Mendingan Jujur Tapi Nyakitin, Atau Bohong Tapi Lama-Lama Tetep Nyakitin Diri Sendiri? (sungguh sebuah judul yang amat panjang)

(elah, panjang bener judulnya... πŸ˜‚)

Jujur.

Ngomongin soal kejujuran, gue gak inget udah berapa kali ngerasa terluka, insecure, dan hati perih akibat melakukan hal ini: menyatakan kejujuran. Apalagi di tengah-tengah dunia yang penuh tuntutan ini yekan, menjadi jujur itu menjadi tantangan tersendiri buat gue.

Kenapa sih harus jujur di saat kita bisa bersandiwara? Kenapa harus milih jujur di saat bohong itu jauh lebih aman dan gak nyakitin?

Ini pertanyaan pribadi yang sempat gue tanyakan pada diri sendiri. Untuk apa ya gue jadi diri gue yang apa adanya di kala mungkin dunia tidak akan terima itu? Untuk apa gue menjadi Meista yang otentik dan senang belajar, padahal yang dunia ini butuhkan adalah Meista yang harus memenuhi ekspektasi dunia?

Untuk apa?

Jawaban gue cuma 1: gue capek. Gue capek dan lelah banget memenuhi ekspektasi dunia, jujur aja--tuh ini aja udah jujur, wkwkwk πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚. Gue capek untuk kehilangan diri gue sendiri di saat gue berusaha keras mengejar dan menggapai apa yang menjadi ekspektasi dunia ini. Man, it's really tiring.

Oleh karena itu, beberapa tahun belakangan ini, khususnya ketika era pandemi dimulai, gue mencoba mengambil satu langkah kecil untuk mencoba jujur. Dimulai dari jujur dengan diri gue sendiri, lalu merambat ke jujur dengan keluarga, teman dekat, bahkan sampai ke teman cowok yang gue suka (yang terakhir ini memang konteksnya cukup spesial, tapi gapapa gue ceritakan aja karena emang seru petualangannya dan gue pun sudah baik-baik saja, hehehe 😊).

---

1. Belajar Jujur Sama Diri Sendiri

Keinginan untuk jujur sama diri sendiri dimulai dengan sebuah lagu yang men-trigger gue: Reflection by Christina Aguilera. Ini tuh original soundtrack-nya film Mulan. Lagu dan film ini menjadi pendorong semangat gue untuk belajar menerima diri sendiri. Berawal dari menghayati liriknya yang berbunyi seperti ini:

"Who is that girl I see staring straight back at me?
Why is my reflection someone I don't know?
Must I pretend that I'm someone else for all time?
When will my reflection show who I am inside?"

Gue yang sempet minder, rendah diri paraaah, ngerasa hidup gue gak ada gunanya buat dunia yang penuh tuntutan ini, lambat laun mencoba untuk mencari tahu siapa diri gue yang sesungguhnya. Waktu itu yang gue lakukan adalah mencoba fokus melakukan apa yang gue suka secara spontanitas; maksudnya engga yang berharap disukain sama siapapun gitu. Turns out, menulis ternyata jadi salah satu hal yang gue senangi dan, ternyata, gue baru sadar kesenangan akan menulis itu terpupuk dari kecil gitu. Gue bikin konten tulisan di Instagram Story, nulis di blog ini, nyumbang tulisan buat salah satu media anak muda, semuanya bener-bener mengalir, without putting any expectation from anyone else, dan ternyata...WOAAAHH SERU BANGEEET! 😍 I really love it!

Itu salah satu penemuan pertama gue. Dan makin makin dikonfirmasi ketika ada lebih dari satu teman yang menyukai tulisan gue. Jeez, I really didn't expect anything from the beginning! Makin kesini makin ada aja yang menyatakan bahwa mereka suka sama tulisan gue. Ok, please don't get me wrong. Gak bohong kadang pernyataan-pernyataan temen-temen itu jadi pemicu gue untuk sombong dan ingin menunjukkan diri juga. I admit it. But nah, by the progress and proccess of life, gue belajar untuk menjadikan itu semua sebagai sebuah motivasi dan penyemangat; bahwa gue harus tetap rajin nulis, dan juga rajin mengembangkan talenta ini.

Gue juga jujur sama diri sendiri bahwa gue punya kelemahan dan kekurangan ini, ini, ini, dan ini. Dan gue belajar untuk terima itu semua. Gue akui itu semua. Supaya apa? Dengan mengakui dan menyadari kelemahan itu, ketakutan gue akan judgmental orang lain itu terkikis sedikit demi sedikit. Ini bukannya gue jadi tertutup sama saran, kritik, dan masukan dari orang lain yha, bukan. Konteksnya adalah biarlah kita yang menyadari dan mengakui dulu bahwa diri kita ya memang seperti itu, baik-buruknya, kuat-lemahnya. Ketika ada orang lain menilai kita berbeda dengan yang kita ketahui, balik lagi ke respon kita mau gimana. Kalo gue pribadi sih lebih seneng bilang "Makasih ya" dulu, baru abis itu kontemplasi "Emang iya kah gue kayak gitu?"--anaknya emang doyan kontemplasi sih kebetulan, hahaha πŸ˜‚. Nah setelah itu terserah deh mau diabaikan atau dicari pembelajaran berikutnya setelah dapat saran, kritik, atau masukan dari si orang lain itu.

Kalo katanya Mike Wazowski di film Monsters University:

"Don't let anyone tell you different."


---

2. Belajar Jujur di Dalam Keluarga

Pasukan pemburu 🐷


Waini.

Ini nih.

Gini, gue yakin 100% setiap keluarga pasti ada aja masalahnya. Ada aja masa lalunya. Mau seeebaik dan seeeeikrib dan seeeharmonis apapun keluarga, di balik itu semua pasti ada masalah dan pergumulan.

Bagi gue, keluarga adalah lingkaran sosial terkecil dan terdekat dalam hidup. Terlepas dari lo masih tinggal bareng sama mereka, atau lo memilih untuk tinggal pisah dari mereka/merantau gitu misalnya, keluarga tetaplah keluarga. Statusnya gak akan pernah berubah meskipun zaman berubah. Kalo kata filmnya Lilo & Stitch:

" 'Ohana means family. Family means no one gets left behind or forgotten."

Tahun 2020 kemaren, gue mengalami turbulens akan sesuatu hal yang disebabkan oleh peristiwa di masa lalu. Ini berkaitan dengan orang tua gue juga gitu ya. Ada masa di mana gue udah gak bisa mendem perasaan dan emosi negatif itu--sorry gue gak bisa ceritakan detil ya isunya apa--intinya gue akhirnya ngaku ke mereka kalau gue begini dan begitu.

Very risky, and it took a lot of courage. Gue menyampaikannya pun penuh dengan bawang bombay a.k.a. nangis gitu ya, but at the end I found something interesting after I confess what I felt toward them. Bahwa...ternyata memori kelam gue yang membawa gue pada sebuah asumsi dan kesimpulan itu semua enggak benar. Feels like I've been misled by my own memories. Setelah ngobrol panjang lebar, setelah orang tua gue nyampein banyak hal, akhirnya gue memutuskan untuk pelan-pelan melepas memori buruk itu, dan belajar untuk memandang ke depan sambil jalanin relasi sama keluarga gue ini.

Berawal dari kejujuran satu, merembet ke kejujuran yang lain. Wah, gak keitung sih udah berapa kali gue turbulens di rumah, berapa kali gue berantem sama orang tua gue, berapa kali gue terluka karena ngerasa bersalah sendiri udah terlalu jujur sama mereka, dan berapa kali gue ngerasa gak betah banget ada di rumah. Tapiii...meskipun rasanya pedih dan malesin, gue ngerasa berarti aja dengan melakukan hal itu (re: menjadi jujur). It costly, yea, but turns out I found it's worth it. Kejujuran yang gue lakukan (juga yang anggota keluarga lain lakukan) membawa kami pada pertumbuhan karakter, baik secara pribadi, maupun dalam pengenalan kami satu dengan yang lain.

Ini mengingatkan gue sama film Inside Out ya. Ketika adegan si Riley yang udah empet banget gegara pindah rumah, orang tuanya jadi makin sibuk, lingkungan barunya enggak bikin dia nyaman, pokoknya udah malesin banget, akhirnya dia memutuskan untuk kabur dari rumah sambil nyolong dompet mamanya. Emosi Joy (senang) sama Sadness (sedih) ceritanya lagi nyasar kemana tau gitu saat itu. Jadilah emosi dia dikuasai oleh Fear (takut), Disgust (jijik), dan Anger (marah). Di puncak konflik cerita, setelah Joy dan Sadness berhasil balik ke pusat kontrol emosi (otak sih ini maksudnya, gaes), Sadness mengambil alih emosinya. Dan di situuu Riley batal minggat--padahal udah otewe gitu pake bus Primajasa (πŸ˜‚), balik ke rumah, terus dia mengakui segala ketidaknyamanan dan kesedihannya akibat pindah rumah. Start from admitting her sadness, she finally creates new memories with her family. And she grew up. Di sini Joy belajar--dan gue belajar sebagai penonton--bahwa tidak apa-apa untuk mengakui jika kita tidak sedang baik-baik saja. #tjakeeeep!



Eh beneran loh gaes, bahkan di dalam keluarga sendiri aja, aspek mengenal lebih baik itu juga berlaku lho. I mean...gue pikir yang namanya mengenal lebih baik itu kan ya cuma buat temen, sahabat, atau pacar gitu. Ternyata enggak. Bahkan di dalam lingkaran sosial terkecil sekalipun, bertumbuh dalam pengenalan akan anggota keluarga itu juga terjadi. Tinggal ya kitanya aja mau melihat relasi dalam keluarga itu sebagai taken for granted, atau ada keinginan untuk sama-sama bertumbuh dan makin mengenal lebih baik lagi.

So, mau mulai berani jujur di dalam keluarga? 😏 Selow aja, no need to rush. Seperti yang gue bilang sebelumnya: it takes a lot of courage to do that. Dan butuh waktu juga. Menjadi jujur itu berarti siap juga dengan segala konsekuensinya. And as for me, I'm ready to embrace every consequences, because I want to be loyal, brave, true, and give my devotion to family (film Mulan somehow memberi gue inspirasi untuk ikut menghidupi 4 nilai kebajikan: loyal, brave, true, devotion to family. Thank you, Mulces! πŸ˜†).

---

3. Belajar Jujur Sama Teman-Teman Dekat

(Kiri-kanan: Nida, Raisa, Chris, Betha, Meista)


Gue pikir dalam relasi pertemanan tuh kayak "Yaudalah yaa, biasa ae. Gak usah drama-drama apa begimana". Ternyata gue ngalemin sendiri "drama" itu. WK. Khususnya sama temen-temen deket gue yang berada dalam 1 lingkaran terdekat.

Singkat cerita, gue sempat ngerasain ketidaknyamanan ketika lagi curcol di grup Whatsapp kami. Byasalaaah, masalah ekspektasi pribadi yang tak terpenuhi. Gue ngekspek teman-teman gue merespon seperti apa, yang gue terima seperti apa. Jadinya kecewa, sedih, ngerasa gak didengar, ngerasa gak dianggap, gitu-gitu deh. Terus ujung-ujungnya salah paham, gak enakan, jadi agak tension, dan gue left group. Ea eaaa~ Dua kali tuh gue sampe left group.

Gue sampaikan ketidaknyamanan gue ke mereka secara jujur. Gue sedih banget dan nangis bombay sih ketika ada di fase ini. Satu sisi ngerasa kesel sama diri sendiri, ngerasa gagal jadi temen like: "Lo kenapa sih, Meis...Ada apa sama diri lo woey?", namun di sisi lain gue memang kecewa dengan respon mereka. Dan itu gak bisa gue abaikan dan di-"yaudalah"-in.

Berawal dari kejujuran yang asli super duper gak enak ini, gue sadar bahwa gue memang sayang sama mereka. Hanya, ekspektasi gue yang salah. Maksudnya gini: ketika gue sadar bahwa gue sayang sama mereka, sepatutnya gue tidak memaksakan respon atau hal-hal dari mereka untuk harus selalu sama dengan maunya gue. Sepatutnya gue mengenal mereka dengan lebih baik dan makin baik. Nah akhirnya, seiring dengan gue juga belajar mengenal diri gue sendiri, gue membuka diri pelan-pelan untuk mau memperbaiki relasi dengan mereka secara personal--waktu itu gue belum mau dimasupin lagi ke dalam grup karena masih takut dan awkward. Yang gue lakukan saat itu sih bener-bener sebatas yaudah berkomunikasi biasa aja secara personal, terus kalo ketemuan ya ketemuan, trying not to put any expectation on them. Dan bersyukur banget seiring dengan berjalannya waktu gue makin pulih, ekspektasi gue pun makin bisa gue kendalikan, dan relasi kami antar personal membaik kembali seperti semula.

Memang pada akhirnya gue belajar bahwa berelasi itu butuh 2 arah sih. Pihak sini dan pihak sono. Gue sempet berpikir negatif kayak: mereka sepertinya sudah tak mau berteman dengan orang aneh seperti gue. Ternyata enggak gitu kenyataannya. Keinginan gue untuk mau berteman sama mereka ternyata gayung bersambut. I left them, but they never left.

---

4. Belajar Jujur Sama Si "Dia"

NAH!

Ni yang daritadi nge-scroll panjang-panjang pasti gak sabar baca bagian terakhir ini (atau jangan-jangan ada yang langsung nge-scroll ke bagian ini dari awal? πŸ˜‚ Ya gapapa ugha sik, selow ✌πŸ˜„).

Oke jadi gini ceritanya: gue udah pernah menyatakan perasaan suka gue sama temen cowok. Dua kali. Yang satu di Januari 2015, satu lagi di Maret 2020. Ini orang yang berbeda yaa, btw. Alasan terbesar gue kenapa sampai memutuskan untuk confess adalah karena gue terlalu dalam tenggelam dalam asumsi yang tidak terverifikasi. Hidup di arena persekutuan tuh memang cucok meong gimana gitu yaa. Yang cowok baik sama cewek, yang cewek juga baik sama cowok. Yaiyalah, namanya juga saudara seiman--katakanlah begitu. Jadi sebenarnya wajar-wajar aja toh kalau insiden "ngebaikin-dibaikin" ini terjadi ke semua orang?

Nah, kelirunya, di kasus gue pribadi, gue itu dulu cenderung cepat berasumsi ketika ada temen cowok yang baik sama gue. Hatinya tuh gampang lumer kalo dibaikin (kudu dimasupin freezer keknya biar gak gampang meleleh yekan). Padahal, ya belum tentu baiknya si teman cowok itu motivasinya karena dia mau ngedeketin gue. Ketika asumsi-asumsi ini gue anggap sebagai kebenaran, tanpa ada verifikasi dari manapun atau siapapun, jatohnya di gue adalah kelewat baper. Ini sisi gak baiknya. Gue sendiri pun jadi resah sendiri karena jadi gak menikmati relasi pertemanan yang yaudah se-apa adanya aja.

Turns out, ketika gue nyadar bahwa gue mulai kebaperan, gue pun juga sadar bahwa emosi gue udah gak sehat. Jadi yang gue pikirkan saat itu adalah: gue harus menyudahi semuanya dan harus mengklarifikasi. Karena gue pun memang menaruh perasaan pada si cowok ini, jadi yaudah sekalian aja gue ngaku kalo gue memang menyukai dia dan mempertimbangkan dia menjadi seseorang yang lebih dari sekadar teman.

Kudu dipahami bahwa mengakui perasaan secara jujur itu gak semudah kedengarannya loh ya, teman-teman. Meskipun lirik lagu Endah N Rhesa mengatakan, "When you love someone, just be brave to say that you want him to be with you", ingat: ada konsekuensi dari hal ini. Konsekuensinya apa? Ya ditolak. Dan ini yang gue alami. Gue ditolak 2 kali sama temen cowok gue (dengan orang yang berbeda yha), dan berujung sedih. Gue sih waktu itu memang tidak yang sampai mengajak pacaran atau gimana, enggak. Gue cuma ngaku aja, like: "Eh, gue tuh sebenarnya mempertimbangkan lo untuk jadi seseorang yang lebih dari sekadar teman lho". Kura-kura gitu inti pesannya. Cuma kenyataannya sih yang gue sampaikan lebih panjang, wkwkwk. Kalo sama yang pertama gue ngomong langsung, sama yang kedua lewat chat Whatsapp.

AM I CRAZY? Yes, definitely. Totally.

Sedih, iya. Kecewa, iya. YAIYALAH, MASA ENGGAK πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚. Gue bukan ras robot yang kalo ditolak lempeng baik-baik aja, gak gitu juga keleus. Tapi di sini gue belajar bahwa alangkah jauh lebih baik mencari verifikasi terlebih dahulu ketimbang perasaan lo sudah jauh tertelan asumsi yang belum terverifikasi. Tanamkan ini di pikiran baik-baik: enggak semua cowok/cewek yang baik sama lo, atau yang rajin curcol sama lo, mereka menaruh perasaan sama lo. No, belum tentu.

Jadi, daripada diambil pusing, mending berteman aja dulu baik-baik. Gak ada salahnya loh punya banyak temen sana-sini tanpa perlu diasumsikan macem-macem. Terus gue juga belajar bahwa yang namanya ditolak itu memang gak enak yha, HAHAHA πŸ˜†. Ini jadi pembelajaran banget sih nantinya kalo ada cowok yang nembak gue mungkin bisa gue coba pertimbangkan dulu instead of saying 'NO' right away. Pernah denger dari beberapa senior juga bahwa kadangkala relasi serius itu tidak diawali dengan perasaan, tapi dari relasi pertemanan dulu.

So, yeah, meski rasa sakitnya ditolak itu tetap bisa gue ingat, namun kehidupan tetap berjalan maju kan. I'm always trying to give myself a chance. Open my heart, open my eyes, ears, and mind, and always be kind to all my boy-friends without putting any expectation on them. Sempet agak bingung sih gimana ya caranya memulai lagi untuk suka sama orang? Tapi yaudalah, gue memutuskan untuk berelasi dalam pertemanan secara baik-baik aja dulu sama siapapun. And always be true to myself. Kalo suka yaudah suka aja, gausah membohongi diri sendiri. Cuma memang gue tidak akan melakukan confessing untuk yang ketiga kalinya. Capek euy, hihihi. Biarin aja dah sekarang gue ada di fase 'memantaskan diri'. Agar nanti siapapun 'pangeran berkuda putih' yang datang, gue dalam keadaan memang sudah pantas untuknya (yha maklumin yah kebanyakan tenggelam di dunia Disney Princess jadi yang kepikiran analoginya pangeran berkuda putih πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚).

---

Sebenarnya ada sih pilihan untuk tidak jujur. Cari aman gitu kan ya, biar semua terlihat "baik-baik saja". Namun, bagi gue pribadi, memendam kejujuran hanya akan membuat diri gue sakit. Lambat laun, gue hanya akan menyakiti diri sendiri karena enggak berani mengakui dan jujur dengan apa yang memang lagi terjadi.

Gue gak bilang bahwa jujur itu artinya lo harus membeberkan rahasia pribadi hidup lo ke semua orang ya. No, enggak gitu juga. Di postingan gue kali ini konteksnya adalah jujur pada pihak-pihak yang paling dekat relasinya sama hidup kita: diri sendiri, keluarga, teman dekat, dan teman pria yang lagi disukai--ini pun yang terakhir sebenarnya opsional sifatnya, balik lagi ke pergumulan hati masing-masing. Mungkin yang bisa gue bilang adalah ungkapan just be yourself merupakan salah satu bentuk kejujuran yang akan membawa lo menjadi pribadi yang lebih otentik, asli, dan apa adanya. Tinggal balik lagi: kitanya mau belajar, mau terus bertumbuh, atau yaudah gitu-gitu aja?

Honesty needs courage.
Honesty will takes risk.
Honesty is costly.
It will hurt you, it will hurt anybody around you.
But if you succeed to be honest, you'll see that it's always worth it.

Salam jujur-jujur club! 🌹

=====

GIF Credit:

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN