Dare To Crush The Shame -- Berani Menghancurkan Rasa Malu

Photo by Austin Kehmeier on Unsplash


Pernah gak sih kalian ngerasa bahwa menjadi pendengar cerita orang lain itu jauh lebih "aman" dan nyaman dibanding menceritakan cerita kita sendiri pada orang lain?

Pernah gak ngerasa lebih sulit bercerita daripada mendengar cerita?

Gue pernah.

Rasanya tuh baik hati aja gitu kalo lebih banyak mendengar daripada bercerita. Rasanya lebih senang kalau ada orang mau cerita sama gue, karena gue ngerasa berarti dan dibutuhkan sama mereka, yaaah at least diri ini gak sampah-sampah amat lah.

Itu tendensi motivasi gue yang disadari.

Dan apa alasannya gue lebih senang mendengar daripada bercerita?

Pertama, gue ngerasa cerita gue gak worthed. Sampah. Untuk apa juga nyeritain cerita sampah ke orang lain--entah itu pergumulan pribadi, masalah, perasaan--itu semua gue anggep sampah dan gak guna untuk diceritakan ke orang lain.

Kedua, kalo nyeritain cerita sendiri, gue ngerasa lagi self-pity. Ada intimidasi di pikiran bahwa "Ceritamu gak ada apa-apanya dibanding penderitaan orang lain". Akhirnya gue lebih memilih diam dan mendengar kisah orang lain.

Ketiga, gue takut dan malu dengan efek dan respon yang akan gue terima jika ikut-ikutan bercerita. Entah efeknya orang lain jadi ilfeel, menjauh, menganggap diri kita rendah, tak bernilai dan tak berharga, takut dianggap makin sampah--karena udah ngerasa jadi sampah di awal--akhirnya keputusan bungkam pun diambil. Oh ya, tambahan 1 lagi: takut respon yang akan mereka berikan tidak sesuai dengan harapan kita.

Akhirnya, ada motivasi yang salah dengan keputusan 'lebih baik mendengar cerita orang lain daripada gue yang bercerita'. Karena itu tadi. MALU. Dan TAKUT. Terus unsur-unsur pride karena merasa diri ini dibutuhkan juga terlibat. Ujung-ujungnya, ya bukan kasih lagi motivasinya, tapi kebutuhan akan pengakuan diri bahwa ternyata diri ini tidak se-sampah yang dibayangkan--dalam konteks dicurhatin orang lain ya maksudnya.

---

Gue mau mengutip salah satu bagian dari buku The Soul of Shame tulisan Curt Thompson:

"Salah satu hasil paling kuat dari rasa malu (shame) adalah rasa takut akan keterbukaan, hal yang secara paradoks, dibutuhkan agar rasa malu bisa dihancurkan.

Butuh keberanian besar untuk membuka diri kita ketika menghadapi rasa takut terlihat dan kemudian ditolak. Membuka diri kita yang sebenarnya--kelemahan, kecacatan, kesalahan dan kerusakan kita, bersama dengan keinginan, kebutuhan dan harapan kita--kepada orang lain yang bisa melukai kita menimbulkan risiko kita dikritik, dihakimi, dan ditinggalkan."

Sooo, it's the shame yang mengintimidasi gue dalam hal ini--dalam hal membuka diri pada orang lain yang dipercaya. Ya bukan artinya kita wajib terbuka sama semua orang, ya gak gitu juga πŸ˜‚πŸ˜‚

Hati dan pikiran akan ngasih tau sih siapa orang yang bisa kita percaya untuk keterbukaan itu. Coba belajar peka aja. Bisa keluarga, sodara, tetangga temen main, temen kantor, temen kampus, anyone. Yang penting orang, bukan kucing atau trenggiling meski keduanya menggemaskan.

(Eh tapi kenapa sih penting banget ya terbuka sama orang lain yang dipercaya? Emang gak bisa disimpen dan dipendem sendiri aja gitu, sis kak dek mbak tante Mei?)

Gue juga akan memilih opsi diam, mendem, dan nyimpen sendiri sih, instead of terbuka sama orang lain πŸ˜… Memang betul, kita bisa memilih mau terbuka atau diem aja, tapi efeknya pun akan berbeda. Lagi-lagi gue mau ngutip beberapa hal dari buku yang sama ya:

"Pengakuan rasa malu bukan jalan pintas bagi kerja keras atau jalan mudah untuk terlepas dari rasa malu itu sendiri. Dalam Yohanes 21, Yesus tidak mengabaikan penyangkalan Petrus. Dia tidak mengecilkan dalamnya luka yang Petrus berikan. Dan seperti Petrus, kita perlu bertanggung jawab atas semua tindakan kita yang terbukti merusak.

Bukan karena Allah ingin kita untuk menghina diri atau mengingat terus kesalahan kita, tapi kita belajar dan bertumbuh dalam kesadaran kita bahwa hidup kita dan relasi dengan orang lain sangatlah penting. Sekali lagi, kita melihat pentingnya relasi tidak seserius yang Allah lakukan."

---

Photo by Rosie Fraser on Unsplash


Jadi...

Penutup dari rentetan kata-kata yang gue bombardir di blog ini adalah:

Kalo mau bertumbuh dalam Tuhan, CARI TEMAN yang bisa dipercaya! JANGAN SENDIRIAN! Susah cuy bertumbuh sendirian tuh.

Bisa sih, tapi lama-lama melelahkan, jujur aja. Benar adanya bahwa kita bisa bertumbuh dari baca buku, nonton video-video pembinaan, tapi kalo gak diiringi dengan relasi dalam komunitas kecil...siap-siap capek aja karena ngerasa berusaha sendirian.

Demikian 😊

---Sebuah postingan iseng di Instagram Story 😁 Boleh follow yaa kalo mau @atnisirc. Dan boleh unfollow yaa kalo konten-konten gue unfaedah untuk hidup kalian πŸ˜‰---

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

A Deep Grief, A Great Bless (part 1)