Mengungkap Rasa Malu dalam Bentuk Mengasihani Diri

Photo by Joshua Reddekopp on Unsplash


Enggak ada yang nanyain kabar aku.

Enggak ada yang peduli sama keadaanku sekarang.

Enggak ada yang secara aktif inisiatif nanyain kondisiku lagi gimana saat ini.

---

Self-pity. Mengasihani diri. Mungkin itulah kondisi hatiku yang sebenarnya sedang terjadi saat ini.

Aku juga lagi gak paham sih, ada apa ya sama diriku dalam beberapa waktu terakhir ini? Rasanya lebih bad mood, males ngerjain hal yang produktif, lebih suka tidur-tiduran sampe ketiduran beneran, main game, lebih suka makan dan ngemil yang banyak tanpa peduli sama kondisi fisik yang gak banyak gerak, gitu-gitu deh. Padahal jika dibandingkan dengan beberapa waktu sebelumnya, aku ngerasa on fire sekali ngerjain banyak hal. Mulai dari nulis artikel untuk sebuah media anak muda Kristen, bikin konten buat blog dan Instagram, bikin ide-ide strategi marketing buat kerjaan kantor, ngubungin orang-orang untuk nanya kabar mereka apakah mereka baik-baik saja...

Ngapain sih lu Mei pake peduli sama kabar orang-orang? Mereka aja gak ada yang peduli sama lo!

Ya setidaknya itu lah pikiran yang sedang hadir di kepalaku beberapa jam terakhir ini. Aku juga heran kenapa ya aku peduli banget sama kabar orang lain, kabar teman-temanku di Instagram, di Whatsapp, padahal mereka juga kayaknya gak mau tau sama keadaanku.

Biasanya, pikiran-pikiran self-pity ini muncul dalam kondisi tertentu. Misalnya kalo lagi overwhelmed sama kerjaan yang buanyaaak banget, atau kalo lagi PMS (premenstrual syndrome)--sebuah kondisi di mana hormon dan emosi lagi kurang stabil menjelang periode datang bulan. Cuman masalahnya aku tidak sedang mengalami kedua hal itu, lho. Aku juga gak ngerti kenapa tiba-tiba jadi labil minta perhatian gini (ya jujur kadang-kadang jijik sih sama diri sendiri kalo lagi seperti ini).

Sedihnya, masa-masa aneh ini seakan-akan menstimulasi 'racun' yang ada di pikiranku dengan hal-hal yang, mungkin saja, hanya terjadi di pikiran.

You're worthless. You're useless. Nobody care about you or your life. Enggak akan pernah ada cowok yang bakal mengasihi kamu karena fisik kamu enggak bagus. Kamu enggak cantik! Kamu gak pantes punya teman-teman yang baik. Mereka gak sungguh-sungguh mengasihi kamu. Mereka cuma kasihan sama kamu. Udah lah! Menjauh aja dari mereka semua. Kamu lebih pantas untuk menyendiri karena kamu bukan orang baik! Inget rasanya ditolak kan? Ya karena kamu memang pantes ditolak!

Aku merasa ditinggalkan.

Voila! Inilah target utama dari rasa malu (shame) yang ada di dalam diriku.

Merasa terasing.

Merasa ditinggalkan.

Merasa harus menjauh dari setiap relasi yang aku terlibat di dalamnya, karena si shame ini bilang aku worthless. Gak guna ada di relasi manapun karena aku kurang segalanya. Aku merasa tidak cukup dengan diriku sendiri.

---

Photo by Olesia Buyar on Unsplash


Dalam bukunya yang berjudul The Soul of Shame, Curt Thompson memaparkan secara detil dan terstruktur tentang mekanisme rasa malu yang ada di dalam diri manusia. Hmmm...agak kesulitan sih memahami bagian sainsnya, tapi yang aku pelajari dari buku itu salah satunya adalah setiap hari kita pasti akan diperhadapkan dengan rasa malu dan rasa kasih dalam waktu yang sama. Sehingga selanjutnya, kita sebenarnya bisa mengontrol pikiran dan fokus kita mau dengerin 'kisah'-nya siapa; kisahnya si shame yang mengatakan hal-hal serupa pemaparanku di atas, atau kisah kasih Allah yang mengasihi manusia tanpa syarat?

Ada yang salah sama diriku.

"Rasa malu juga ingin kita merasa tidak suka dengan diri sendiri."

Dalam keadaan emosi seperti ini, mengetahui bahwa Tuhan sayang sama aku itu hanya sebatas kognitif. Pengetahuan akan sebuah kebenaran. Tapi hati tetap aja ngerasa kopong kayak tahu bulat. Bawaannya mengeluh terus dan berujung pada mengasihani diri (self-pity). Kurasa, shame sedang memainkan perannya kali ini. Shame sedang berharap aku hancur berantakan karena percaya dengan suara-suara yang ada di kepalaku tersebut.

Hohoho, tidak semudah itu, Mr. Shame.

Masih dari buku yang sama, Curt Thompson juga memaparkan cara untuk melawan si rasa malu ini. Aku langsung pada intinya aja yaa.

Rasa malu senang bersembunyi. Ia menggencarkan aksinya dengan cara menunggu saat yang tepat, lalu memberikan serangan dalam ketersembunyiannya. Meski rasa malu memang gak bisa dihilangkan 100% dari hidup manusia, tapi kita bisa bikin dia lemah. Salah satunya dengan cara keterbukaan. Mengakui pada orang lain bahwa diri ini rentan, lemah, dan mau menerima segala kelemahan tersebut menjadi salah satu cara efektif untuk melemahkan rasa malu. Seperti yang sedang kulakukan saat ini: nulis blog.

Aku gak tau siapa aja yang akan membaca tulisan ini. Mungkin kalian teman-teman satu persekutuanku di kampus. Mungkin kalian teman-teman gerejaku. Mungkin kalian teman-teman SD, SMP, SMA, kuliah, atau kantor. Tapi dengan menuliskan hal ini, aku merasa sudah mengungkap (entah sedikit atau banyak) si shame ini agar dia sulit bersembunyi lagi. Agar dia terlihat dan hal ini membuktikan bahwa akupun rentan. Gak masalah kalo ada yang mau mengkritik, menjauh, menghakimi, atau bahkan menolak. Satu hal yang aku inginkan adalah pulih. Pulih dari pikiran-pikiran aneh yang membuatku ingin menjauh dari kalian semua.

---

Photo by William Iven on Unsplash


Sore tadi aku sedang mengerjakan pekerjaan harianku di kantor seperti biasa. Lalu karena ingin istirahat sebentar dari satu pekerjaan yang telah selesai, aku pun main Instagram. Well, dalam kondisi hati seperti ini ternyata memang cukup berbahaya membuka media sosial yang konten-kontennya bisa berpotensi memberikan rasa iri πŸ˜… Melihat konten salah satu junior bersama pacarnya, konten foto salah satu teman dengan teman-temannya yang lain, dan beberapa konten lainnya. Menyadari aku makin iri hati, aku tutup aplikasi Instagram dan mulai menulis jurnal pribadi--ini semacam catatan pribadi kalau ada unek-unek yang numpuk di hati dan pikiran. Sambil nulis jurnal, akupun berdoa dan bertanya:

Tuhan, maukah Engkau menolongku? Lagi aneh nih aku, kenapa ya. Bawaannya self-pity dan minta banget ada yang nanyain kabar.

Berdoa dengan cara menulis adalah hal yang menyenangkan buatku. Entahlah, sepertinya kalau berdoa sambil ditulis itu bawaannya lebih jujur aja menyampaikan isi hati dibandingkan sekadar ngomong dalam hati.

Di jurnal tersebut juga aku menyampaikan kekhawatiran akan finansial. Yah, sebenarnya bersyukur sih di musim pandemi ini aku masih dipercayakan sebuah pekerjaan oleh atasanku. Cuma memang yang bikin khawatir adalah kebiasaanku sendiri, yaitu tukang jajan. Bete sedikit, langsung pesan minuman boba, misalnya. Lagi jenuh, langsung delivery minuman green tea. Jadi memang aku pun sadar bahwa manajemen keuanganku belum baik. Akhirnya ini berimbas pada manajemen keuangan untuk transportasiku sendiri saat pergi-pulang kantor.

Untuk transportasi hari ini sebenarnya masih cukup. Hanya aku terkendala akan uang receh. Kebetulan saldo e-wallet sedang kosong, jadi mau gak mau aku harus bayar menggunakan cash. Ketika ngecek harga ojek daring dari kantor ke halte Transjakarta terdekat, biayanya enggak nyampe 20ribu. Sedangkan aku punyanya lembaran 20ribu. Nanya sama temen kantor, dia juga enggak ada tukeran. Sebenarnya bisa-bisa saja aku bayar abang ojeknya sejumlah 20ribu. Itung-itung tip kan. Tapi ya mohon maaf kalau lagi ngirit gini ngetip juga rada hitung-hitungan πŸ˜” Akhirnya yaudah deh, memutuskan untuk pakai saja si selembar 20ribu itu. Gak apa-apa, mungkin rejeki bapak ojeknya.

Terus tiba-tiba temen kantorku yang hari ini lagi shift bareng bilang gini:

"Mei, lu mau kemana?"

"Balik, Mas."

"Engga maksudnya ke arah mana? Halte tije kan?"

"Iya."

"Bareng gue aja. Gue mau ke ATM. Lu halte tije mana? Pondok Indah?"

"Wah beneran gapapa nih, Mas? Iya gue biasa turun di PIM."

"Yaudah bentar. Belum pesen kan?"

Pesen ojek daring maksudnya.

"Belum kok."

Akhirnya singkat cerita aku nebeng dia sampai halte Transjakarta.

Untung bawa helm juga, jadi aman (kalo dipikir-pikir malah sekarang lebih gampang kalo mau nebeng siapapun juga yak, orang helmnya tiap hari pasti ngikut kemana-mana πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚).

Mungkin terlihat sepele, tapi buatku ini salah satu pertolongan Tuhan dan pengingat untukku bahwa Dia selalu menyertaiku dan membuka jalan untuk kekhawatiranku--yang saat itu sedang mikirin finansial.

Tuh kan...kehidupanmu enggak seburuk itu kok, Meista.

Lagi-lagi suara dalam kepalaku berbicara. Tapi kali ini nadanya positif. Yah...bener juga sih. Aku punya pilihan untuk fokus sama suara yang mana. Suara yang mengatakan bahwa aku sangat dikasihi oleh-Nya, atau suara-suara aneh yang mengatakan aku gak layak dikasihi sehingga harusnya aku menjauh dari semua orang.

Ketika nulis ini, gak bohong bahwa perasaan self-pity itu masih ada. Aku masih malas membuka beberapa percakapan di grup Whatsapp kecuali yang penting--setidaknya aku prioritaskan, bukan artinya grup lain tidak penting--seperti grup keluarga di rumah dan grup pekerjaan kantor. Tapi dari tulisan ini aku sendiri pun mau belajar bahwa percaya sama kasih Tuhan adalah yang terbaik; dibandingkan dengan percaya pada suara-suara negatif dalam kepalaku sendiri. Ya mungkin aja memang orang lain tak ada yang peduli dengan kabarku. But it's okay. Christ is enough for me.

Semoga ini bukan hanya pengetahuan kognitif semata, tapi pengen banget bisa merasakan dan menghidupinya lagi secara pribadi.

---

Terima kasih yaa sudah mau baca sampai sini 😊 Mungkin kalian sering melihat Meista versi dunia maya adalah Meista yang hobi main piano, Meista yang ceria, Meista yang punya banyak teman--karena beberapa postingan kebanyakan memang foto bareng temen-temen--atau gimanapun pandangan kalian tentang Meista. Tapi melalui tulisan ini kuharap kalian juga tau dan memahami bahwa kehidupanku tidak (selalu) seindah apa yang kuposting di media sosial. So, please don't be envy to me. We have different struggles, different problems, and different circumstances. Be thankful for what you have. Please 😊

God bless us all! πŸ’•

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN