Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

Photo by O.C. Gonzalez on Unsplash

"So I say thank you for the music, the songs I'm singing
Thanks for all the joy they're bringing
Who can live without it? I ask in all honesty:
What would life be without a song or a dance what are we?
So I say thank you for the music, for giving it to me"

-----

Penggalan lagu di atas adalah lagu yang dipopulerkan oleh grup musik ABBA di era tahun 1980-an. Pertama kali denger sih biasa aja, tapi ketika diresapi kata-katanya, ternyata dalem banget loh. Saya jadi ikutan mikir: kalo di dunia ini gak ada musik, bakal kayak apa ya hidup ini?

Bersyukur banget sama Tuhan karena saya terlahir di keluarga seniman. Ayah pemain dan pengajar organ, keyboard, piano, sedangkan ibu...ya bukan penyanyi sih memang, tapi beliau kalo nyanyi suaranya cakep banget dah. Beda banget sama ayah yang kalo nyanyi...please, no 😜

Saya mulai belajar main piano sejak kelas 3 SD. Dulu kami belum punya piano, tapi kami punya organ (itu loh, yang kayak piano numpuk atas bawah terus tombol-tombolnya banyak bener). Ayah saya ngajarin beberapa ilmu dasar mainin lagu di organ. Saya inget banget lagu pertama yang diajarin ke saya adalah lagu rohani Kristen yang berjudul "Kami Puji Dengan Riang" (Kidung Jemaat no. 3), atau kalo gak salah lagu ini adalah lagu ciptaan Ludwig van Beethoven dengan judul "Symphony no.9" -- please koreksi kalo salah. Awalnya saya nurut-nurut aja sama apa yang ayah ajarin. Disuruh mainin lagu ini saya ikutin, disuruh baca partitur itu saya mainin, sampai akhirnya kami sekeluarga menyadari bahwa saya punya talenta di bidang musik.

Saya sama sekali gak bermimpi untuk menjadi seorang musisi. Menurut saya, dancing itu lebih oke, apalagi setelah dibius oleh film "Petualangan Sherina" yang banyak banget koreografer musikalnya; bikin saya tertarik banget untuk terjun di bidang tari. Nah...kenyataannya, Tuhan udah nyiapin jalan hidup buat saya sendiri. Dari kecil saya gak pernah berkesempatan untuk terjun di bidang tari. Jalan yang selalu terbuka adalah di bidang musik. Iya, jujur memang saya juga kurang usaha untuk memenuhi keinginan yang "sementara" itu, tapi saya pribadi pun bukan tipe yang memaksakan kehendak kok, hehehe. Akhirnya, saya terus-menerus perdalam bakat-non-minat itu, sampai akhirnya insiden pun terjadi.

Banjir Jakarta tahun 2000, saya kelas 3 SD pada tahun itu, membuat seisi rumah menjadi korban. Barang-barangnya, bukan orang-orangnya. Puji Tuhan kami sekeluarga (waktu itu kakek masih hidup) sehat dan selamat karena keburu ngungsi ke rumah tante di Tanah Abang. Salah satu barang di rumah saya yang jadi korban adalah organ. Karena terbuat dari kayu, alhasil kalo terendam air jadinya lapuk...dan bobrok-sebobrok-bobroknya. Akhirnya 'mayat' organ itu diangkut, diancurin, dan dibuang karena bener-bener gak bisa dipake lagi. Sejak saat itu, saya berhenti latihan main musik sama sekali. Ayah juga belum punya cukup uang untuk beli alat baru karena keuangan difokuskan ke biaya hidup, benerin rumah, sama sekolah saya (adik saya, Nanda, waktu itu masih orok; boro-boro sekolah, bisa ngomong aja udah bikin serumah seneng, wkwkwk 😝). Yap, selama bertahun-tahun saya gak latihan sama sekali.

Seneng? Biasa aja sih.

Sedih? Engga juga. Flat aja gitu.

Waktu organnya masih ada, kalo disuruh latihan ayok, kalo gak disuruh latihan juga saya gak minta. Biasa aja pokoknya. Nah, sejak organnya rusak, saya gak ada keinginan untuk main musik lagi, tapi gak ada penolakan juga kalo ayah ngajak ke mal dan disuruh coba-coba main di tempat pameran piano.

-----

Photo by Elijah M. Henderson on Unsplash

Lima tahun akhirnya berlalu, dan saya pun saat itu sudah duduk di bangku kelas 2 SMP. Ayah akhirnya beli lagi alat musik baru. Kali ini bukan organ, tapi digital piano. Piano ini bukan kayak yang ada di film-film yang warna hitam dan kelihatannya elegan banget. Digital piano ini semacam keyboard, yang ada banyak tombolnya, tapi ukurannya lebih panjang, bisa mencapai 7 oktaf (1 oktaf = jarak dari do rendah ke do tinggi). Nah, sejak saat itu saya kembali latihan dengan berbagai macam ilmu-ilmu baru yang ayah transfer ke saya. Berhubung cara mainnya beda dengan organ yang dulu, otomatis saya belajar juga gimana cara belajar main piano. Proses belajarnya pun berlangsung sampai sekarang 😊

'Karir musik' saya dimulai sejak saya kelas 2 SMP. Guru seni musik saya waktu itu ngasih tugas kelompok untuk bikin music performance dengan format dan grup yang bebas. Waktu itu saya sekelompok sama 5 orang (guys, maafkan saya bahkan lupa siapa aja 😭, yang saya inget cuma Icha doang karena dia temen sebangku...), dan kami sempet bingung karena ngga tau mau nampilin apa. Dengan bantuan ayah saya, akhirnya kami semua latihan bareng di rumah dan diajarin juga how to sing a song as a vocal group. Dengan bermodalkan lagu "Bunda" dan permainan piano saya yang belum 10 jari, kelompok kami akhirnya siap untuk ujian pengambilan nilai mata pelajaran Seni Musik. Singkat cerita, tibalah kami pada hari-H. Disinilah titik awalnya. Waktu itu saya mau pinjem keyboard sekolah untuk performance ini. Saya menghadap Pak Jun selaku guru penanggung jawab alat musik sekolah. Lalu kira-kira terbitlah percakapan seperti ini:

Meista (M): Permisi, Pak. Pak, kelas 2-6 mau pinjem keyboard boleh ngga, Pak?
Pak Jun (J): Kelas 2-6? Oh memang mau ada apa?
M: Mau ada pengambilan nilai Seni Musik, Pak. Disuruh bikin music performance gitu.
J: Oohh, gitu. Emang siapa yang mau main keyboard?
M: Saya, Pak (sambil nyengar-nyengir kuda gak jelas).
J: Wah kamu bisa main keyboard? Nama kamu siapa?
M: Meista, Pak. Iya bisa, Pak, dikit-dikit.
J: Wah kalau begitu kamu bisa gak jadi pengiring di upacara kita setiap hari Senin?

JENG JENG JENG!!!

Da saya mah apa atuh cuma butiran kemiri yang belom mahir-mahir amat main musiknya tapi udah disuruh ngiringin upacara TIAP SENIN... 😭

Respon saya selanjutnya hanyalah:

"(ketawa) Waduh, Pak. Saya belom jago main musiknya, Pak."

...dan percakapan berlanjut sampai akhirnya saya mendapat pinjaman keyboard sekolah.

Apa yang terjadi selanjutnya? Yap, akhirnya saya menerima tawaran dari Pak Jun untuk menjadi pengiring musik di upacara bendera setiap hari Senin dan hari-hari upacara lainnya (Hari Kemerdekaan, Hari Guru, bahkan sampe acara perpisahan guru / kepala sekolah). Kegiatan ini terus dilakukan sampai saya kelas 3 SMP, bahkan saya punya generasi penerus di angkatan adek-adek kelas. Saya masih inget tuh namanya; di kelas 2 ada yang namanya Dita, dan di kelas 1 ada yang namanya Tesar. Saya seneng parah karena regenerasi pemain keyboard di SMP Negeri 134 terus ada, bahkan sampe si Nanda masuk di SMP yang sama; bahkan sampe Nanda lulus pun tetep ada adek-adek kelasnya yang jadi pengiring musik di upacara. Entahlah, tapi jujur hati ini seneng banget ketika dapet info bahwa musik di SMP 134 masih hidup sampai sekarang blog ini ditulis.

Dari SMP berlanjut ke SMA. Di SMA Negeri 65 saya ambil ekstrakurikuler Paduan Suara dan Rokris (Rohani Kristen). 2 ekskul ini juga ternyata gak luput dari peran pemusik. Lagi-lagi, Tuhan bukakan jalan ini ke saya sebagai tempat untuk berlatih dan menggunakan talenta yang saya punya untuk dibagikan ke orang lain. Segala sesuatunya berjalan dengan sangat lancar dan menyenangkan... hingga akhirnya saya kembali mendapatkan pelajaran yang, sumpah, bikin saya sakit hati banget dan bahkan sempat berpikir untuk gak main piano lagi selamanya.

-----

Photo by Jude Beck on Unsplash

Singkat cerita, saya ikut acara Retreat Rokris di tahun 2007. Retreat itu semacam acara kamp kerohanian yang diadakan di luar lingkungan sekolah. Biasanya di luar kota kayak puncak, pokoknya di tempat yang dimana kita bisa dekat sama alam gitu deh. Nah disitu saya mulai dilibatkan sebagai pemain musik. Oh ya, sebelum cerita ini berlanjut saya mau cerita dulu tentang hal gila yang pernah saya lakukan di SMA (sampe sekarang aja saya masih jijik sendiri kalo inget kejadian itu hahaha). Waktu itu saya pernah ngontak kakak senior kelas XII dengan sms kayak gini:

Halo, Kak *** :) Kenalin, Kak, ini Meista. Aku anak baru, kelas X-2. Kata Bu **** nanti aku yang bakal gantiin kakak sebagai pemusik di sekolah. Hehehe. Mohon bantuannya ya, Kak.

OMAIGAT! Se-kurang ajar itu saya sama kakak kelas yang-main-pianonya-udah-piawai-abis-dan-bahkan-udah-melegenda-di-sekolah. Mau tau balesannya? Saya udah lupa juga sih saking gelinya, wkwkwk. Ternyata ke-tidak-behave-an dan ke-tidaktaumalu-an saya udah muncul sejak SMA ya πŸ˜‚

Oke, anyway balik lagi ke retreat SMA. Jadi di retreat itu tim pemusiknya ada si kakak kelas XII, ada juga rekan sejawatnya yang kelas XI, dan saya sebagai bocah ingusan yang dilibatin juga. Asal kalian tau ya, dikarenakan saya ini hanya butiran kemiri yang gak bisa apa-apa, akhirnya saya bawa sejumlah buku lagu rohani biar saya bisa liat partiturnya kalo ada lagu yang saya gak tau. Secara ya waktu itu saya sama sekali bener-bener masih newbie abis. Saya pasti harus baca partitur sebelum dimainin lagunya. Belum bisa nyari chord sendiri, belum bisa hearing, apalagi nyari tangga nada (maksudnya adalah ketika kalian mendengar sebuah lagu, dan kalian iseng coba-coba mencet satu not di piano dengan tujuan untuk mencari tau lagu tersebut dimainkan di tangga nada apa / do sama dengan apa, itu artinya kalian mencari tangga nada). Pokoknya satu-satunya senjata yang saya punya hanyalah: buku. Sampai tiba pada satu sesi dimana salah seorang guru pendamping yang juga jago main musik meminta saya untuk memainkan lagu yang, menurut beliau, gampang. Sedangkan waktu itu bagi saya semua lagu dadakan dan lagu yang saya gak tau itu susahnya setengah mampus (sampe sekarang sih sebenarnya saya masih belajar untuk bisa main lagu dadakan). Beliau mengajari lagu yang harus dinyanyiin di sesi tersebut ke saya yang waktu itu sangat gemeteran dan deg-degan bak mau ditembak gebetan--tapi bedanya ini takut, bukan seneng. Berhubung saya orangnya slow-learner, akhirnya beliau berkata kurang lebih seperti ini:

"Bisa ngga? Yah kamu sih bisanya main lagu yang udah tau doang, ya? Kalo disuruh main lagu baru pasti ngga bisa."

DEGG!

Saya cuma bisa ketawa kecil miris. Entahlah mungkin ketika kalian baca ini keliatannya biasa aja, tapi ketika kalian berada di posisi saya waktu itu, menghadapi situasinya langsung, melihat wajahnya langsung, mendengar suaranya langsung, melihat tatapan si kakak kelas XI yang waktu itu ada di sebelah saya, saya yakin 100,0% kalian pasti akan merasakan sakit hati yang sama. Apalagi ketika passion bermain piano itu sudah semakin besar. Saya lupa sih waktu itu pada akhirnya siapa yang main lagu baru tersebut, tapi yang saya inget pokoknya setelah saya selesai latihan, saya langsung ke kamar dengan alasan mau ambil alat tulis padahal mah nangis sejadi-jadinya kayak abis ditembak gebetan terus diterima terus langsung diputusin saat itu juga. Asliiik saya sakit hati banget pas denger omongan si bapak guru itu. Ketika saya lagi nangis itu, saya langsung ngambil keputusan untuk gak akan pernah main piano lagi selamanya.

-----

Photo by Catherine McMahon on Unsplash

You know what? Ternyata segala keputusan yang diambil saat orang lagi tidak dalam keadaan stabil, pasti fakta yang akan terjadi adalah sebaliknya. Hingga saat ini ketika tulisan ini di-publish, saya masih terus berterima kasih sama guru saya itu karena dia udah ngasih pelajaran berharga. Bukan, bukan artinya setelah retreat berakhir saya akhirnya balik lagi pengen main piano dan menyesali keputusan saya itu, bukan. Saya beneran mogok main piano kok. Seminggu. Terus saya malah jadi benci banget sama si bapak guru itu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, passion dan berbagai jam terbang yang Tuhan sediakan benar-benar memulihkan hati dan kekelaman di masa lalu. Hingga akhirnya, boro-boro berhenti main piano, saya malah makin semangat mengasah dan melatih kemampuan saya ini dan semangat juga membagikannya ke orang lain. Perhatikan! Bukan ambi(si) dan bukan pamer. Ambi dan pamer itu ketika diri sendiri yang ingin ditinggikan. Saya gak bohong kok sering bangga dan besar kepala kalo saya udah berhasil main piano di atas panggung, berhasil konser, menang lomba band, pelayanan sebagai pemusik di gereja lancar, dapet pujian dari orang-orang, tapi saya tau kalo saya besar kepala, saya akan cenderung tinggi hati dan pasti gak akan mau merendahkan hati. Saya akan ngerasa jadi orang paling jago, paling bisa, dan sekalinya jatuh pasti langsung depresi. Saya tau hal-hal itu gak bener dan akan mengarahkan saya pada hal yang gak baik juga. Terus saya inget lagi bahwa talenta ini semata-mata GRATIS dari Tuhan! Bukan dari diri sendiri. Itulah mengapa saya cukup menghindari setiap pujian dan apresiasi dengan cara bilang "Puji Tuhan, terima kasih", sambil senyum dan tetap kontrol hati biar gak melambung terlalu tinggi. Bangga boleh, tapi bangga yang diiringi rasa syukur ke Tuhan itu jauh lebih menyenangkan jiwa. Bangga yang bikin kita semakin merendah dan semakin mau belajar itu yang keren. Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Terus inget: di atas langit masih ada langit. So, this whole life is full of experiencing. Saya inget banget waktu masuk persekutuan mahasiswa Kristen di kampus, saya udah ge-er bahwa saya akan jadi pemain musik lagi. Saya merasa diri bisa, mampu, dan berkapasitas untuk jadi pemusik di pelayanan kampus. Hahaha, iya sih, saya memang akhirnya melayani sebagai pemain musik, tapi proses menuju ke arah situnya bener-bener beda sama ekspektasi saya. Awalnya saya mikir "...apaan sih ribet banget deh harus ikut pembinaan segala, training segala, gue kan udah melayani di gereja jadi pasti paham lah", sampai akhirnya saya bener-bener sadar bahwa ngerjain sebuah pelayanan itu gak cukup cuma modal punya skill atau pengalaman doang. Pelayanan itu kan ditujukan buat Tuhan, otomatis si pelayannya pun ya harus punya relasi yang baik sama Tuhan, harus tau itu lagu-lagu dimainin buat Siapa. Nah hal-hal inilah yang membuka pikiran saya ketika bermain musik. Gak cuma di pelayanan kerohanian aja loh. Ketika saya main musik lagu-lagu non-rohani gitu, saya mainin dengan tujuan agar orang-orang bisa nikmatin musiknya. Berarti kan cara main saya juga bukan hanya untuk kesenangan diri sendiri aja, tapi gimana caranya saya juga bisa bikin orang enjoy sama lagu yang saya mainkan.

Begitu banyak track record perjalanan bermusik saya sampai saat ini. Saya bersyukur banget Tuhan bener-bener menuntun agar saya menyukai dan memperdalam bakat yang awalnya saya cuekkin ini. Makin kesini saya makin sadar bahwa saya ngerasa sukacita ketika banyak orang terberkati dengan permainan piano yang saya lakukan (inget ya, bukan hanya dalam hal pelayanan rohani, tapi juga dalam hal lagu-lagu sekuler). Sampai saya mencapai status sebagai karyawan saat ini, saya masih suka merenung kayak gini: jangan-jangan panggilan hidup saya ke musik? Atau ke nulis?--ini baru saya sadari akhir-akhir ini ketika saya jadi keranjingan ngerapihin blog sama Instagram feed. Sampai sekarang sih saya masih galau banget panggilan hidup saya sebenarnya apa, tapi seiring dengan waktu yang terus berjalan saya terus melakukan apa yang menjadi passion saya sambil terus menerus bergumul di hadapan Tuhan. Kalo kata Raditya Dika di seminar "Writing is Empowering" beberapa tahun lalu di kampus: Apa yang menjadi bara di dalam hati lo?

Akhir kata, buat kalian semua para pembaca blog, kembangkanlah kemampuan kalian. Just enjoy it and don't forget to share it. Talenta itu banyak loh, macem-macem, dan cara pengembangannya pun juga macem-macem. Tergantung seberapa niat dan rajinnya kita dan seberapa besar tekadnya untuk ngembangin hal itu. Semangat!!! πŸ’“πŸ’“πŸ’“

Live now in the present, because this life is a present.

Comments

Popular posts from this blog

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN