Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

Photo by Simon Maage on Unsplash


Sebuah pertanyaan untuk diri sendiri saat work-from-home (WFH) hari ini...

---

Hari ini gue kembali dapet jadwal WFH. Sebenernya, PSBB jilid 2 ini gak ngaruh-ngaruh amat ke kebijakan pekerjaan kantor. Pertama, kantor kami itu bentuknya rumah kontrakan gitu. Bukan gedung yang akses masuknya perlu nge-tap kartu identitas karyawan. Kedua, gue bekerja di sebuah perusahaan yang baru banget berdiri alias start-up. Tim manajemen-nya aja cuma berempat, jadi kalo meeting koordinasi pun ya ketemunya 4L: Lo Lagi Lo Lagi. Hahaha. Maka dari itu, kebijakan WFO:WFH di kantor gue tetap 4:2. 4 hari ngantor, 2 hari kerja di rumah, dengan sistem shift. Ditambah lagi dengan kebijakan jadwal dan ketersediaan transportasi yang enggak berubah-ubah amat. Transjakarta tetap beroperasi hingga jam 22:00. Ojek daring pun tetap bisa diakses. Gak ada lagi alasan gue untuk ogah-ogahan ke kantor karena semuanya telah tersedia (macem perjamuan yaa kata-kata gue, wkwkwk).

Sebagai seorang Marketing Officer, salah satu jobdesc gue adalah mengelola dan menjalankan publikasi di media sosial. Mulai dari urusin postingan di Facebook, Instagram, sampai Google Business juga gue yang maintain setiap harinya. Nah, pas lagi buka Instagram, gue iseng scrolling profil Instagram gue sendiri. Tiba-tiba gue merenungi sebuah hal tentang: relasi. Kenapa se-random ini? Ketika gue perhatikan, postingan gue di Instagram pribadi ini kebanyakan foto bareng orang lain di momen-momen tertentu. Foto dengan keluarga, adik, teman gereja, teman kampus, teman se-organisasi, teman kantor, daaan kerabat-kerabat lainnya. Ada memang foto-foto diri sendiri juga yakhaaan, cuma memang komposisinya gak sebanyak foto bareng orang lain--ini sih memang karena pada dasarnya gue gak terlalu suka mejeng foto sendiri di media sosial kecuali untuk foto profil atau foto saat gue berada di momen-momen tertentu yang menurut gue berkesan. Lalu gue sampai pada pemikiran dan perenungan bahwa: apakah jangan-jangan selama ini Meista punya berhala relasi?

Jawabannya: bisa jadi.

---

Photo by Courtney Cook on Unsplash


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berhala diartikan sebagai: "patung dewa atau sesuatu yang didewakan untuk disembah dan dipuja." Dari sudut pandang kekristenan, Alkitab banyak memaparkan tentang menjauhi berhala, karena hanya Allah saja yang patut disembah dan dipuja. Izinkan gue untuk meng-copas sebuah artikel yang gue dapat (dan sangat memberkati gue hingga saat ini) dari buku acara Retret Koordinator (RK) XIII 19-23 Februari 2014:

---

GRACE DISPLACING YOUR IDOLS-IDOLATRY

Hal apa dalam hidupmu, kalau kamu kehilangan hal tersebut dapat membuat kamu kehilangan hidup?
Hal apa dalam hidupmu, kalau kamu kehilangan hal tersebut, akan membuat segala sesuatunya menjadi tidak berarti dalam hidup?
Apapun hal tersebut, Alkitab menyebutnya sebagai berhala. Berhala adalah segala sesuatu yang jauh lebih penting selain Allah bagi kebahagiaan hidupmu, makna hidupmu, atau identitas hidupmu. Penyembahan berhala adalah suatu bentuk keinginan yang kuat terhadap segala sesuatu bahkan terhadap hal yang baik seperti: keluarga, karir, prestasi, fisik yang menarik, romantisme, penerimaan manusia, keamanan keuangan, atau apapun.

Rebecca Minley Pippert berpendapat "Apapun yang mengendalikan hidup kita, disebut tuan kita. Orang yang mencari kekuasaan dikendalikan oleh kekuasaan. Orang yang mencari penerimaan, dikendalikan oleh orang-orang yang ingin dia senangkan. Kita tidak bisa mengendalikan hidup kita sendiri. Kita dikendalikan oleh tuan atas hidup kita".

Alfred Adler, seorang psikolog mengatakan, "sangat sulit menemukan untuk apa sesungguhnya anda hidup hanya dengan menanyakan pertanyaan tersebut, karena kemudian anda akan menjawab: 'saya hidup buat keluarga saya', atau 'saya hidup bagi Tuhan', atau 'saya hidup bagi orang lain'". Adler berkata, "jika anda ingin tahu untuk apa anda hidup, perhatikan mimpi buruk anda". Hal apa dalam hidup jika hal tersebut tidak ada, maka akan menghilangkan keinginan anda untuk hidup? Itulah berhala anda.

---

Dari bacaan ini gue kembali merenungkan apa yang terjadi di dalam diri gue akhir-akhir ini. Bisa dibilang gue masuk ke dalam fase insecure kehilangan kehidupan sosial atau kehilangan relasi dengan orang lain. Apalagi di musim pandemi seperti ini ya kan, ketika pertemuan tatap muka benar-benar dibatasi, mau gak mau perangkat gawai dan koneksi internet pun jadi kebutuhan utama untuk berkomunikasi. Bagi gue, berkomunikasi tatap muka dengan berkomunikasi melalui media gawai itu beda banget rasanya. Pengalaman-pengalaman pribadi membuktikan komunikasi melalui gawai memicu tingkat kesalahpahaman yang lebih tinggi dibanding berbicara langsung bertemu muka. Akhirnya, dalam kasus gue pribadi, asumsi dan persepsi lebih banyak bermain daripada logika. Emosi tak terkendali. Niatnya hanya mau jujur, tapi nyatanya bisa melukai hati; hati orang lain dan juga hati diri sendiri. Sadar telah menimbulkan luka, gue jadi insecure sendiri akan kehilangan relasi pertemanan. Inilah yang menjadi akar mengapa gue sangat menghindari konflik dengan orang lain. Gue lebih memilih untuk 'cari aman' demi supaya orang lain gak terluka gara-gara gue, dan supaya mereka tetap bisa jadi temen gue no matter what. Biarkan gue yang selalu mengalah dan menjadi pihak yang selalu salah. Rendah diri sempat menjadi identitas 'istimewa' gue.

Tapi...

Seiring dengan gue belajar tentang self-love, how to appreciate myself, gue menyadari bahwa pilihan 'cari aman' itu gak sehat, terutama untuk self-esteem gue sendiri. Gue cenderung untuk diam dan tak berani mengemukakan pendapat. Gue tidak tau apa yang menjadi kelebihan gue (strength) karena menganggap gue hanya memiliki kelemahan yang merugikan orang lain. Gue menganggap semua aspek hidup gue isinya cuma kesalahan. Di saat yang sama, gue juga menganggap jika pun punya kelebihan, apa gunanya? Useless. Maka dari itu, gue mencoba untuk belajar jujur kepada diri sendiri, dan juga kepada orang-orang terdekat. Gue belajar untuk menerima diri gue apa adanya. Rendah diri pelan-pelan gue ubah jadi rendah hati, artinya gue kudu paham bahwa gue berharga di mata Tuhan, bahwa Ia telah memberikan gue talenta serta kelebihan yang Ia percayakan untuk gue gunakan, namun di saat yang sama gue juga harus sadar bahwa gue hanyalah manusia berdosa yang diselamatkan karena anugerah-Nya. Jadi gue gak boleh sombong.

---

Yah, namanya juga belajar. Layaknya sekolah, gak mungkin kalo ulangan dapet nilainya 100 mulu yakhaan. Ada aja nilai jeleknya. Ada aja gagalnya. Ada aja jatuh-bangunnya. Never perfect since I still live in this galaxy. Di tengah sedang belajar untuk self-love dan mencoba jujur, hasilnya gak selalu sesuai sama apa yang gue mau. Hasilnya gak selalu menyenangkan gue. Kejujuran gue kepada beberapa orang (yang gue anggap dekat) nyatanya membuat gue sedih akibat dari respon yang mereka berikan. Sedikit ada rasa sesal dan pertanyaan "Why should I do that?!" ke diri sendiri. Kenapa saya harus melakukan hal itu--menyatakan kejujuran--jika saya harus membuat relasi pertemanan ini merenggang? Saya pikir kami sedekat itu sehingga kami bisa sama-sama siap untuk menghadapi berbagai kejujuran.

Nyatanya tidak.

Dan siang ini, gue tiba-tiba merenungkan jangan-jangan gue memberhalakan relasi pertemanan. Jika gue menanyakan ke diri sendiri pertanyaan dari artikel yang gue copas barusan: Hal apa dalam hidupmu, kalau kamu kehilangan hal tersebut, akan membuat segala sesuatunya menjadi tidak berarti dalam hidup?, sepertinya jawaban gue saat ini adalah: relasi pertemanan. Ketika gue ngerasa kehilangan hal ini, tendensi gue untuk kembali merendahkan diri serendah-rendahnya itu ada banget. Kecenderungan gue untuk kembali menyalahkan dan membodoh-bodohi sampai menghakimi diri sendiri itu sangat kuat. Sepertinya kehilangan relasi pertemanan menjadi mimpi terburuk gue yang sebelumnya tidak gue sadari. Dan...ketika gue kembali melihat catatan pertanyaan refleksi gue di buku acara RK 2014--jadi itu kayak ada tabel pilihan gitu, terus kita disuruh milih mana yang sekiranya related sama diri kita--gue menyadari ternyata gue masih 'memikul' berhala yang sama:

Jika Anda mencari: penerimaan (pengakuan, kasih sayang, relasi)
Mimpi terburukmu: penolakan
Orang-orang di sekitarmu merasa: overprotected / terpaksa
Masalah pada emosimu: takut/kecut



ALL FITS!

Gue se-ketakutan itu untuk kehilangan relasi dengan teman-teman gue, khususnya yang gue anggap lebih dekat. Ketika terjadi konflik, rasa penolakan (rejection) itu rasanya membayang-bayangi dan menghantui, terlebih ketika emosi masih menguasai. Well...now I'm realizing my inner-problem...

Masih artikel yang sama dari buku acara yang sama...

Polemik penyembahan berhala telah menjadi bagian dalam sejarah manusia, mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan memuja dan menyembah makhluk ciptaan dan melupakan Penciptanya (Roma 1:23-25)...Sekali kita melihat sesuatu yang dapat memberikan kita kebahagiaan dan kita tidak dapat mewujudkannya sendiri, kita akan menjadikannya berhala. Berhala tersebut akan mengikat kita, seperti yang dituliskan oleh pemazmur "Mereka beribadah kepada berhala-berhala mereka, yang menjadi perangkap bagi mereka." (Mazmur 106:36).

Pendekatan Injil

Analisis dasarnya: masalahnya adalah kita memandang kepada sesuatu yang lain sebagai sumber kebahagiaan selain Kristus. Kita sedang menyembah satu berhala dan menolak Allah. Bertobat dan bersukacitalah dalam-Nya! 

Pendekatan ini mengkonfrontasi kita terhadap dosa sesunggguhnya dari dosa yang tampak di permukaan dan di balik perasaan buruk kita. Masalah kita adalah kita telah memberikan diri kita dikendalikan oleh satu berhala.

Paulus mengatakan kepada kita, perbudakan dosa dihancurkan ketika kita keluar dari kehidupan yang dikendalikan taurat--ketika kita percaya kepada Kabar Baik, keselamatan yang merupakan Karya Kristus. Hanya ketika kita menyadari bahwa kita sudah dibenarkan dalam Kristuslah kuasa berhala-berhala itu dihancurkan. "Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia." (Roma 6:14).

---

Photo by Lauren Richmond on Unsplash


Anugerah Tuhan lebih besar dari penyesalan kita--sebuah pernyataan yang pernah gue baca, renungkan, dan ingat sampai sekarang dari salah satu artikel yang gue baca di warungsatekamu.org (lupa siapa yang nulis maaaap, bukan gue pokoknya hehe). Hingga gue nulis dan ngepost tulisan ini, masalah relasi gue sesungguhnya belum tuntas. Bukan, bukannya gue gak mau berkomunikasi dengan mereka, hanya gue sedang mendoakan apa yang harus gue lakukan sekarang? Gue akui di dalam doa bahwa gue gengsi untuk ngontak duluan. Gue takut ngontak duluan karena gue sadar ada yang belum selesai di dalam diri gue. Dan gue anti banget mencari pembenaran diri sendiri; mencari siapa yang benar atau apa yang benar. Daripada gue ngegas duluan ya kan, atau berharap dibalas pesannya nyatanya tidak dan berakhir kecewa, akhirnya gue memilih untuk berserah pada waktu-Nya. In other words, gue juga masih bingung gue harus gimana, wkwkwk. Jadi...maafkhan gue belum bisa memberikan "ending of the story of these relationship-idolatry" karena menurut gue masih on progress. Mungkin nanti bisa gue ceritakan di tulisan berikutnya :)

---

As always, terima kasih yaa sudah baca sampai sini 😊 I think it's a good thing untuk melakukan self-medical check up di masa-masa pandemi seperti ini. Kayak yang gue renungkan dan refleksikan secara random di hari ini. Sejujurnya gak ada rencana untuk belajar soal berhala, tapi gara-gara mantengin Instagram sendiri aja jadinya kayak sadar sesuatu. Dan gue harap teman-teman bisa belajar hal yang sama tentang diri kalian masing-masing. Karaktermu, masa lalumu, mimpi burukmu, berhalamu, talentamu, dan lain-lain. We are precious and special in the sight of God (Yesaya 43:4a).

Sedikit pertanyaan refleksi yang lagi-lagi gue copas--siapa tau ada juga yang mau merenungkan tentang berhala pribadi:

Apa langkah kongkrit yang bisa kamu lakukan yang membuat Kristus menjadi Raja dan Tuhan dalam keseluruhan hidupmu?

---

N.B.: nemu artikel ini ketika lagi Googling referensi ayat Alkitab yang menyatakan bahwa kita berharga di mata Allah --> "Kamu Berharga di Mata Tuhan"

Credit title for copy-pasted article:
"Diterjemahkan dan diedit dari buku Gospel in Life (Tim Keller) oleh KTB: Alex, Pur, Deve, Benny, Jacky, dan Arnel".
Buku acara Retret Koordinator XIII "Allah Panggil Kaum Muda", 19-23 Februari 2014 Wisma Aloysius, Ciwidey, Bandung. Penyelenggara acara: Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas).

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN