwa gue tertarik sama dia. Namun responnya memang sangat terlihat bahwa dari sisi dia, dia hanya ingin sebatas berteman dan gak lebih.

Dari sisi gue menilainya itu rejection, dong? 

Nah, seiring dengan berjalannya waktu, pemulihan demi pemulihan terjadi dan sepaket dengan pembelajaran yang bisa gue petik terkait hal ini: kejujuran itu tidak imun terhadap luka dan bayar harga.

Seperti apa lukanya?

Seperti apa bayar harganya?

---

1. Luka dari Sebuah Kejujuran

Lambat laun gue mengerti bahwa menyatakan kejujuran itu berarti siap menerima resiko terluka. Dan ini berlaku gak cuma buat cewek, tapi cowok juga. Itulah kenapa memang untuk urusan ini tuh gak bisa kita semberengen "Ah yaudahlah, nyatain aja. Yang penting lega. Dia nolak atau nerima itu urusan entar, yang penting dia tau dulu."

INI kesalahan gue waktu itu. Gue menganggap sepele emosi diri sendiri yang dikorbankan demi supaya si doi tahu bahwa gue suka sama dia.

Kenyataannya? Rasa ditolak itu ternyata seperti menorehkan luka goresan dalam yang diimplementasikan dengan beragam pemikiran negatif. Gue gatau apakah ini bakal berlaku juga buat cowok, tapi kalo gue waktu itu pemikirannya gini:

"Gue jelek banget ya?"

"Gue se-engga worth it itu ya?"

"Gue kurang rohani ya?"

"Gue se-enggak cantik itu ya?"

Gue menganggap diri sendiri sungguh amat negatif dan itu alih-alih menyembuhkan luka, yang ada malah menambah sakit luka itu sendiri.

Akhirnya butuh waktu yang cukup panjang untuk berproses dalam mengampuni dan menerima diri sendiri, sambil mengakui bahwa gue memang terluka saat itu. Penyesalan pun tentu muncul:

"Harusnya gue gak usah nyatain."

---

2. Bayar Harga

Selain luka, pemikiran negatif terhadap diri sendiri, perjuangan untuk memaafkan dan menerima diri, salah satu bayar harga dari sebuah kejujuran dalam konteks kasus ini adalah: efek jangka panjang.

2x ditolak teman yang gue (sempat) kagumi ternyata membuat efek jangka panjang di dalam pola pikir dan perspektif gue dalam melihat serta meresponi teman laki-laki. Gue jadi semacam...skeptis, insecure, dan langsung negative thinking sama temen-temen cowok bahwa "Udahlah, gue pasti ditolak."

Ini terbukti ketika gue kembali mengagumi seseorang tapi suara-suara yang beredar di pikiran tuh: "Dia bakal nolak lo. Dia bakal nolak lo. Gak usah suka sama dia, gak usah kagum sama dia."

Whooaaa, it's really haaaard for me to enjoy the friendship.

Baru sebatas kagum aja, rambu-rambu ketakutannya tuh udah ngiung-ngiung di kepala ๐Ÿšจ

Ini ngeselin banget karena jadinya gue gak santai dalam berteman. Gue gak santai ketika kembali berhadapan dengan teman-teman cowok yang memang baik. Kebaikannya mereka tuh langsung gue tangkis gitu, karena gue takut menyalahartikan lagi.

Dan efek jangka panjang ini masih terasa sampai saat ini.

Dalam prosesnya gue udah mulai belajar untuk menerima kondisi, kembali menerima diri sendiri, belajar berdamai sama diri sendiri, belajar melupakan yang memang harus dilupakan, tapi ya jujur ketika diperhadapkan sama situasi yang sama (konteks: ada seseorang yang dikagumi), ketakutan itu luar biasa menghantui.

---

Hari ini gue terpikir untuk melakukan kontemplasi lagi. Di tengah-tengah ke-iri-an gue dengan orang lain like: "Kok orang-orang pada gampang banget sik dapet pacar baru? Kok orang-orang pada gampang banget sik jadian? Gue kagum sama cowok aja struggling banget sama diri sendiri", gue mencoba untuk gak fokus sama rasa iri itu.

Gue kembali mengingat-ingat peristiwa ditolak itu untuk cari tahu apa sih sebenarnya motivasi gue waktu itu sampe harus menyatakan kejujuran? Gue bersyukur Tuhan mau berjalan bersama gue melewati proses-proses penyembuhan dan pemulihan hati dalam rentang waktu yang gak sebentar. Ya gue sih pengennya cepet-cepet sembuh yak, tapi ternyata dalam perjalanannya gue ngerasa Tuhan gak ngeburu-buruin gue untuk harus cepat sembuh. It feels like: "Take your time, Mei. I'm here with you. I want to heal your wound."

Akhirnya gue menemukan sebuah pola bahwa cara gue mengagumi/menyukai seseorang lah yang perlu dibenahi. Ketika gue mengagumi seseorang, ada ekspektasi yang terbangun dalam pikiran sendiri terhadap si orang itu, padahal sebenarnya gue belum mengenal dia lebih jauh.

Ketika orang yang gue kagumi merespon baik dan memperlakukan gue dengan baik, ekspektasi semu itu makin terpupuk dengan baik juga. Dan ketika sampai pada fase tertentu di mana ekspektasi itu tidak sama dengan realita, di situlah titik awal kekecewaan dan kehancuran akan dimulai.

Bukan kecewa sama si dianya loh. Tapi kecewa sama diri sendiri karena sudah pasang ekspektasi.

Ini pelajaran besarnya.

Ini yang bikin gue akhirnya menyadari: "Oh iya yah...begini ternyata pola pikir gue ketika gue mengagumi seseorang."

Dan tadi sore, gue mencoba berdoa:

"Tuhan, kalo rasa kagumku dan perasaan sukaku hanya akan membuatku terluka akibat ekspektasi; kalo kekagumanku dan perasaanku hanya akan mengganggu relasi pertemanan, aku lebih baik tidak menyukai siapapun kalau gitu. Karena kondisinya: kalau Meista kagum/suka = Meista berekspektasi. It will hurts me sooner or later. Izinkan aku berteman secara otentik aja, Tuhan. Gak perlu ekspektasi yang gimana-gimana. Sama...izinkan aku untuk kenalin hati aku juga, supaya aku sadar sama motivasi hati aku dalam mengagumi/menyukai temenku. Thank you ya Tuhan. Amin."

---

Jadi, memang kejujuran itu sepaket dengan konsekuensi. Gue gak bilang bahwa kita gak boleh jujur ya. Dalam konteks-konteks lain, kalo kita memang harus menyatakan kejujuran ya jujurlah. Tapi dalam konteks relasi seperti ini, ya alangkah bijaknya memang coba dipertimbangkan dulu aja. Siap resikonya, persiapkan diri untuk menerima hal-hal yang gak sesuai sama maunya kita/ekspektasi kita, dan lain-lain.

...dan yang terpenting...perjalanan yang gue nikmatin dari peristiwa ini (meski dalam kondisi struggling) adalah: gue gak berjalan sendirian. Tuhan kasih gue support system yang menolong gue untuk menyadari bahwa luka dan penyesalan yang dialami ini bukan hal yang patut disepelekan, tapi harus disembuhkan.

Gue yakin dan beriman bahwa gak selamanya gue harus ngerasain trauma ini. Move on-nya udah, sekarang tinggal bangkit dan merubah pola pikirnya.

Ini gak gampang, asli, tapi kita punya opsi untuk terus stuck dengan mindset penolakan itu, atau mau coba ubah haluan jadi lebih berpengharapan.

***

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN