Celotehan Hati ke Teman-Teman Dekat (karena kalau lewat chat kepanjangan, heu)

Photo by Billy Pasco on Unsplash

Insecure. Merasa tidak aman dan berbahaya.

Mungkin sensasi atau perasaan macam ini sangat lazim dialami oleh manusia dengan karakter pendiam, tertutup, pemalu, dan sejenisnya, ketika berelasi dengan orang lain. Gak heran orang seperti ini akan memiliki teman yang sangat sedikit--lebih tepatnya teman terpercaya yang sangat sedikit. Karena enggak semudah itu untuk mempercayakan kisah hidup "sampai ke dalam-dalam" kepada orang lain (bahkan untuk beberapa orang sangat sulit juga untuk terbuka dengan keluarga intinya sendiri).

Terbuka. Menjadi kata kunci penting ketika kita mulai percaya dengan orang lain. Percaya bahwa orang (atau orang-orang) tersebut akan menerima kita dan juga kisah-kisah yang akan kita sampaikan.

Tapi sampai batas apa orang boleh membuka kisah hidupnya pada orang lain?

Ya gak ada aturan baku dan saklek, sih. Sejauh kedua pihak tersebut sama-sama sepakat untuk:

Oke, saya akan belajar berani untuk membuka kisah hidup saya kepada kamu/kalian.
Oke, saya/kami akan belajar berani untuk menerima kisah hidupmu juga.

Asal kita bertumbuh sama-sama.

---

Tapi kenapa ya gue udah gak ngerasa aman seperti ini lagi sama kalian?

Terlepas dari apa penyebabnya, yang mungkin bisa aja dirunut-runut atau bisa aja kalian terka-terka penyebabnya ketika baca ini, izinkan gue menuliskan segala sesuatunya terlebih dahulu:

I don't feel like I'm still belong there anymore. That group. Even I don't know if you still realize with my presence or care with me or not.

Kamu paling lagi self-pity aja, Mei. IYA, gue tau, dan gak usah diperjelas. Gue paham kalian juga punya pergumulan dan penderitaan masing-masing, and I do really care with each one of you! Tapi gue gak ngerasa hal sebaliknya terjadi. Hidup gue yaa berjalan seperti biasa aja, without anyone reaching me out--at least dari orang-orang yang gue percaya yang ada di grup itu.

Berarti kamu mengasihi mereka pamrih dong kalo ngarep balesan? Yaaah anggaplah demikian. Terserahlah. Judge me with whatever word you want. Intinya gue sedih aja, kenapa gue sesayang itu sama kalian, kenapa gue bakal ngejapri salah satu dari kalian kalo ada yang udah lama enggak nongol di grup. Because I realize that you exist! Because deep in my heart I do really care about your life!

I've never ask for any return when I'm doing all that things. Tapi ada di satu atau sekian masa di mana gue cuma ingin didengar. Ingin dimengerti saja sebentar. Tanpa perlu kalian "tindih" dengan pergumulan kalian yang mungkin menurut kalian itu bisa meringankan beban gue supaya gue gak ngerasa sendirian bergumul di dunia ini--doesn't mean I don't care with your problems--tapi ada di satu atau sekian masa gue merasa tidak dihargai. Gue merasa kalian menganggap permasalahan yang gue share di sana adalah permasalahan yang cemen, sehingga gue jadi makin segan, insecure, dan merasa berbahaya jika bercerita lebih lanjut pada kalian.

Ya sudah, lebih baik mungkin peran gue di sana sebagai pendengar saja, dan mungkin juga sebagai anggota grup yang harus bisa paling memaklumi kondisi anggota grup yang lain. Gak usah lah berharap apa-apa dari teman-teman yang selama ini gue anggap sebuah komunitas kecil yang paling dipercaya.

You know, it hurts. Even maybe you guys don't have any intention to hurt me.

---

Second, I don't know if you still want to continue reading this or not, but I'm encouraging myself to tell you what happened to me lately.

Sometimes it's very TIRING to be first-born. Hari Sabtu lalu adek gue deep-talking sama gue, dan dari sekian banyak cerita dia, juga dari sekiaaaaaaan banyak peristiwa melelahkan yang terjadi di rumah tentang dia--yang tiba-tiba dia nangis sendiri lah, tiba-tiba takut ini dan itu lah, tiba-tiba emosi sendiri gak jelas lah--akhirnya gue menemukan akarnya yang dia katakan dari mulutnya sendiri: "Aku benci sama diriku sendiri." Setelah itu gue peluk dia, terus gue ajak dia doa bareng di kamar--sesuatu hal yang gak pernah kami lakukan sebelumnya. Gue cuma minta dia untuk buka hati biar Tuhan yang nolongin. Karena menurut gue, milyaran kata-kata nasehat dari gue dan orang tua bakal mental semental-mentalnya jika dia sendiri gak buka hati untuk mau ditolong dan malah lebih mau berusaha sendiri keluar dari masalah emosi & kepribadiannya itu. Lalu gue berpikir kalau sampai jangka waktu tertentu dia enggak berubah, entahlah, mungkin gue akan coba cari psikiater anak.

Di hari Minggunya, di mana orang tua gue pergi ke gereja karena ada tugas pelayanan, mereka kembali pulang dengan berbagai cerita yang--to be honest--melelahkan. Karena gue udah tau betul itu gereja kayak apaan. Jadi belum selesai gue lelah dengerin problem adek gue sampe jam 3 pagi, kurang tidur, masih lagi diterpa cerita orang tua gue di gereja. Level lelahnya tuh: sangat.

Then, at this level I feel like...wow.

I know every people around the world will have their own problems. Weaknesses. Issues. And I also know that it is our choice to willingly pay attention for others or not. Di saat itulah gue masuk ke perasaan sendirian. Terasing. Tak dipedulikan.

Ketika banyak orang datang pada gue menumpahkan masalah mereka, why I have my attention and heart for them? They have my eyes and ears to read and listen, without needed to do any favor for me. But why I'm feeling alone after that? Masih adakah orang baik di luar sana?

Self-pity, words like: 'yaelah Mei bukan elo doang kali yang ngerasa kayak gitu', 'yaelah Mei gue juga kali', 'bukan cuma kamu kok yang menderita', and many things has been intimidated me recently. I KNOW ABOUT ALL THAT THINGS. I know Jesus loves me that much, so I can trust all my life into His hands. But at the same time, I do not trust human. I've been skeptical and cynical. Like...yah udah lah, orang kan paling dateng ke gue kalo butuh doang. Mana ada yang sengaja gitu mau tau kabar, atau at least nyariin masih idup apa enggak, atau ya paling ditanyain kalo udah mulai diem di grup kayak sekarang ini.

Then I realized that I'm not savior. I'm not the real Savior. Jesus is. Jadi, ya memang gue manusia berdosa yang kasihnya juga sadar-gak sadar pasti pamrih. Meminta balasan. Mengharapkan orang lain punya hati yang sama kayak gue mengasihi mereka. Mengharapkan kalian punya hati dan care yang sama kayak gue mengasihi dan memperhatikan kalian satu-satu.

---

Ketiga, gue gak tau pertemanan kita apa hanya akan begini saja, sekadar sharing kondisi, atau tetap bakal komitmen untuk bertumbuh dalam Firman bareng. Karena gue pribadi makin butuh teman untuk 'ngomelin' gue dalam hal pertumbuhan rohani, belajar Firman bareng lagi, 'maksain' gue lagi untuk disiplin rohani yang bikin kita makin dewasa dalam Kristus. To be honest gue sudah menghubungi pengurus PAKJ siapa tau masih ada kelompok atau orang yang mau nerima gue jadi anak gembalanya. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada kalian teman-teman gue yang (semoga akan tetap sampai selamanya) gue percaya, gue hanya menduga kita semua kekeringan dan butuh leader.

That's all I can say.

Hope you guys are doing well.

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

A Deep Grief, A Great Bless (part 1)