Ada yang Tak Kalah Berharga dari Uang

Photo by Jason Leung on Unsplash


Halo, Friendtizen! (cie udah lama beut gak nyapa kayak gini di awal blog. Hihihi 😁)

Akhir-akhir ini lagi cukup padat mengerjakan tanggung jawab di tempat kerja karena lagi ada beberapa project akhir tahun di kantor. Meski 85% waktu lebih banyak dihabiskan di sana--and that's okay, still enjoying every circumstances--aku pribadi tetap berkomitmen pada diri sendiri untuk setia membaca dan menulis. Setidaknya baca 1 subbab buku dan ngepost 1 tulisan di blog setiap 1x setiap pekan.

Nah, kali ini sejujurnya ada dua hal di kepala yang pengen banget ditumpahin di blog. Ini yang pertama, yang keduanya nginep dulu di draft yaa πŸ˜„

---

Photo by Markus Spiske on Unsplash


Weekend kemarin aku dan para atasan serta rekan kerjaku mengadakan annual meeting, atau yang biasa disebut meeting tahunan. Meeting tahunan itu semacam pertemuan rapat panjang yang lebih fokus membahas review kinerja di tahun tersebut, evaluasi, hingga tahap perencanaan untuk tahun mendatang. Berhubung tim manajemen di tempat kerjaku masih dipegang oleh 4 orang tim inti, jadi sebenarnya meeting tahunan kemaren separo-paro rasa short escape juga. Kenapa? Karena kami mengadakan meeting tahunan di sebuah hotel area Jakarta Selatan yang dekat dengan kawasan/arena olahraga terbesar di Jakarta. Nginep 2 malam, icip-icip sarapan gratis, nge-GoFood, dan ngelakuin hal-hal lainnya yang seru sambil kerja. Kerja sambil main, main sambil kerja. Kira-kira kayak gitu lah. Hahaha.

Kami menginap di sebuah hotel bintang 5. Namanya juga bintang 5, tentu ekspektasi kami cukup tinggi terhadap pelayanan yang diberikan di sana, khususnya dalam hal menu sarapan. Aku pun berekspektasi tinggi terhadap menu-menu sarapan yang akan aku cicipi nantinya. Hotel bintang lima, sarapannya pasti mewah nih, pikirku waktu itu. Tapi kenyataannya...sungguh di luar ekspektasi. Kedua atasanku yang sudah pernah menginap beberapa kali sebelumnya merasa sangat kecewa. Sungguh di luar ekspektasi. Aku juga yang memang belum pernah menginap di sana bertanya-tanya dalam hati: Serius gini doang breakfast-nya? πŸ˜―

Menunya sungguh terbatas. Variasinya sedikit. Untuk aku dan kedua atasanku yang sudah tak asing dengan dunia hospitality dan Food & Beverage tentu paham bahwa pasti ada yang namanya "pengurangan cost", apalagi di situasi pandemi seperti sekarang ini. Sebagai tamu, tentu kami kecewa. Tapi ya mau gimana lagi? Kami enggak bisa protes yang gimana-gimana juga, meski ekspektasi kami runtuh. Aku pribadi cuma bisa menjaga hati biar gak terlalu bete, dan jaga pikiran biar tetap fokus pada tujuan utama menginap di hotel tersebut, yaitu meeting tahunan kantor.

Di hari Sabtunya, ketika kami sedang makan siang, kamar kami didatangi oleh housekeeper--kru hotel yang bertugas membereskan dan membersihkan kamar tamu. Karena kami sedang makan siang, kami pun mengizinkan beliau untuk melakukan pekerjaannya di saat kami masih tetap menyantap makan siang di dalam kamar hotel. Sambil mengganti sprei tempat tidur kami, bapak housekeeper tersebut ditanya oleh bosku bagaimana kondisi hotel di masa-masa pandemi seperti ini. Sungguh bersyukur di hari itu ada kurang lebih 60 kamar yang terisi. Namun ketika bosku menanyakan situasi di awal pandemi, jawaban bapak housekeeper entah mengapa membuatku merenung.

Beliau berkata bahwa di masa-masa awal pandemi pendapatan hotel benar-benar nol rupiah selama beberapa bulan. Karyawan-karyawan kontrak tidak diperpanjang lagi kontraknya. Pekerja harian (daily worker) dan part-time ditiadakan. Yang dipertahankan hanyalah para pekerja senior yang statusnya sudah menjadi pekerja tetap. Jujur aku tertegun mendengar penjelasan beliau. Padahal sebenarnya kondisi seperti ini sudah sering aku dengar, baik dari media maupun dari teman-temanku sendiri yang mengalaminya. Tapi gak tau kenapa aku jadi merenung ketika mendengar sendiri kondisi yang diceritakan bapak housekeeperBerarti, bapak adalah salah satu orang beruntung di tempat ini yang masih dipertahankan untuk bekerja ya, Pak, kataku dalam hati.

---

Menjadi sebuah perenungan tersendiri bagiku ketika ingat lagi bagaimana pandemi COVID-19 ini sangat berdampak bagi semua orang. Aku berani bilang: semua. Kenapa? Karena virus jelek ini gak kenal usia, status pendidikan, status ekonomi, status pernikahan, dan lain-lain. Virus ini menyerang seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Oke mungkin si orangnya aman dari serangan virus, tapi tetap aja pasti kena dampak akibat pandemi. Khususnya dalam bidang karir pekerjaan.

Berbicara soal karir dan pekerjaan, adanya pandemi ini membuatku belajar bahwa ternyata ada yang tak kalah berharga dari uang: waktu dan kesempatan.

---

Waktu: Harta yang Tak Bisa Diperbarui

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash


Kalau di beberapa film fiksi kita bisa melihat adanya teknologi time machine. Kita bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan, menghindari penyesalan yang sudah terjadi, atau mengubah situasi supaya sesuai dengan apa yang kita mau di masa kini. Atau kita juga bisa pergi ke masa depan untuk mengetahui bagaimana keberlangsungan hidup ini di masa yang akan datang, supaya kita bisa bersiap-siap di masa sekarang agar yang terjadi adalah hal yang baik-baik aja. Jangan hal-hal yang gak kita inginkan.

Tapi kenyataan berbicara lain. Waktu gak bisa diperlakukan demikian. Waktu berjalan maju, tanpa bisa kita mengubah masa lalu ataupun nyontek masa depan. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjalani apa yang ada di depan mata saat ini. Masa lalu tinggal sejarah yang cuma bisa jadi pelajaran hidup, sementara masa depan adalah misteri yang kondisinya ditentukan dari apa yang kita kerjakan di masa kini.

Pengkhotbah 3:1-8 berbicara sangat jelas tentang "waktu". Segala sesuatu ada masanya, segala sesuatu ada waktunya. Begitu pun yang tertulis dalam Efesus 5:16, bahwa kita harus mempergunakan waktu yang ada. Bagiku pribadi, waktu adalah harta yang justru jauh lebih berharga daripada uang. Kok gitu? Meskipun uang masih menjadi alat tukar yang sah di seluruh dunia, keberadaannya masih bisa diusahakan dan dicetak/dibuat kembali sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku di setiap negara. Nah coba kalau waktu. Dengan cara apa kita bisa memproduksi waktu? Dengan cara apa kita bisa membuat waktu? Aku pernah baca sebuah konten di Instagram yang berbunyi seperti ini:

"Kita bisa tahu berapa sisa uang yang kita punya, tapi kita tak akan pernah tahu berapa sisa waktu yang kita punya."

Wow. Jleb. Siapa yang bisa tahu sisa waktu kita hidup di dunia ini? No one knows. Untuk itu menggunakan waktu yang ada secara bijak adalah langkah terbaik dalam menjalani kehidupan ini. Dan aku tipikal orang yang mudah terharu ketika mendapat pertolongan berupa waktu; contohnya ketika ada rekan atau teman yang mau meluangkan waktunya untuk mendengarkan curhatan maupun tangisanku, padahal aku tahu mereka sangat sibuk.

Memaknai waktu sebagai harta yang tak bisa diperbarui menjadi pecutan sendiri untukku pribadi, khususnya ketika menjalani profesi di pekerjaan. Menjadi seorang pegawai di sebuah perusahaan start-up menjadi tantangan tersendiri buatku karena aku harus melatih diri mengatur waktu. Mengatur waktu untuk bekerja dan beristirahat. Gak mudah lho menyeimbangkan waktu untuk kedua hal itu. Beneran. Satu sisi kadang rasanya ingin kerja, kerja, kerja terus--antara terlalu ambisius atau buruknya manajemen waktu--di sisi lain lebih jatuh cinta jadi kaum rebahan yang males-malesan untuk ngapa-ngapain. Kurasa pelajaran tentang manajemen waktu ini merupakan pelajaran seumur hidup sih. Karena hidup itu berjalan secara dinamis kan. Enggak ada satu aturan baku nan saklek untuk seorang pribadi dalam hal mengatur waktu. Semuanya butuh penyesuaian dan adaptasi seiring dengan kehidupan kita yang dinamis dan selalu berjalan maju.

---

Kesempatan: Harta yang Kadang Harus Dicari, Kadang Datang Sendiri

Photo by Brett Jordan on Unsplash


Aku gak akan pernah lupa bagaimana ekspektasiku terhadap dunia kerja beberapa tahun yang lalu. Ketika aku lulus dari bangku kuliah dan mendapat gelar sarjana, "bekerja" yang ada di dalam kepalaku adalah:
  • mengerjakan tugas-tugas di kantor
  • menggunakan ID Card karyawan
  • absen datang dan pulang dengan cara tapping kartu karyawan di mesin absensi
  • bersenda gurau dengan teman-teman di kantin kantor
  • menghabiskan banyak waktu di depan laptop
  • berelasi dengan sebanyak mungkin orang, mulai dari atasan-rekan-hingga staf (jika punya)
  • gajian setiap bulan
Sungguh bayangan yang sangat templated dan idealis ya menurutku, hahaha. Tapi mungkin aku gak sendirian menjadi fresh graduate yang membayangkan idealisme-idealisme dalam kehidupan berkarir. Namun sekian tahun aku berkelana bekerja di sana-sini, aku mendapati bahwa uang bukan satu-satunya harta yang harus kita hargai. "Kesempatan" pun seharusnya menjadi hal yang harus kita hargai dalam dunia berkarir. Why?

Tanpa ada orang yang memberi kita kesempatan bekerja, kita bisa cari penghasilan di mana? Pastinya kita butuh orang lain yang membuka peluang/kesempatan kerja, dong? Oke bahkan jikapun kita menjadi pihak yang membuka kesempatan kerja tersebut, seperti pebisnis misalnya, tentu kita harus punya modal dalam sumber daya. Sumber daya finansial, sumber daya manusia (staf, karyawan), sumber daya peralatan, dan lain-lain. Darimana kita bisa dapetin semua sumber daya ini kalo gak ada yang namanya kesempatan? Kesempatan untuk memperoleh atau mengumpulkan segala hal ini dari titik nol. Tentu sumber daya pun gak mungkin diraih dalam sekejap mata, kan?

Beberapa waktu yang lalu aku sempat kesal dan marah-marah akibat ada salah satu rekan di kantor yang kabur. Mengundurkan diri tanpa pamit bahkan pada salah satu dari kami. Well, aku paham rasanya enggak betah bekerja di sebuah perusahaan. Aku pernah ada di fase enggak nyaman bekerja dengan bos yang begini dan begitu. Namun sepertinya si rekan ini punya prinsip yang berbeda denganku, bahwa jika kita memulai berkarir di tempat tersebut secara baik-baik, harusnya kita mengakhirinya dengan baik-baik juga. Bukan kabur gak pake sopan santun 😞. Terlepas dari gak ngertinya aku dengan cara mengundurkan diri dia yang seperti itu, aku cuma menyayangkan bahwa dia melewatkan sebuah kesempatan bekerja di tengah situasi pandemi seperti ini. Yaaah, memang rejeki mah gak akan ke mana sih yaa. I'm just hoping that he'll get a better job ahead πŸ™

---

Gak munafik, salah satu alasanku bekerja adalah untuk mencari uang juga. Uangnya buat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membeli beberapa hal yang aku ingini sesuai dengan kapasitas finansial yang waras dan wajar, juga untuk membantu kehidupan keluargaku di rumah. Namun aku belajar bahwa aku pun harus menghargai harta lainnya yang gak kalah berarti dalam kehidupan berkarirku, yaitu waktu dan kesempatan. Selama masih ada waktu di dunia, aku akan mengerjakan tanggung jawabku sebaik-baiknya di dunia karir ini. Belajar mengatur waktu dengan baik, tanpa perlu stress yang sampai overwhelmed bikin mual-muntah, sambil memberi challenge atau tantangan untuk diri sendiri biar gak jadi pemalas. Selama masih ada kesempatan yang terbuka untuk aku melakukan tanggung jawab, untuk belajar hal-hal baru, untuk berelasi dengan sebanyak mungkin orang, aku mau belajar peka untuk meraih kesempatan ini tanpa perlu sikut-sikutan dengan kehidupan orang lain. Biasa lah ya, katanya kalo di dunia kerja itu sikut-sikutan dan harus berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Hm, aku pikir ketika kita tau di mana peran dan kemampuan kita, terus kita ngerjainnya dengan setotalitas dan sepenuh hati, kayaknya gak perlu sih sampe nyikut-nyikut orang lain. Aku punya iman bahwa aku gak berjalan sendirian ketika bekerja. Ada Tuhan yang menyertai dan menolong aku menghadapi berbagai macam hal yang terjadi. Mungkin aku bisa aja disikut orang lain demi hal-hal apapun, tapi bukan bagianku untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain. Bagianku cukup fokus dengan apa yang menjadi peran dan tanggung jawabku, serta melakukannya selagi masih ada waktu dan kesempatan.

Thanks for reading my story. Hope it'll inspiring us all and have a faith and spirit in working-career-life πŸŒˆ

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN