Keep Fighting The Good Fight

Pelayanan.

...menjadi salah satu kata yang cukup gue hindari, bahkan kadang benci, tapi tetap dilakukan dan dikerjakan sama si Meista ini kalau ada kesempatan.

Menyadari ada sesuatu yang dirasakan di dalam diri terkait dengan makna dari istilah "pelayanan" membuat gue seringkali menjadi cukup kritis ketika terlibat dalam aktivitas tersebut. Praise The Lord, anugerah-Nya sangat lebih dari cukup untuk membawa gue pada suatu titik di mana gue akhirnya berserah dan mengakui bahwa: "Tuhan, oke, my whole life is an act of service for You. I don't want to limitating the term "pelayanan" only for the Christian communities or the places or the activities only. The rest of my life is pelayanan for You."

Pernyataan ini gue nyatakan dalam doa lupa sih pas kapan, cuman inget banget memang waktu itu lagi mengalami pelajaran bagaimana menghadapi bitterness dari sejumlah aktivitas yang disebut "pelayanan" yang lagi gue ikutin saat itu. Sempet ngerasa guilty parah dan menjadi orang paling berdosa sedunia hanya gara-gara gue terpikir untuk meninggalkan ladang pelayanan yang bagi gue lingkungannya gak sehat. Bukan soal berharap menerima apa-apa yang baik aja, tapi bahkan di tempat itu gue gak ngerasa dapet pengajaran yang bener aja soal iman Kristen. Gue cuma ngerasa lagi menyibukkan diri dengan aktivitas keagamaan yang gaada bedanya dengan aktivitas non-keagamaan lainnya yang menurut gue jauh lebih seru dan asik.

Jiwa gue tetep haus.

Gue tetep clueless sama bagaimana gue harusnya menjalani hidup ini.

Gaada seorangpun yang ngasih tau gue bahwa Tuhan sayang sama gue segimanapun dosanya gue.

Sampe akhirnya bertahun-tahun berlalu, gue terlibat di pelayanan dan komunitas sana-sini, akhirnya gue memahami mana yang sehat, mana yang engga. Pernah dinasehatin sama ortu like: "Ya kamu mau gabung di komunitas manapun juga pasti ada aja masalahnya, Meis. Gak akan ada yang sempurna."

I KNOW.

Gue bukan mencari kesempurnaan. Gue mencari lingkungan sosial yang sehat untuk pertumbuhan gue, khususnya pertumbuhan iman. Dan gue baru ngerti juga bahwa ternyata kita diberikan karunia dan anugerah untuk tetap bertumbuh menjadi semakin serupa dengan profil Kristus.

Ga mungkin kita nemu komunitas yang sempurna. Seisi dunia ini isinya orang berdosa semua, toh? Tapi kita bisa kan memilih sendiri preferensi kita dan mempertanggungjawabkan pilihan kita sendiri dalam hal memilih komunitas iman yang sehat?

-------------------------------------------------------------------------

2 Juli 2022, merupakan hari di mana gue diuji kembali tentang arti sebuah kesetiaan (azek! πŸ˜‚).

Long story short gue terlibat dalam sebuah pelayanan pemusik di acara perayaan ulang tahun sebuah lembaga pelayanan bagi para kaum akademisi. Setelah sekian tahun pandemi, main musikpun beberapa kali dengan cara online recording, kali ini kembali diberi kesempatan untuk main musik bareng lagi dalam sebuah tim.

Mengawali perjalanan persiapan, gue memulainya dengan berkata pada diri sendiri: "Mei, inget ya. Gak akan pernah ada yang sempurna. Bow yourself before God, do your best as you can, jangan lupa istirahat. Be aware with your heart."

Gue inget sebenarnya waktu awal menjawab pelayanan ini juga kondisi gue lagi drop banget. But thank God gue dikaruniai kakak rohani yang saat itu ngingetin gue lagi bahwa pelayanan itu Tuhan yang kasih loh. Ketika Tuhan yang kasih, ya Tuhan juga yang akan menyertai serta mencukupkan segalanya.

Along the journey...well...banyak hal yang terjadi yang bikin gue:
  1. Misuh-misuh
  2. "Kok gini dah?", "Kok gitu sih?", "Ini gimana sih?"
  3. Ngeluh karena capek (fisik, hati, pikiran)
Ada beberapa hal yang terjadi yang gak masuk logika gue. Sebagai orang yang doyan banget sama planning & organizing + well-prepared, apa yang gue lihat di depan mata cukup jauh dari itu semua. Everything seems so unideal. Bahkan hingga di hari-H pun gue masih diizinkan untuk ngerasain sakit kepala sampe ke ubun-ubun gara-gara ada hal mendadak yang diminta yang harus gue lakukan.

Melihat semua ketidakideal-an itu, dengan kekuatan yang gue punya gue cuma bisa inhale-exhale dan menenangkan diri sekuat yang gue bisa. Berusaha untuk tenang supaya gue bisa mikir. Kalo gak tenang, bawaan gue udah pasti emosi dan bisa-bisa berimbas ke anggota tim yang lain. Gue pernah baca di mana lupa katanya emosi kan menular ya. Karena emosi bisa menular, jadi gue mencoba untuk menularkan ketenangan instead of ngeluarin nyinyiran gue yang berpotensi bikin sakit hati anak orang.

In the midst of the chaotic, sekian detik gue berdoa seperti ini: "Tuhan, ini semua bukan tentang aku kan? Gak harus sejalan sama apa yang aku mau kan?" (ngedoain idealisme pribadi ceritanya, wkwkwk). Di situ gue mendapat kekuatan untuk makin tenang dan kembali mengingat pelajaran-pelajaran yang pernah gue dapet selama mengerjakan pelayanan: at the end sebenarnya bukan tentang apakah acaranya going well apa engga. Tentu keberhasilan sebuah acara pasti ditentukan oleh persiapan yang baik atau enggaknya juga kan. Juga ditentukan oleh seberapa sungguh-sungguhnya hati kita meminta pertolongan Tuhan sambil tetap berserah. Namun, dalam hal ini perspektif lain yang gue pelajari untuk diri sendiri adalah: Meista akan menjadi orang yang seperti apa setelah acara itu selesai. Menjadi bitter-kah? Menjadi Meista yang lebih bisa mengontrol emosi kah? Menjadi Meista yang lebih tenang kah? Atau yang lain?

Proses dari segala persiapan mempersiapkan sebuah acara pelayanan itulah yang menjadi "sekolah hidup" pribadi buat gue. Gimana gue dibentuk untuk tetap rendah hati, berani mengemukakan pendapat dan ide, jaga hati jaga diri jaga kesehatan, aware bahwa saat itu memang lagi ada sebuah emosi yang dirasakan, dan lain-lain. Bagaimana gue harus menyamakan visi dan hati bareng anggota tim yang lain. Sungguh challenging lah pokoknya.

Bertahun-tahun jadi pemusik tuh kadang memang bikin jumawa. Ngerasa "Ah udalah bisa inimah bisa." Padahal dalam setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi buat kita, selalu ada selipan pembelajaran untuk kebaikan kita. Makanya, rendah hati itu perlu. Rendah hati untuk mau belajar, karena sekolah kehidupan itu gak akan pernah berhenti sampai kehidupan itu berhenti.

-------------------------------------------------------------------------

Jadi gimana Mei yang habis kembali mengalami petualangan baru?

Secara fisik cape lah ya hahaha. Udah auto capek itu mah πŸ˜‚ Untuk hati dan pikiran yah gue cuma bisa bilang: "Survive."

Survive karena gue berhasil mengontrol diri sendiri demi kerjasama tim. Gak drama, gak marah-marah (well, marah-marahnya di circle lain sih, WKWKKW! Monmaap dah yak, namanya juga emosyi kalo dipendem jadi racun. Mending dicurcolin ke sohib-sohib lain).

Survive karena berhasil berkata pada diri sendiri: "Gapapa ya Mei gak sesuai sama idealismu. You're doing great. Keep up the good work :)".

Plus ditambah pesan dari Firman yang didapet di ibadah terkait: teruslah beritakan Firman. Keep fighting the good fight.

Yang "baik" itu bukan "aku"-nya, tapi "pertandingan"-nya. Pertandingan yang Tuhan sediakan untuk para murid-Nya yang Dia undang untuk terlibat. Bagian ini merefleksikan pertanyaan untuk diri gue sendiri: "Pertandingan mana/pertandingan apa yang lo sedang kerjakan saat ini, Mei?"

-------------------------------------------------------------------------

Makasih, Tuhan, Meista boleh bertahan 🌼

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN