Tetesan Air dan Cerita

Photo by Mike Kotsch on Unsplash

Gue suka banget sama hujan. Hujan buat gue enggak cuma sebuah fenomena alam biasa, tapi sebuah momen di mana gue bisa merasa lebih tenang. Tentu, gue bersyukur juga untuk musim panas yang Tuhan anugerahkan. Cucian baju bisa cepet kering yekan kalo panas. Hanya jika ditanya lebih suka hujan atau panas, gue akan memilih hujan, meskipun...hujan pun bisa membawa bencana banjir yang jadi "langganan" dateng ke rumah gue kalo dia datengnya rame-rame, keroyokan, dan menghabiskan waktu berjam-jam, seperti yang terjadi di awal tahun 2020 ini.

Walaupun demikian, gue tetap enggak akan merubah kesenangan gue terhadap hujan. Ketika hujan turun, gue pasti otomatis langsung nengok ke jendela. Antara ngecek apakah ada cucian yang belum diangkat, atau ngecek seberapa besar intensitas hujannya turun, atau juga cuma sekadar menikmati turunnya butiran-butiran air dari langit. Bukan cuma air yang dilihat, tapi juga langit berwarna kelabu yang tertutup awan hujan. Ditambah aroma tanah yang menjadi serapan air dan juga udara sejuk yang menyelimuti seisi rumah. Awalnya, gue pikir gue hanya menyukai hujan yang turun saat Natal. Namun sekarang gue sadar bahwa gue benar-benar menyukai momen saat hujan turun kapan aja.

Seperti yang terjadi di hari ini. Senin, 20 Juli 2020. Hmmh, begini deh karakternya orang melankolis. Ketika menikmati suatu hal, pasti langsung jadi buah pikiran dan perenungan. Nah, daripada cuma numpuk di kepala, mending dikeluarin dalam bentuk tulisan blog kayak yang biasa gue lakukan 😁

---

Photo by Inge Maria on Unsplash

Hari ini gue kebagian jadwal work from home atau yang biasa disebut orang-orang sebagai WFH. Sebelum mulai ngutak-ngatik kerjaan, gue nyempetin waktu sekitar 1 jam untuk main piano. Ini karena komitmen pribadi aja sih, bahwa gue harus konsisten untuk melatih dan menseriuskan diri dalam hobi. Kebetulan gue lagi pengen belajar lagunya Tiara Andini yang judulnya "Maafkan Aku #TerlanjurMencinta". Sekalian belajar buat cover-an berikutnya untuk konten IGTV. Hehehe. Terus pas lagi pelajarin lagunya, gue baca liriknya. Yah, tipikal lagu-lagu galau zaman now lah yaa. Tentang suka-sukaan, jatuh cinta, tentang kenapa kamu deketin aku padahal kamu milihnya dia? #EAAAA πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Belajar piano lagu sendu, sambil baca liriknya yang kayaknya relate sama kehidupan hati kaum muda, tiba-tiba hujan turun. Waaah makin-makin mellow lah gue ya kaaann πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚ Untungnya gue cuma punya waktu 1 jam buat main piano karena setelah itu bokap mau ngajar dan pianonya akan dikuasai beliau selama beberapa jam berikutnya. Jadi akhirnya gue menyelesaikan latihan gue pagi ini, dan pindah ke kamar (yang sekarang berubah multifungsi jadi kantor juga kalo lagi WFH), buka laptop, sambil mantengin hujan yang turun dari jendela kamar.

Adem. Tenang. Sejuk. Kadang campur was-was juga kalau tiba-tiba hujannya makin deras dan gak berhenti-berhenti. Puji Tuhan hujan hari ini enggak sederas dan selama itu sih. Jadi pelataran rumah masih kering aman sentosa, hehehe. Nah, selama hujan masih berlangsung, gue pun kembali melanjutkan perenungan tentang beberapa hal. Salah satunya mengenai hati. Ya ini mungkin karena terpengaruh lagunya Tiara Andini yang barusan gue pelajarin di piano itu kali ya πŸ˜‚

2019 menjadi tahun pembelajaran hati yang sangat berharga buat gue. Tuhan sungguh sangat baik telah memberikan gue kesempatan untuk belajar tentang hati dan relasi. Yah, memang enggak selalu menyenangkan, tapi enggak selalu menyakitkan juga. Ending-nya sih memang sedih dan sakit, tapi di bagian ending inilah gue belajar tentang self-love. Bagaimana ternyata harusnya gue mengasihi dan menghargai hidup gue terlebih dahulu, sebelum gue memutuskan untuk mengasihi orang lain--ini konteksnya mengasihi untuk dijadikan teman hidup ya, bukan sekadar mengasihi yang level permukaan dan santuy-santuynya aja.

Teman, buku, pembinaan rohani, termasuk Firman Tuhan di dalamnya, mengajari gue bahwa siap mengasihi, berarti siap terluka. Siap membuka hati, berarti siap menghadapi kerentanan (rentan, sebuah kata yang gue nikmati sehabis baca buku The Soul of Shame karya Curt Thompson). Siap membuka perasaan, berarti siap dikecewakan.

Hmmm. Nulis gampang, prakteknya berdarah-darah πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Somehow painful, but it's true. I will start from loving and appreciate myself first, so that I have an ability to love others as well. Sambil menyadari bahwa gue adalah manusia biasa yang penuh dosa, bukan Juruselamat seperti Yesus, jadi tentu gue gak akan menempuh "petualangan relasi" ini sendirian. Gue akan mengandalkan Dia, satu-satunya harapan sejati dalam hidup. Bukan cuma tentang soal apakah gue mendapatkan apa yang gue inginkan, tapi gue ingin gue mengalahkan ketakutan-ketakutan gue sendiri. Ya coba bayangin aja deh, siap mengasihi berarti siap terluka. Siap buka hati berarti siap kecewa. Kalo mau dilihat dari sudut pandang pesimistis mending gak usah jatuh cinta, ya gak sih? Aman gitu. Lindungin dan urusin aja diri sendiri. Gue juga kalo mau bisa aja milih untuk proteksi hati sendiri daripada harus menanggung resiko dikecewakan akibat mengasihi seseorang. Cuman...gue gak mau egois. Gue rasa gue akan egois ketika gue "memaksa" hati gue untuk gak boleh suka sama siapapun demi supaya gue gak sakit hati dan kecewa lagi. Jika seperti itu, mungkin selamanya gue akan hidup dalam pesimistis, bukannya optimis dan berpengharapan. Itulah mengapa gue bilang bahwa gue akan terus nemplok relasinya sama Tuhan, supaya gue pun bisa peka sama apa yang Tuhan tunjukkan di jalan hidup gue--dalam hal ini ya soal relasi dan hati. Gue bersyukur juga untuk orang-orang yang Tuhan anugerahkan di sekeliling gue (baik yang hadir secara fisik maupun jarak jauh) yang menolong gue menempuh petualangan ini.

Kadang kalo denger lagu-lagu mellow gitu--gue sih pecinta Kahitna dan karya Yovie Widianto sejati yaa, hahaha--liriknya seakan membuat gue berpikir bahwa mencintai seseorang itu terlalu mudah atau terlalu kompleks at the same time. Hanya di sini gue gak mau membuat pikiran gue ribet dengan pemikiran tersebut. Sekarang keinginan gue lebih ke pengen ngejalanin aja apa yang ada di depan mata. Jujur sih, pasca patah hati kemaren itu gue cenderung untuk tutup hati dan gak mau berteman dengan cowok manapun. Gue malah terpikir lebih aman temenan sama cowok yang udah punya pacar atau udah beristri karena gue gak mungkin terlibat perasaan apapun. Teman, ya teman. That's it. Tetap seru, tetap asik dalam batasan pertemanan, dan gak mungkin ada perasaan karena gue tau hati mereka udah dimiliki orang lain. Gue malah lebih terbebas dari potensi timbulnya perasaan.

---

Photo by Miha Arh on Unsplash

Lalu sekarang pertanyaan perenungannya, sambil masih ngeliatin hujan gini ya kan: apakah Meista sudah siap buka hati lagi?

Jawabannya: ENGGAK TAU πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

(Kesel ya, ngapain nanya kalo gitu hahahaha πŸ˜…)

Gue sendiri masih enggak tau caranya buka hati yang tepat itu seperti apa. Terus kalo ditanya: udah siap berelasi? Enggak tau juga. Keknya gue masih takut-takut gimanaaa gitu πŸ˜… Masih takut dikecewain, takut ketika gue membuka hati untuk orang lain gue kembali terluka, takut ketika bahasa kasih gue malah diinterpretasikan 'beda' oleh orang lain sehingga orang tersebut malah jadi kecewa, ilfeel, dan (yang paling buruk): menjauh.

Kompleks ya ternyata kalo udah bahas ginian, hahaha. Eh tapi ya, pelajaran lainnya yang gue petik adalah kita gak seharusnya terlalu fokus pada isu/masalah hati dan relasi ini. Bukan berarti kita gak boleh jatuh cinta, bukan berarti kita gak boleh jaga hati sendiri, tapi coba fokuskan diri kita pada sesuatu yang sedang ada di depan kita. Sebuah buku mencatat seperti ini: "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." Soo...I believe that everything happened in the right time, for a good reason. Meskipun kita yang ngaleminnya tidak melihat hal itu sebagai pengalaman yang baik atau menyenangkan diri kita. Patah hati, misalnya. Dikecewakan, misalnya. Dijauhi, misalnya.

Gue ingin menggunakan waktu-waktu ini untuk mengerjakan hal-hal yang sedang dipercayakan ke gue saat ini. Ya dari pekerjaan, hobi main piano sampai nge-cover lagu, hobi nulis blog receh dan serius, sama baca buku. Mungkin saat ini, katakanlah, gue masih ragu untuk kembali membuka hati. Tapi gue percaya "...untuk apapun di bawah langit ada waktunya." Gue akan tetap berteman baik dengan semua orang, menjalin relasi, mengerjakan hal bersama-sama, menjadi berkat bersama-sama, dengan teman laki-laki, maupun teman perempuan.

😊🌹

---

(Anyway, sepanjang gue nulis blog ini hujannya turun-berhenti-turun-berhenti-deras, dan sekarang pake tambahan petir ☔)

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

A Deep Grief, A Great Bless (part 1)