Membandingkan Diri Sendiri dengan Orang Lain: Nyenengin atau Nyakitin?



Sebenarnya kita bisa jawab cepet pertanyaan gue di judul itu ya.

"Nyakitin lah, Mei! Menurut ngana -_-"

=====

Dalam sebuah percakapan random dan gemey bareng adek gue di suatu sore, dia pernah bilang seperti ini:

"Kakak tuh cantik, temennya banyak, kalo bikin konten tulisan bagus. Aku pengen kayak kakak."

Mendengar adek sendiri ngomong gitu gue be like: ..... 😷

Speechless sih. I mean...how come dia bisa menilai itu semua while dia juga tau betul betapa mengesalkannya gue sehari-hari di rumah. Dia tau betul kelemahan dan kekurangan gue tapi dia bisa bilang "...aku pengen kayak kakak."

Well, mungkin ini memang rentan dialami oleh setiap kita kalian yang berada di posisi adek kali ya (so sorry gue anak sulung soalnya jadi can't relate, wk πŸ˜…). Ngerasa bahwa si kakaknya itu paling paling lebih dibanding dirinya. Di keluarga kami bersyukur orang tua mendidik kami secara adil dan merata. Maksudnya gak ada pembandingan atau perbedaan kasih sayang yang gimana-gimana. Gue sungguh gak bisa relate (tapi gue yakin ini terjadi) dengan temen-temen yang mengalami pembandingan-pembandingan di dalam keluarganya. I'm so sorry for that, guys. I just can't relate tapi gue yakin itu pasti nyakitin dan sedih banget.

Nah, itu dalam konteks satu keluarga. Gimana dengan pembandingan diri yang terjadi antara diri kita sendiri dengan orang di luar keluarga? Ngeliatin konten netijen, misalnya. Ngeliatin hidup temen-temen kita sendiri, misalnya. Kalo balik lagi ke pertanyaan judul gue di atas, gue bisa bilang sebenarnya kita itu malah 'seneng' membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Sadar gak sadar sebenarnya kita 'seneng' kan ngelakuin hal itu? :")

Apa sih yang dirasa dan dipikirin ketika kita lagi ngebanding-bandingin diri sendiri sama orang lain?

Gue rasa kita masing-masing punya perspektif dan pengalaman yang beda-beda ya. And let me tell you from my perspective:

Gue itu doyan banget ngebanding-bandingin diri gue ketika apa yang gue mau / harapkan itu terjadi / dimiliki sama orang lain sebelum terjadi / dimiliki sama gue sendiri. Misalkan gini: gue pengen nikah, tapi sampe sekarang belum punya pacar. Terus ketika ngeliat orang lain nikah, di situ gue kayak ngerasa gagal. Dan narasi yang biasanya muncul di pikiran adalah: "Ih kok gue gak kayak dia ya? Kok gue sampe sekarang masih jomblo ya...Emang gue sejelek itu ya? Gue gak cantik ya..." daaaan serentetan overthinking-overthinking lainnya yang memenuhi pikiran dan bisa berujung pada self-inflicted atau melukai harga diri sendiri.

Padahal...

...kita cuma lihat sedikit bagian dari hidupnya dia aja. Gak tau bahwa ada pergumulan atau masalah-masalah lain di hidup dia yang mungkin kita gak alami. Dan kecenderungannya adalah kita lebih fokus kepada: "She/he got the thing that I wanted, while I'm not!"

=====



Dalam perjalanan gue yang ups & downs berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain, gue belajar beberapa hal yang mungkin ini bisa jadi reminder buat diri gue ke depannya atau bahkan buat temen-temen yang baca juga.


Sebagai orang yang minderan dan rendah diri, gue gak nyangka bahwa ternyata penting untuk melihat bahwa diri kita berharga. Sounds cliche, terutama mungkin untuk kita yang tinggal di lingkungan yang sudah terbiasa untuk membanding-bandingkan. But I guarantee you it's always worth to try; to tell yourself that your live matters. Oke, gue bukan pakar psikologi jadi gue gak akan banyak bicara teknisnya gimana.

2. Percayalah bahwa masing-masing orang punya berkat dan penderitaannya sendiri

Gak cuma hal baik yang sering gue banding-bandingin, tapi hal buruk juga. Misalkan kayak: "Duh, untung gue gak ngalemin yang dia alamin yah..." Yaa...pada dasarnya setiap orang sih memang akan mendapatkan penderitaannya masing-masing sih. Blessing-nya juga pasti beda-beda satu sama lain. Ini hal yang gue sadari dan akhirnya ngerti pelan-pelan bahwa hidup gue ya unik. Gak bisa disama-samain sama siapapun.

3. Ada proses, ada hasil. Hasilnya keliatan, prosesnya mah kagak.

Nah ini. Gue tuh ya sering banget kalo lagi iri-iri dengki sama hidup orang lain yang gue liat tuh ya hasil akhirnya aja gitu. Maksudnya gue sama sekali gak tau kan prosesnya begimana. Mungkin temen-temen yang udah nikah itu juga prosesnya berdarah-darah kali kan, mungkin ada pergumulan apa yang gue gak tau juga gitu yekan. Setiap fase hidup orang lain yang gue lihat dan berakhir pada pembandingan diri tuh cuma gue lihat hasil akhirnya aja. Gak tau proses-prosesnya gimana. Jadi di sini gue belajar...man, everybody has their own (unseen) process, too.

4. "Then how you stop comparing yourself with others while you'll always see their life?"

Belakangan ini, gue lagi memperhatikan dan menjaga digital well-being gue. Biar jempol gue gak terlena nge-scroll konten-konten yang berpotensi bikin iri-dengki, yaudah gue kagak scrolling. Sesederhana itu. Gue mulai tingkatin self-awareness gue terhadap konten dan media yang gue konsumsi. Di era yang 'semua-orang-adalah-content-creator', kita sebagai konsumen media sebenarnya punya hak penuh juga buat milih konten apa yang mau kita lihat. Konten itu bikin kita toxic gak? Bikin kita jadi insecure gak? Dan sebagai konsumen media sebenarnya kita gak bisa kontrol kan apa-apa aja yang mau diposting orang lain. Yang bisa dikontrol adalah kebiasaan kita sendiri (ngomong ama diri sendiri ini ceritanya, HAHAHA πŸ˜‚). Lama-lama capek. Gak bisa nikmatin hidup. Dan anyway...gue belum 100% bisa stop sih, wkwkwk. Tapi setidaknya masih terus berproses untuk ngurang-ngurangin pembandingan itu.

=====

Teori gampang, praktek yang susah. Gue juga masi struggling banget sama hal ini. Tapi demi kesehatan mental, why not? 😊

Ini fenomena yang kayaknya bakal terus-terusan hits dialami sama banyak anak muda ya. Termasuk gue. Yah, gue cuma bisa bilang: dihadapi aja guys. Intinya sih hidup lo pasti unik dan beda dari hidup orang-orang lainnya. Sekarang tinggal permasalahan gimana perspektif lo memandang diri sendiri. Ngeliat orang lain lebih sukses, lebih berhasil, lebih goals itu sebenarnya dari kacamatanya siapa sih? Kacamata kita sendiri kan? Bahkan banyak standar hidup yang sebenarnya sifatnya subyektif. Menurut gue sukses itu bentuknya ABC, tapi bisa aja sukses menurut si dia DEF. Dengan perspektif yang beda gini lo yakin masih mau pasang standar hidup yang sama kek orang lain?

Tiati capek. πŸ˜…

=====

Photos credit:

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN