The Pain of Rejection



Clueless.

Adalah 1 kata 'favorit' di hidupku belakangan ini.

Apalagi jika itu bersentuhan dengan hal-hal seputar karir profesional alias pekerjaan, dan juga pencarian teman hidup.

=====

Kita kesampingkan dulu seputar karir profesional karena di sini aku mau cerita tentang bingung-bingungnya aku dalam hal mencari teman hidup.

Pertanyaannya:
Emang harus dicari?
Emang wajib?
Emang harus menikah?
Kalo gak nikah emang kenapa? Bisa mandiri kok gue.
Kalo gak nikah dosa gak?
Gimana caranya kita tahu Tuhan pengen kita nikah atau engga?

...daaaan serentet pertanyaan-pertanyaan serupa yang sering bikin pusing kepala.

Well, jujur, terakhir kali aku menjalin relasi pacaran itu kelas 2 SMA...which is...sekitar tahun 2008. Saat itu si pacar adalah kakak kelasku yang adalah ketua rokris (eaeaaa ga jauh2 dari persekutuan emang πŸ˜‚).

Lalu kami putus di tahun 2009, dan si pacar pun lulus SMA. Ketika aku lulus di tahun 2010, sempat ada harapan balikan karena si pacar, eh mantan maksudnya, kembali membuka komunikasi. Sayangnya, habis dibawa terbang tinggi dengan harapan tiba-tiba dijatuhkan begitu saja ketika mak comblang kami (sebut saja namanya Mawar) yang sangat menggebu-gebu kami balikan lagi mengatakan:

"Mei, maafin aku...aku kesel banget kenapa dia jadi kayak gini", bersamaan dengan SMS yang di-forward dari si mantan (dulu yang ngehits cuma SMS sama Facebook Wall yekan, wkwkwk. Belom ada WA, IG, dkk πŸ˜‚):

"Sori, Maw. Gue kayanya ga bisa lagi sama Meista. Makasih ya buat usaha lo bantuin kami balikan."
"KENAPAAA?"
"Kayanya lebih baik kita jalan sendiri-sendiri aja."

Intinya kayak gitu skenario utamanya. Aku udah gak inget yang detil-detilnya, but I still remember the pain of rejection at that time. Kabar gak enak itu datang ketika aku dan si mantan masih kontak-kontakkan like nothing's happened. Barulah setelah si Mawar bilang gitu, aku yang menjauh dan memutuskan komunikasi dalam bentuk apapun.

That's the old story of my 1st rejection, anyway. Masih keinget karena memang cuma itu satu-satunya memoriku pernah menjalin relasi pacaran.

Lalu gimana dengan 12 tahun berikutnya? Well...sepertinya pengalaman putus itu malah bikin aku jadi orang yang cukup tertutup; menutup hati untuk menjalin relasi dengan laki-laki manapun. Semuanya aku pasang standar sampai di level teman saja, gak lebih. Ada beberapa teman yang mendekati, kode-kode, sampai yang menyatakan perasaan, tapi kutolak. Ada beberapa teman yang kutaksir, bahkan pernah juga suka sama yang beda agama, dan sampai ada yang bikin aku harus menyatakan perasaan duluan.

Ini yang: GILA.

Dan itu 2 pengalaman yang mengantar aku pada pengalaman 2nd rejection & 3rd rejection.

=====




Saat ini aku lagi dalam kondisi tidak mau merohani-rohanikan sesuatu ya. So, I could say that gak ada loh yang nyuruh aku untuk menyatakan perasaan pada teman pria yang aku suka. Even kayanya Tuhan juga gak ngasih kode apa-apaan supaya aku yang harus ngomong duluan.

Tapi realitanya...I did it twice. Iya, 2 kali ngomong duluan dan dua-duanya ditolak.

Yang pertama di tahun 2015, ke rekan sepelayanan kampus.
Yang kedua di tahun 2020, ke rekan sepelayanan (juga). Beda orang tapi.

Kadang ngerasa diri ini stupid atau terlalu nekat aja. Dan sampai sekarang kalo lagi inget suka bertanya-tanya sendiri: why should I did that? Kayaknya dulu pas menyatakan untuk ngomong duluan tuh gak inget bahwa setiap keputusan akan ada konsekuensinya.
Kalo diem aja ya konsekuensinya harus mendem perasaan dalem hati sampe sakit.
Kalo menyatakan ya pasti harus siap menerima respon yang tidak sesuai dengan ekspektasi, alias ditolak.

Yah, aku gak sampai yang ngajak pacaran, GA MUNGKIN πŸ˜‚. Tapi aku hanya bilang bahwa dia adalah orang yang aku doakan selama ini (kalo di lingkungan persekutuan tuh udah ngerti lah ya maksudnya "aku doakan" tuh bukan kek lagi ngedoain buat jadi pelayan pemusik atau panitia, wkwkwk πŸ˜‚).

Kesempatan memberanikan diri untuk menyatakan perasaan itu menjadi pengalaman pedang bermata 2 buatku. Di satu sisi, pengalaman ditolak ini membuatku belajar tentang arti penerimaan (acceptance). Satu-satunya yang bisa menerima dan mengerti diriku sendiri hanyalah Tuhan dan juga diriku. Persoalan pacaran itu beda lagi konteksnya, dan aku belajar bahwa aku memang gak boleh meletakkan penerimaanku pada relasi dengan pria. Terus aku juga belajar bahwa untuk mengungkapkan kejujuran memang butuh keberanian. Dan aku ngerasa pupuk-pupuk keberanian dari diri aku yang minder ini bisa bertumbuh gara-gara pengalaman menyatakan perasaan sama cowok.

Tapi di sisi lain, pengalaman ditolak ini tentu membuatku jadi makin hati-hati membuka hati untuk berelasi. Aku malah jadi insecure ketika ada cowok yang baik atau perhatian sama aku. Karena alih-alih melting atau berpikir "Apa dia suka sama aku ya?", aku malah berpikir: "Ah paling emang dia gitu orangnya. Cuman temen kok, cuma temen."

Aku memang akhirnya ngerti bahwa gak semua kebaikan teman cowok bisa kita artikan "ada apa-apa". Namun hal ini, di saat yang sama, jadi bikin aku gak berani buka hati juga. Karena takut di-reject untuk yang kesekian kalinya.

Itulah mengapa, segala bentuk interaksi yang terjadi hingga kini dengan teman pria manapun, aku anggap itu "cuma teman, cuma teman, cuma teman". Pun jika aku melirik seseorang karena memang faktor tertarik, aku memutuskan untuk diam saja dan gak berusaha apa-apa. Ini yang aku sebut sebagai: clueless. Aku udah ga tau harus berusaha seperti apa terkait menjalin relasi dengan teman pria karena takut ditolak lagi. Yang bisa kulakukan hanyalah memantau dari jauh, dan memastikan dia belum punya pacar. Kalau tiba-tiba di pertengahan pantauanku dia punya pacar, aku akan segera menghilangkan perasaan itu dan menghentikan pemantauan.

=====



Sejak pertambahan usia di tahun 2020 dan 2021, aku membawa pergumulan pencarian teman hidup ini dalam doa. Doa paling jujur yang kusampaikan pada-Nya adalah:

Tuhan, emang kek gimana sih ngedoain teman hidup itu? "Tuhan jadikanlah dia suamiku", gitu?
Terus emang nikah tuh harus gak sih? Engkau kan tau aku mandiri. Aku bisa ngurus hidupku sendiri. Ini lagi harus ngurusin hidup anak orang. Lagian emang ada pria yang mau hidup sama aku yang kek begini?
I don't know how to pray, Lord. But this is my prayer. Amen.

Dari doa aja udah clueless πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Yha gitu deh. Akhirnya, merefleksikan hidupku di tahun-tahun belakangan ini, pencarian teman hidup dimulai dari aku yang menghargai diriku sendiri. Well, pengalaman ditolak entah mengapa akan membawa kita bisa jadi ngerasa worthless, serba salah, dan rendah diri. Itu yang kualami. Makanya, karena aku ingin berdamai sama hidupku sendiri, aku belajar untuk menata dan mengelola diri sendiri dengan baik. Konkritnya, aku menikmati skill development yang lagi aku tekunin di beberapa area (bahasa, media, menulis, komunikasi), menenggelamkan diri dalam pembacaan buku-buku, membuka diri untuk berteman dengan siapa saja, dan berjuang untuk tetap membuka hati untuk teman-teman pria yang, menurutku, layak untuk aku berikan hati.

But still...aku tetap clueless tentang bagaimana harusnya seorang perempuan membuka relasi dengan lawan jenis. Katanya harus berdoa dan bekerja kan?

=====

Image credit: 
Photo by Mong Bui on Unsplash
Photo by eskay lim on Unsplash
Photo by Heather Ford on Unsplash

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN