...dan terjadi lagi...

Photo by Lidya Nada on Unsplash

Hellow!

Yak, entah udah berapa purnama gue gak bacot lagi di blog ini.

Bukan, bukan karena terlalu sibuk atau sok sibuk, tapi ya memang lagi tidak ingin menulis saja.

Sebenarnya lagi terlalu banyak hal-yang-tak-diinginkan datang bertubi-tubi sejak dari yang terakhir gue nulis.

Dan sekarang keinginan nulis itu muncul kembali.

Semoga kalian gak sakit mata yah baca curcolan gue kali ini, karena topiknya masih sama aja, masalahnya masih sama aja, dan pihak yang akan kuceritakan pun masih sama aja.

Hahaha (getir gitu ketawanya πŸ˜…πŸ˜…πŸ˜…).

---


Photo by Joseph Chan on Unsplash

Anyway, kalo gue disuruh milih lagu yang tepat untuk menggambarkan situasi gue kali ini, gue akan nyanyiin lagu Noah yang bagian: "...dan terjadi lagi..."

Dah itu aja.

Wkwkwk.

Ambyar, gaes.

Ambruk.

Lagi-lagi gue harus mengalami kesedihan yang disebabkan oleh ketidakmampuan gue sendiri dalam menghadapi masalah relasi.

Enggak, sebenarnya enggak ada masalah apa-apa.

Intinya gue cuma lagi suka sama orang, mencoba untuk mengasihi seorang teman sambil mendoakannya, tapi mungkin guenya kembali kelewat baper dan akhirnya kecewa dengan sebuah tindakan kecil yang sepelenya banget-banget.

Gimana ya...jujur gue bingung sih sama situasi kayak gini.

Sering gue bertanya-tanya sendiri macem: ini gue salah di sebelah mananya sih?

Kok endingnya selalu sedih melulu?

Apa gue yang terlalu berharap padahal sebenarnya dianya biasa aja?

Atau apa gue yang kelewat baper padahal sebenarnya dia cuma nganggep gue teman biasa dan gak lebih?

Ya begitu-begitu dah.

While di sisi lain, gue bukan tipe yang jago membohongi perasaan sendiri.

Meski tidak melalui verbal, puji Tuhan gue sering diberi keberanian untuk menunjukkan bentuk kasih gue dalam beberapa kesempatan dan dengan bentuk yang beda-beda.

Tentu, gue tidak pernah sekalipun menyatakan apa-apa.

Tapi keknya memang bahasa kasih gue enggak nyampe.

Atau mungkin salah diterjemahkan oleh si penerima.

Sebagai anak komunikasi, menurut gue hal yang penting banget untuk menyampaikan kasih lewat komunikasi (lagi-lagi, dalam hal ini tentu bukan yang dalam bentuk ngomong langsung like: gue tuh naksir sama elo).

Hiiii, bukan gue banget πŸ˜–

Gue lebih memilih untuk menunjukkan kasih dengan cara yang lebih konkrit, yang berorientasi pada kepentingan dirinya, bukan kepentingan gue.

Tapi ya itu, antara memang tindakan kasih gue tak pernah terbaca/terdeteksi, atau ya memang tindakan kasih gue tidak ingin diterima entah apa alasannya.

---


Photo by Danilo Batista on Unsplash

Kamis kemarin (12/3) gue kembali banjir air mata (yaelah-able gak tuh πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚).

Nangisnya karena kembali meratapi kegagalan gue yang sudah tidak kuat lagi untuk menggumulkan si suka-sukaan ini.

Plus, ditambah memang gue sakit hati dengan salah satu respon dia ketika kami sedang seru-serunya ngobrol di dunia maya.

Nah, inilah kesalahan gue.

Udah tau lagi berusaha move on.

Udah tau masih dalam proses melepas, melupakan, dan kembali menganggap dia sebagai teman biasa, gak lebih.

Eh, masih aja berkomunikasi.

Begini dah akibatnya, kelewat baper lagi kan.

Dan akhirnya gue pun mau enggak mau harus menghadapi kesedihan dan ketakutan gue sendiri.

Setelah meratap dan menangisi kondisi pribadi gue ini, gue akhirnya mengambil keputusan untuk menghentikan semuanya.

Berhenti berharap.

Berhenti mengartikan banyak kondisi yang ada sangkut pautnya dengan keberadaannya.

Berhenti mengingat-ingat momen bersamanya yang cuma semenit dua menit entah apa.

Ya intinya udah, move on.

No other choice.

Toh, memang pada dasarnya gue tidak bisa (dan tidak mungkin) untuk meminta orang lain (orang tersebut) berperilaku sesuai dengan apa yang gue mau.

Enggak mungkin.

Makanya, penyelesaiannya memang harus dari diri gue sendiri terlebih dahulu.

Meminta Tuhan untuk kuatkan hati gue yang berkali-kali hancur akibat harapan dan ekspektasi gue sendiri.

Dan tidak menyalahkan Tuhan atau apapun yang terlibat dalam masalah ini.

Termasuk tidak menyalahkan dia.

Gue yakin dia pun diproses oleh Tuhan dalam kehidupan pribadinya.

Akhirnya...ya udah deh, gue kembali mencari lagi teman laki-laki lain yang sekiranya bisa menerima dan konek dengan bahasa kasih gue.

Oh iya, sebetulnya dari peristiwa ini sih gue jadi lebih mengenal diri gue sendiri.

Gue jadi lebih tau, sebenarnya gue butuh cowok yang kayak gimana sih; terus ya jadi paham aja sama diri sendiri kira-kira kalo ngambek atau kecewa itu pemicunya hal-hal yang kayak gimana.

Jadi nanti kedepannya jika memang Tuhan mengizinkan gue pacaran seturut waktu-Nya, setidaknya gue sudah memahami dan mengenal diri gue sendiri, sebelum akhirnya gue yang harus juga mengenal si pacar gue ini lebih baik lagi.

Gituuuu... 😁

---


Photo by Cata on Unsplash

Iyah, jadi kemaren gue nangis-nangis bombay lagi, gaes.

Astagaaa, wkwkwk.

Yah, ternyata dibentuk karakter menjadi makin dewasa dalam Tuhan tuh bener-bener digojlok habis-habisan.

Hidup tuh berasa kayak roller coaster, naik-turun, bulak-belok, miring sana miring sini.

Hiiiiih, ngeriiii 😰

Tapi 1 hal sih yang menguatkan gue: bahwa Tuhan gak pernah kemana-mana.

Dia selalu menyertai gue dan melindungi gue dalam kondisi apapun.

Pun jika gue berhasil melewati semua ini, itu semua karena Tuhan yang mampukan gue untuk bisa 'sembuh total' dari penyakit hati ini.

---


Photo by Dev Asangbam on Unsplash

Kok lo berani sih, Mei, nulis terang-terangan gini di blog?

Kan ini ranah publik.

Emang lo gak takut dibaca yang bersangkutan?

Monmaap, gue sudah tidak peduli 😜

Gue sih anaknya sulit bohong ya.

Kalo gue bohong pasti langsung ketahuan.

Karena gue memang gak pandai menyembunyikan sesuatu.

Makanya dari awal proses gue ngedoain orang ini pun gue sudah benar-benar apa adanya.

Gak ada yang diumpet-umpetin.

Gue salting kok depan dia (menurut gue sih gitu, gatau kalo dianya gak notice).

Terus gue juga beberapa kali merhatiin kondisi dia, nanya bisa gue bantu doain apa, berharap dia baik-baik saja, atau berharap dia cepat sembuh baik fisik maupun hatinya.

Cuma ya itu, mungkin gak sampai aja bahasa kasih gue ke dia, hahaha.

---


Photo by Myriam Olmand on Unsplash

Kira-kira itu aja gaes yang mau gue ceritain.

Lagi-lagi kurang mendetail tapi pasti beberapa dari kalian sudah tau siapa orang yang gue maksud.

Bener kok, gue berani-berani aja nulis nama dia di sini, cuma gue paham yang namanya privasi, jadi lebih baik tetap disamarkan saja.

Oh paling identitasnya aja kali ya sedikit: dia lebih tua dari gue.

Nah, bingung kan lo nyarinya? πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Eh bentar, nambah dikit: awalnya gue gatau kalo dia lebih tua dari gue.

Gue taunya dia junior gitu, di bawah gue.

Eh ternyata suatu hari gue dikasih tau langsung sama orangnya kalo dia lebih tua dari gue.

Yaudah sejak saat itu langsung otomatis gue abang-in lah, hahaha.

Tapi seiring dengan berjalannya waktu dan berbagai proses-proses yang aneh, awkward, sampai yang berlinang air mata, gue akhirnya menangkap bahwa dia tidak se-abang itu.

Yowes lah, teman saja.

Teman sejawat, teman bacot, teman ngata-ngatain...ya teman.

Makanya sejak kapan itu gue lupa gue udah jarang manggil dia abang.

Karena dia tidak se-abang yang gue kira.

Gue memang mempertimbangkan cari pasangan itu yang lebih tua dari gue.

Harapan dan ekspektasinya sih supaya bisa sekalian di-abang-in atau di-kakak-in.

Yah maklum lah, gue anak sulung, jadi gue berharap bisa ketemu yang mampu meng-adek-kan gue.

Itu lagi-lagi cuma preferensi.

Toh kehendak Tuhan juga kok yang akan terjadi 😊

Sekian.

Udah ah, capek.

Mau bobok dulu yaaa guenya.

Makasih sudah mau baca sampai sini! 😍

Semangat berproses juga buat kalian yang lagi menggumulkan calon teman hidup πŸ’ͺπŸ’ͺπŸ’ͺ

Percaya deh, meski jatuh bangun, sakit senang, lo akan makin dewasa jika mengalami dan melewati prosesnya bareng-bareng sama Tuhan.

It's not about the result.

It's about process.

GOD loves us, gaes! πŸ’“

---

(P.S.: itu kenapa gambar-gambarnya cewek lagi megang balon, sebenarnya cuma buat ilustrasi aja sih. Ilustrasi bahwa: Meista is letting go someone (iya dalam hal ini 'someone', karena dia orang, bukan balon πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚).

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN