"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

Photo by Luke Leung on Unsplash


"...who I am inside?"

...adalah sepenggal lirik dari lagu original soundtrack film "Mulan" yang dinyanyikan oleh Christina Aguilera. Lagu yang berjudul "Reflection" ini benar-benar merefleksikan pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri, khususnya bagi gue yang tengah menghadapi isu personal: rejection. Merasa ditolak, oleh sesuatu atau seseorang, oleh banyak hal atau banyak orang, tanpa alasan yang jelas. Biasanya lebih banyak disebabkan oleh asumsi dan intuisi pribadi daripada logika.

Izinkan gue untuk melakukan sedikit 'pembedahan' terhadap isu ini melalui metode pendekatan 5W+1H ✌😁

---

Photo by Joanna Kosinska on Unsplash


Apa sih 'rejection' itu?

Mengutip definisinya dari Oxford Learner's Dictionaryrejection is the act of refusing to accept or consider something. Kalau parafrase versi gue, artinya mungkin lebih ke 'sikap menolak untuk menerima atau mempertimbangkan sesuatu'.

Kontradiktif yha...menolak untuk menerima πŸ˜•

Dalam kasus isu pribadi gue, penolakan ini lebih banyak dalam konteks 'merasa'. Gue merasa ditolak...gue merasa tertolak...sepertinya gue tidak diterima di komunitas ini...sepertinya gue tidak cocok berada di tempat ini...sepertinya gue tidak layak melakukan hal ini...dan sebagainya. Seperti yang gue bilang di paragraf atas, rasa penolakan ini--yang gue alami--lebih banyak disebabkan oleh asumsi dan intuisi pribadi daripada logika.

---

Dimana isu 'rejection' bisa terjadi?

Kalau untuk kasus isu pribadi gue, hal ini terjadi baik di dunia nyata maupun di dunia pikiran. Di dunia nyata, gue pernah ditolak cowok dua kali. Yes, gue pernah menyatakan perasaan pada dua orang cowok--dengan jarak waktu yang jauh berbeda pastinya yaa--dan dua-duanya menolak, atau dengan kata lain tidak merasakan apa yang gue rasakan, wkwkwkwk. Please jangan tanyakan apa dan kenapa alasannya, karena gue pribadi pun se-enggak ngerti itu kenapa gue bisa punya keberanian alias nekat menyatakan perasaan πŸ˜‚ Di dunia pikiran, jelas banget cuma otak gue yang paham. Pikiran-pikiran macem: duh kayaknya gue gak pantes deh untuk ngelakuin hal ini...kayaknya gue gak sejago dia deh skill-nya, gak usah sok-sok ikutan deh...dan masih banyak lagi 'kayaknya-kayaknya' yang lain. Padahal 'kayaknya-kayaknya' itu sesungguhnya tidak terjadi. Dan karena sudah 'kayaknya-kayaknya' di awal, kecenderungan hasilnya adalah gue jadi pasif. Tidak melakukan apa-apa. 'Cari aman'. Diam sepertinya lebih baik.

---

Kapan biasanya 'rejection' terjadi?

Secara alamiah, kita gak bisa nentuin kapan hal-hal penolakan ini bisa terjadi. Belum lagi persepsi tiap-tiap orang terhadap 'rasa ditolak' ini juga pasti beda-beda. Nah, kalo dalam kasus gue, perasaan takut ditolak ini sering terjadi ketika:
- masa pre-menstruasi syndrome (PMS)--sebuah siklus biologis yang lumrah dialami kaum Hawa tapi ya beda-beda aja bentuk PMS-nya. Kalo di gue lebih ke mudah baper dan sensitif
- sedang terlalu lelah, baik fisik-hati-mental-jiwa-pikiran (overwhelmed)
- sedang berada di bawah tekanan/tuntutan sesuatu, misalnya: pekerjaan atau pelayanan
- ada ekspektasi gue yang tidak terwujud/tidak terjadi, khususnya ketika nyenggol konflik relasi, lebih khususnya jika konflik relasinya terjadi dengan orang yang sangat sangat sangat dekat.

---

Siapa saja yang bisa mengalami hal ini?

Siapapun. Bisa gue. Bisa kalian. Karena ini blog gue, jadi ya gue lagi nyeritain tentang diri gue wkwkwk. Eh...btw boleh lho kalo ada dari kalian yang tengah bergumul dengan hal yang sama. Ya pastinya bisa aja masalahnya beda, tapi gue terbuka banget untuk denger kisah kalian jika punya pergumulan 'penolakan' juga 😊 Sharing santuy aja lah yaa...

---

Mengapa 'rejection' ini terjadi?

Jika ini hanya terjadi di pikiran, tentu penyebabnya bisa jadi akibat dari pengalaman pribadi. Trauma akan sesuatu hal yang pernah terjadi di masa lampau sehingga perasaan akan ditolak tersebut terpupuk seiring dengan berjalannya waktu.

Kemarin banget (Kamis, 17 September 2020) gue ngobrol sama salah satu teman dekat gue, Chris. Ada sesuatu yang terjadi--sorry I won't tell you the details here, hehe--lalu kami sharing sesuatu terkait isu pribadi. Gara-gara ngobrol sama dia, gue pun berkesempatan menumpahkan apa yang gue rasakan dan pikirkan. Ternyata gue jadi makin sadar bahwa masalah relasi yang gue alami sebenarnya berakar pada isu ini. Terus gue pun bertanya pada diri sendiri: Apa sih yang membuat Meista 'gampang baper' dan selalu merasa dirinya tertolak di mana-mana? Jika gue tarik sedikit ke belakang, gue akhirnya menemukan akarnya yaitu: fear of being judged. Takut dihakimi.

Kenapa Meista takut dihakimi? Apa yang pernah terjadi? Apa yang pernah dialami?

Gue pernah berada dalam sebuah komunitas/sekumpulan orang-orang yang...jika boleh gue katakan...perkumpulan 'orang suci'. Mengapa demikian? Cukup lama gue berada di sana, gue menyadari bahwa gue tidak bisa menjadi diri sendiri. Apa yang gue lakukan sepertinya salah semua. Apa yang gue berikan seperti tidak dapat memuaskan mereka semua. Pelayanan yang gue kerjakan seperti tidak berdampak apa-apa. Gue tidak sanggup memenuhi ekspektasi mereka semua, baik dalam hal bermain piano, berpendapat, melakukan pelayanan, atau apapun. Jika gue melakukan sedikit saja kesalahan, dunia seakan runtuh. Jika gue melakukan kesalahan, gue merasa paling berdosa di antara mereka. Mereka benar, dan aku salah. Mereka suci, dan aku berdosa. Paling berdosa. Gue kayak gak boleh salah, gue kayak gak boleh merasa capek/lelah, pokoknya harus profesional! Gue kayak gak ngerasa jadi manusia seutuhnya karena value yang mereka lihat di diri gue berdasarkan apa yang sudah gue lakukan dan kerjakan. Semakin aktif gue, semakin diakui. Semakin diam gue, semakin dianggap 'enggak kerja'. Aku merasa dihakimi. Di sinilah rasa takut itu terpupuk dan tumbuh seiring dengan gue yang makin bertambah usia.

Fear of being judged --> terribly afraid of any rejection --> comes up with overthinking, like: gue seburuk itu ya? Gue se-gak berguna itu ya? Gue se-sampis itu ya?

Minder dan rendah diri menjadi output-nya.

Oh iyaaa, gue baru keinget lagi. Kalo waktu anak-anak kan entah kenapa seneng banget ngebanding-bandingin fisik. Gue tidak memiliki postur tubuh yang tinggi. Dulu tuh dari SD (ya sampe sekarang lah wkwkwk) gue memang pendek. 1 hal yang gue tiba-tiba inget dan ngeh pas nulis ini adalah gue--sadar gak sadar--seperti menyimpan "dendam" pada mereka-mereka yang sering ngatain tinggi badan gue. Secara verbal mereka ngatain, secara sikap juga terang-terangan ngehujatnya. Misalkan gini: lagi jam istirahat. Terus kan ya biasa tuh main-main, jajan ke kantin, dll. Pas gue lagi berdiri atau jalan, entar ada aja tuh temen yang sengaja berdiri di samping gue, terus ngukur tinggi badan gue itu semananya dia--ada yang sedadanya, sedagunya, atau ya ujung-ujungnya perkataan yang sering muncul adalah: "yes tinggian gue!", "yes aku lebih tinggi dari Meista!".

Kalo gue inget memori-memori itu, apalagi sekarang udah 27 tahun yekan, keknya udah gak jadi masalah-masalah banget gitu. Ngerti lah namanya juga anak-anak, ada aja ceng-cengannya ya kan. Cuman...gue coba menarik suatu pola...jangan-jangan kejadian tinggi badan itu menjadi bibit gue untuk minder dan rendah diri.

Hmm...iya sih...bisa jadi. Kalo gue inget Meista yang masih sekolah dulu, somehow gue jadi ngerasa useless banget punya tubuh yang pendek. Kayak...gue gak guna banget, gitu.

---

Bagaimana 'rejection' bisa terjadi?

Isu penolakan menjadi masalah besar karena rasanya memang menyakitkan, mengganggu mood, dan seringkali kita merasa terluka dan gagal terhadap diri sendiri. Kenapa bisa demikian ya? Gue coba mengutip sebuah pemaparan dari artikel ideas.ted.com yang ditulis oleh seorang psikolog, Guy Winch:

"The answer is--our brains are wired to respond that way. When scientists placed people in functional MRI machines and asked them to recall a recent rejection, they discovered something amazing. The same areas of our brain become activated when we experience rejection as when we experience physical pain. That's why even small rejections hurt more than we think they should, because they elicit literal (albeit, emotional) pain."

"Evolutionary psychologists believe it all started when we were hunter gatherers who lived in tribes. Since we could not survive alone, being ostracized from our tribe was basically a death sentence. As a result, we developed an early warning mechanism to alert us when we were at danger of being "kicked off the island" by our tribemates--and that was rejection. People who experienced rejection as more painful were more likely to change their behavior, remain in the tribe, and pass along their genes."

Masih dari sumber bacaan yang sama, masalah penolakan ini tentu merusak mood dan harga diri kita. Sayangnya, kerusakan terbesar yang diakibatkan dari kasus penolakan ini biasanya adalah sengaja merugikan diri sendiri (self-inflicted). We feel disgusted with ourselves. Mungkin ini juga kali ya yang menjadi air siraman bagi tumbuhnya rasa minder dan rendah diri gue selama ini.

"...just when our self-esteem is hurting most, we go and damage it even further. Doing so is emotionally unhealthy and psychologically self-destructive yet every single one of us has done it at one time or another", begitu yang dipaparkan Guy Winch dalam artikel yang berjudul "Why rejection hurts so much--and what to do about it".

---

Bagaimana cara mengatasinya?

www.unsplash.com


1. Cari akarnya

Berangkat dari keinginan dan kemauan untuk cari tau: apa yang terjadi sama diri gue? Apa akarnya? Apakah sudah selesai masalahnya, atau masih butuh proses? Lalu gue mencoba membuka diri untuk disembuhkan dan dipulihkan dengan cara makin jujur sama diri sendiri. Makin mempertajam apa yang menjadi kelebihan gue dan coba fokus kembangkan area itu. Beberapa kejujuran yang menjadi aplikasi gue diantaranya adalah bermain piano dan menulis, baik untuk diri sendiri maupun untuk dibagikan pada orang lain.

Satu hal yang gue refleksikan di dalam diri gue adalah: sesungguhnya gue yang menolak diri gue sendiri. It is I, who rejected myself. Kenapa? Gue merasa diri gue gak worthed. Gue meletakkan identitas gue pada:
1. Penilaian orang lain terhadap diri gue
2. Apa yang orang ekspektasikan terhadap gue
3. Indikator 'keberhasilan' menurut pandangan orang lain/pencapaian orang lain yang menurut gue keren banget padahal gue gak tau gimana proses yang sudah mereka alami.

This is awful. Pada akhirnya gue cuma akan:
- capek dan lelah sendiri membanding-bandingkan diri dengan orang lain
- membuat tingkatan-tingkatan yang gak perlu, seperti: dia lebih ... dari gue, gue lebih ... dari dia
- lebih cepat menilai negatif ke diri sendiri (juga orang lain), dan ini implikasinya adalah: judging. Menghakimi.
- mengerjakan dan melakukan banyak hal dengan motivasi supaya disukai orang lain, bukan berangkat dari ketulusan hati
- melukai diri sendiri dan membunuh karakter sendiri

Ironinya, ketika gue merasa takut dihakimi, gue akan memasang antisipasi atau jaga-jaga dengan cara menghakimi orang lain terlebih dahulu. Jadi misalnya kayak gini contohnya:

Gue suka sama cowok. Mencoba untuk menyukai dengan langkah yang baik, gue doakan terlebih dahulu perasaan ini. Lalu ternyata Tuhan izinkan adanya relasi yang makin baik. Relasi yang makin mengenal dan makin dekat sebagai teman. Terus nanti tiba-tiba di tengah-tengah prosesnya, mucul sebuah perasaan macem "ah kayaknya dia gak mungkin deh suka sama gue", "ah gak mungkin ah perasaan ini akan berbalas, udahan aja deh sukanya", "ah paling juga dia nganggep gue sebagai teman doang, gak lebih". Something like that. Ini konteksnya kalo yang suka-sukaan ya. Di kenyataannya gue cukup suffering juga karena bergumul dengan judging-being judged itu di beberapa aspek relasional, gak cuma sama cowok yang lagi gue taksir aja.

This is awful. This is bad, untuk gue maupun orang lain.

2. Self-love melemahkan rasa minder & rendah diri, menyehatkan self-esteem

Gue orang Kristen, jadi gue akan sedikit berbagi hal yang gue nikmati dari perspektif kekristenan.

Sebuah konsep self-love (mengasihi diri sendiri) menjadi konsep yang sedang gue pelajari akhir-akhir ini, khususnya pas lagi pandemi kek gini. Gue pernah ngikutin sebuah siaran Youtube dari Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas) yang waktu itu dibawakan oleh Novita sebagai host dan Kak Iis Achsa sebagai narasumber (Kak Iis adalah seorang konselor di Griya Pulih Asih). Judul siarannya "Self-Love in New Normal"--ada di Youtube kok, cari aja. Mengutip dari catatan pemaparan beliau, self-love berarti menghargai kesejahteraan dan kebahagiaan diri sendiri; berusaha memenuhi kebutuhan diri dan tidak mengorbankan kesejahteraan diri untuk hanya menyenangkan orang lain dan berusaha menerima apa yang seharusnya diterima.

Self-love dalam konsep Kristen berarti penghargaan diri sebagai ciptaan Tuhan dan tubuh sebagai Bait Allah yang kudus (1 Korintus 3:16-17). Di sini gue coba menghayati sih:

Wah, ternyata menghargai kesejahteraan dan kebahagiaan diri sendiri tuh boleh dilakukan ya.

Enggak menaruh identitas diri kita di pandangan/ekspektasi orang lain tuh ternyata lebih baik ya.

Menjadi diri sendiri itu ternyata jauh lebih baik ya, meskipun kita sadar punya kekurangan dan kelemahan.

Se-enggak penting itu ya ternyata untuk membandingkan kehidupan kita dengan orang lain, karena kita sebenarnya sudah punya 'bagiannya' masing-masing.

Gue gak tau sih apakah tulisan gue tentang rejection, reflection, sampai self-love ini berkorelasi satu sama lain atau enggak, tapi inilah proses yang sedang gue nikmati dan pelajari. Belajar menerima diri sendiri dan berhenti menghakimi diri sendiri serta orang lain. Belajar mengakui serta menerima kekurangan diri sendiri sambil terus berproses untuk menjadi pribadi yang makin baik. Setelah memahami aspek-aspek ini, gue rasa 'latihan' berikutnya adalah menerapkannya ke orang lain. Maksudnya adalah, ketika gue sudah damai dengan diri sendiri, berharapnya gue pun bisa rendah hati berdamai dengan orang lain--yang juga punya kelemahan, kekurangan, perbedaan karakter, dan perbedaan-perbedaan lainnya, tanpa harus mengorbankan kesejahteraan diri. I think we should start from ourselves first...

3. Katakan pada dirimu sendiri: "Kamu berharga!"

Salah satu langkah meresponi penolakan menurut Guy Winch adalah revive your self-worth. Dia bilang begini:

"The best way to boost feelings of self-worth after a rejection is to affirm aspects of yourself you know are valuable. Make a list of five qualities you have that are important of meaningful:

- things that make you a good relationship prospect
(e.g.: you are supportive or emotionally available)
- a good friend
(e.g.: you are loyal or a good listener)
- a good employee
(e.g.: you are responsible or have a strong work ethic).

Then choose one of them and write a quick paragraph or two (write, don't just do it in your head) about why the quality matters to others, and how you would express it in the relevant situation. Applying emotional first aid in this way will boost your self-esteem, reduce your emotional pain and build your confidence going forward."

Menulis. Yes, menulis adalah aktivitas yang sangat menolong gue untuk menemukan dan mengemukakan apa yang sesungguhnya terjadi pada diri gue. Seperti yang gue lakukan sekarang ini. Jadi, mulailah menulis ya, gaes 😊 Gapapa kok kalo dimulai dari "Dear diary...". Mulai aja dari tulisan pribadi yang gak dibaca orang-orang, nanti lama-lama juga terbiasa dengan ritmenya. Nanti lama-lama juga akan berkembang dan siapa tau bisa berani juga menuliskan cerita pribadi yang menginspirasi banyak orang. Selengkapnya tentang keseruan dari menulis akan gue tulis di postingan berikutnya yaa πŸ˜‰

4. Rileks. Jadilah tenang. Santai aja

"Relax", adalah sebuah langkah praktis yang Chris sarankan pada gue. Gue harus belajar lebih tenang dalam proses menerima diri sendiri, instead of berlama-lama 'berenang' dalam ketakutan dan rasa traumatik itu sendiri. Chris juga bilang, "Slow down aja, Mei. Take it easy. No need to rush." Di sini gue kembali diingatkan tentang prosesProses butuh waktu. Dan gue gak perlu buru-buru.

Iya, kan?

5. Ingat lagi bahwa kita punya Tuhan yang ditolak juga

Mengutip kalimat dalam sebuah renungan yang dipublikasikan oleh Our Daily Bread, sepertinya hal ini harus ditanamkan terus di pikiran dan hati kita sebagai kekuatan:

"When you feel the deep hurt of rejection, remember that Jesus understands how you feel. He loves you. If you have believed on Him, He has accepted you--and He will never reject those who trust in Him (John 6:37)."

---

Photo by Nijwam Swargiary on Unsplash


Jadi sekarang, ketika gue lihat cermin sambil nyanyiin lagu "Reflection"-nya Christina Aguilera, pelan-pelan gue akan berkata pada diri gue sendiri:

Hi, Meista. Let's go through this together.
You're worthed.
Kita gak perlu jadi pribadi yang memenuhi ekspektasi semua orang.
It's tiring.
Tetaplah bermain piano.
Tetaplah menulis.
Enjoy it πŸ’“
Tetaplah mengasihi orang lain dengan caramu sendiri (spoiler: bahasa kasih/love language gue yang paling besar itu quality time & words of affirmation--buat yang udah pernah cari tau "5 Love Languages"-nya apa pasti relate).

*****

Look at me
You may think you see who I really am
But you'll never know me
Every day it's as if I play a part

Now I see: if I wear a mask, I can fool the world
But I cannot fool my heart

Who is that girl I see, staring straight back at me?
When will my reflection show who I am inside?

I am now in a world where I have to hide my heart and what I believe in
But somehow, I will show the world what's inside my heart
And be loved for who I am

Who is that girl I see staring straight back at me?
Why is my reflection someone I don't know?

Must I pretend that I'm someone else for all time?
When will my reflection show who I am inside?

There's a heart that must be free to fly
That burns with a need to know the reason why

Why must we all conceal what we think, how we feel?
Must there be a secret me I'm forced to hide?

I won't pretend that I'm someone else for all time
When will my reflection show who I am inside?

When will my reflection show who I am inside?
-----
"Reflection" - Christina Aguilera
Songwriters: David Zippel / Matthew Wilder
Copyright © Universal Music Publishing Group

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung