Layu dan Haus

Photo by Michael Dziedzic on Unsplash


"Kau kuatkan aku bertahan

Kau harapan dalam kesesakan

Kau buktikan kesetiaan-Mu, Tuhan

Engkau Allah Imanuel."

---

Ketika lagu ini bukan lagi tentang gue menggumulkan seorang teman pria yang gue kasihi--nope, it's over by His grace-- tapi sekarang tentang gue tengah bergumul menghadapi pelayanan di sebuah persekutuan; bagaimana gue belajar sedikit-sedikit membuka hati dan diri lagi untuk terlibat di sana.

Tuhan begitu mengasihi mereka semua. Tuhan begitu mengasihi gue. Lalu siapa gue yang dengan sombongnya enggak mau mengasihi mereka?

Lord, but...this is too difficult for me to do...

Rasanya ingin mengatakan hal yang sama dengan nabi Musa ribuan tahun yang lalu: "Siapakah aku ini, maka aku yang akan..."

Atau dengan konteks jaman sekarang bahasanya lebih kayak: "Harus aku? Bisakah jika orang lain saja?"

---

Setelah banyak hal yang gue alami dan pelajari selama musim pandemi COVID-19 ini, setelah gue belajar mengenal diri sendiri, gue jadi belajar juga untuk memahami bahwa mereka sama rapuhnya dengan gue. Sama-sama longing-for-acceptance. Mungkin cara dan penampakannya aja yang beda-beda. Ada yang dengan penampilan fisik, popularitas, kesuksesan dalam pekerjaan, harta kekayaan, atau apapun. Tapi soal jiwa dan pertumbuhan rohani, I can't judge at all. Unless, gue mengenal mereka personal satu-satu dengan lebih baik, instead of mengenal 'kulit luarnya' aja.

---

"Dengan apa kan kubalas segala kebaikan-Mu?

Segenap hatiku menyembah-Mu, Yesus

Ku bersyukur pada-Mu, s'lamanya."

---

Jadi...hal pertama yang akan gue lakukan pada kesempatan ini adalah...

  1. Tanya pada diri sendiri apa yang masih mengganjal ketika berhadapan dengan mereka. Contoh: apakah mungkin gue masih merasa tertolak di sana, masih teringat hal-hal tak menyenangkan yang terjadi di masa lalu, iri karena yang lain punya teman/peer group sedangkan gue enggak, apakah masih ada perasaan selalu terhakimi, masih punya hasrat untuk "diterima", apakah masih ada pride yang tinggi, dan lain-lain. Telisik hati sendiri sampai mendalam!
  2. Bikin daftarnya, lalu doakan pelan-pelan. Doakan kondisi diri sendiri seperti yang sudah ditulis dalam daftar. Minta tolong pada Tuhan untuk sembuhkan luka dan bereskan duka di diri sendiri, khususnya terkait persekutuan ini. Akui segala kelemahan, kecenderungan, motivasi, ketakutan, pokoknya apa yang ada di hati dan pikiran dikeluarin aja dulu.
  3. (Biasanya abis doa berserah gitu sih rasanya agak legaan) Ingat dan fokus lagi apa yang jadi bagiannya Meista untuk dikerjakan. Kerjakan dengan tidak memikirkan (secara berlebihan) bagaimana respon mereka nanti, bagus atau enggak, garing atau enggak, kira-kira apa yang gue lakukan ini bakal diterima gak ya...STOP! Fokus aja dulu mengerjakan bagianmu.
  4. Setelah selesai, doakan apa yang sudah dikerjakan, dan serahkan pekerjaan tersebut pada Tuhan.
"Imanuel, Imanuel, Engkau besertaku

Imanuel, Imanuel, Engkau Allah besertaku."

Rasanya layu dan haus banget ketika ngejalanin ini. Tapi...yaudah jalan dulu aja deh ya.

(Sebuah perenungan pribadi ketika lagu "Imanuel"-JPCC Worship dan "Dengan Apa Kan Kubalas"-Symphony Worship menjadi lagu tema pergumulan Meista periode 2019-2020)

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN