Berelasi. Dekat. Tapi 'Let Go'.


Beberapa bulan belakangan ini gue lagi banyak belajar hal baru tentang: relasi. Relasi antar manusia yang unik, dinamis, dan kompleks.

Setelah mengalami sendiri berbagai macam dinamika yang terjadi dalam relasi, gue pun menangkap pola yang sama ternyata dialami juga sama kebanyakan orang. Maksudnya, dinamika dalam relasi tuh ya gak cuma gue doang gitu yang ngalemin. Seluruh umat manusia di dunia juga mengalami. Cuma bentuk dinamika dan gimana cara masing-masing orang meresponinya itu aja yang beda-beda.

Ada temen yang cerita di tempat kerjanya dia kayak dianggep anak gitu sama bosnya. Saking "dianggep anak", akhirnya yang kerasa sama si temen gue ini adalah si bos gak ngehargain bahwa anak buahnya tuh punya orang tua kandung juga, lho. Well, gue sebagai pendengar cerita cuma bisa merespon: "Yah mungkin bos lo kepengen punya anak tapi belum bisa, kali. Atau ya personal-relationship-attachment-nya dia tinggi aja ke staf-stafnya. Mungkin."

Ada juga temen lain yang curhat bahwa relasinya agak renggang dengan sahabatnya di peer-group yang lain. Gara-gara cowok (...hokeeeey, this one must be hard 😮). Kebetulan gue dan temen yang ini pernah juga tuh ngalemin konflik dalam pertemanan yang drama abis. Bentrokan karakter, logical fallacy dari masing-masing kami, penuh asumsi, dan...yah ujung-ujungnya balik temenan lagi-temenan lagi.

Gue salah satu orang yang 'beruntung' mengalami fase ups & down dalam relasi sejak kurun waktu 2 tahun belakangan ini. Entah itu sama keluarga sendiri, sama temen deket, sama (mantan) gebetan, yang mana pengalaman ini membawa gue pada sebuah pemahaman bahwa: lo bisa tetap berelasi, tapi lo gak bisa ngekang orang lain untuk "harus" selalu ada/selalu ngerti/selalu iya-in maunya elo.

Maksudnya gini: we live on our own soul, our own body, with our own mind. So that means, we're very different in every aspect of our lives. Gue pernah ngerasa bahwa kalo gue punya seseorang yang deket sama gue, katakanlah keluarga, sahabat-sahabat, geng, peer group, atau apapun itu sebutannya...itu berarti harusnya mereka adalah orang yang paling ngertiin gue. Paling tau maunya gue. Paling peka sama kondisi gue.

Well, realita mengatakan bahwa kondisi gak bisa dipaksakan untuk se-ideal itu. Orang-orang yang deket sama gue pun punya kehidupannya masing-masing; punya masalahnya masing-masing, punya pergumulannya masing-masing. Termasuk orang tua gue yang tinggal serumah sama gue sampai saat ini. Jadi, ketika gue berekspektasi bahwa orang-orang terdekat gue tuh harus begimana-begimana, ya mungkin gue harus belajar untuk lebih paham bahwa sebenarnya yang paling paham sama diri kita itu ya diri kita sendiri 🌻. Orang lain di luar kita, even yang terdekat sekalipun, gak bisa kita request untuk memahami kondisi kita 100%.

Ini konteksnya bukan berarti gue ngelarang untuk punya peer group/close circle ya. I mean...punya orang-orang terdekat untuk bisa dipercaya tuh menurut gue kombinasi antara anugerah dan keberuntungan sih. Tapi ya itu tadi, berelasi dekat bukan berarti kita bisa terlalu bergantung sama dia/mereka. Gue lebih suka pake kata 'Let Go'--bukan Let It Go-nya mbak Elsa ye--karena yang namanya relasi itu ya enakan dibiarinin aja gitu. Mengalir. Apa adanya. Otentik. Kagak usah ngekspek yang begimana-begimana--meskipun ekspektasi dalam relasi sih pasti ada aja ya, cuma gue belajar bahwa kita bisa milih untuk mengontrol ekspektasi kita ketika berelasi dekat sama siapapun.

Daripada ngontrol orang lain harus gimana-gimana sama kita, mending kita yang kontrol ekspektasi kita terhadap orang lain. Dan gue belajar banget bahwa semakin otentik relasi kita sama seseorang/orang-orang yang deket, semakin seru dan indah rasanya. Mungkin ini terlihat bias karena gue pribadi memang punya friendship value yang tinggi banget. Jadi bagi gue, berteman dengan sebanyak mungkin orang--meskipun mungkin orang/orang-orang itu gak nganggep gue temennya ye, wkwk--adalah sebuah sukacita tersendiri. Yang jadi PR besarnya di gue adalah: bagaimana gue bisa tetap berelasi dekat sama temen-temen gue itu, mungkin beberapa diantaranya bisa kenal lebih dekat, tapi di saat yang sama gue juga harus bisa 'let go'.

Karena...bertumbuhnya sebuah relasi itu gak bisa dipaksakan, guys 😊.

=====


Yeaaay!! Kembali menulis blog lageee setelah sekian lama ini blog dianggurin (padahal bayar langganan domainnya rutin, heu 😪).

Terima kasih sudah baca sampai akhiiir~ Seperti biasa yah tetiba di malam yang sesunyi ini (kalo kata lagunya Noah), tepatnya di jam 12:59 WIB versi jam laptop, tetiba kepikir mau nulis buah pikiran tentang relationship. Lupa sih trigger-nya darimana. Pokoknya mah tadi gue tidur cepet gitu kan, jam 8-an udah bobok. Terus kebangun jam 11. Ngelamun. Gak bisa tidur lagi, wk! Yaudah deh nulis 😆

Yaudah see you on next-random-writing ya! 🌼

=====

Photo credit:

Luca Upper on Unsplash

Comments

  1. Me too Meis. Sempet kecewa krn ounya ekspetasi lebih dalam ber-relasi. Tapi akhirnya let go eeperti kata lo. Hidup jd lebih tenang dan fokus. At leats, mengurangi bahan overthinking 😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyah Veee....makin gede sebenernya makin ngerti kalo tiap orang punya hidupnya masing-masing juga dan kita gak bisa maksain dia "sama" kayak yang kita kenal dulu. Tapi silaturahmi mah tetep kuy siih :")) Thankyou sharingnya Veee <3 (btw itu masih aja oy RamaShinta TV XD XD)

      Delete

Post a Comment

Thank you for your comment! :D

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN