"I Will Bring Honour To Us All" - Sebuah Tuntutan


"I will bring honor to us all."

---

Aku gak tahu apakah setiap manusia akan menghadapi berbagai macam tuntutan dalam hidupnya. Tuntutan yang datang dari dalam keluarga inti, dari keluarga besar, dari kebudayaan--seperti cerita dalam film "Mulan", atau dari lingkungan sosial manapun tempat kita berada. Tuntutan yang bisa saja mampu kita penuhi, bisa saja tidak.

Ketika tuntutan terpenuhi, tentu penerimaan dari 'si penuntut'--siapapun itu, akan terwujud. Kita akan merasa diterima oleh dia/mereka meski mungkin hal yang kita lakukan sebagai tuntutan tersebut bertentangan dengan hati nurani kita.

Lalu gimana jadinya jika kita gak bisa memenuhi tuntutan itu? Seperti yang aku tonton dari film "Mulan", tentu ada banyak pengorbanan dan resiko yang besar. Ditolak, harga diri yang jatuh di mata masyarakat, aib, bikin malu, dan lain-lain. Kalo udah kayak gitu sepertinya berbuat hal baik apapun akan selalu jadi salah karena ada tuntutan yang tidak terpenuhi--untuk konteks film "Mulan" sendiri malah sangat sarat dengan kebudayaan atas peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Jika dilanggar, bukan hanya disgrace dan dishonour yang jadi labelnya, nyawa pun harus jadi taruhannya.

---

Sangat jauh dari konteks kebudayaan dan segala hal yang berada dalam film "Mulan", aku yang adalah perempuan Indonesia ini pun pernah merasakan adanya tuntutan-tuntutan dalam hidup. Aku pernah beberapa kali gagal memenuhi tuntutan normatif dalam hidup yang dianut atau dipercaya kebanyakan orang pada umumnya. 


Lulus SMA: "Kok gak kuliah?"

Mungkin udah jadi template hidup kali ya bahwa habis SD-SMP-SMA berarti setelah itu harus langsung kuliah. Lalu bagaimana dengan nasib beberapa lulusan SMA yang memang tidak se-beruntung itu untuk langsung menempuh jalur pendidikan di perguruan tinggi? Terhambat faktor ekonomi, misalnya.

Bukan mau sombong, sebelum aku diterima kuliah di Universitas Indonesia pada tahun 2011--aku lulus SMA tahun 2010, fyi--aku sempat diterima di Universitas Padjajaran Bandung dan Bina Nusantara di tahun 2010. Sayangnya itu semua menjadi tidak berarti lantaran faktanya aku tidak punya biaya kuliah. Jadi mau sampai lulus tes di Oxford University pun sia-sia juga. Lha mau bayar pake apa emang? πŸ˜‚

Gara-gara ini akhirnya aku harus menjawab banyak sesi wawancara dadakan dari berbagai lingkungan sosial yang enggak perlu aku sebutkan secara rinci di blog ini. Pertanyaan-pertanyaan macem:

"Sekarang kuliah di mana?"

"Kok gak kuliah? Oh, berarti kerja?"

"Kenapa gak kuliah?"

...itu udah jadi makanan sehari-hariku. Belum lagi pertanyaan kayak: "Lha kalo udah tau gak bisa kuliah kenapa ikut ujian?". Ini pertanyaan yang bikin aku ngerasa antara jleb dan yajugaya menjadi satu. Akhirnya seringkali cuma kujawab: "Disuruh papa."

Bukan cuma pertanyaan-pertanyaan, bahkan beberapa pernyataan yang aku nilai sebagai "merendahkan" pun seringkali terjadi. Kayaknya dengan aku yang sedang menyandang status "enggak kuliah" itu tuh jadi kayak hina banget. Aib. Enggak berharga di mata masyarakat. Gak guna.

Makanya waktu akhirnya keterima kuliah di UI tahun 2011 itu rasanya antara memang benar-benar bersyukur banget, bahagia banget, sama pengen nampol orang banget. Pengen banget aku datengin satu-satu itu orang-orang yang banyak nanya, banyak komen kenapa aku gak kuliah lah, begini begitu lah; pengen banget aku lempar itu jaket kuning ke depan muka mereka semua sambil bilang: "Nih gue udah kuliah di kampus yang menyandang nama negara! Puas lo!"


"Telat" Ikut Peneguhan Sidi Jemaat Gereja

Dalam tradisi gereja tempatku terdaftar menjadi anggota, ada sebuah fase di mana kita semacam "disahkan" menjadi anggota gereja setelah melewati serangkaian masa-masa belajar. Mulai dari sekolah minggu, hingga katekisasi. Sama persis dengan kisahku di bagian sebelumnya tentang kuliah, proses ini pun aku mengalami lagi yang namanya 'penundaan'.

Sejak sekolah minggu dari usia kecil hingga remaja, aku memiliki banyak teman dalam komunitas tersebut. Ketika mulai masa-masa pendaftaran anggota katekisasi baru, hanya aku sendiri dalam komunitas tersebut yang tidak mendaftar di tahun yang sama. Kenapa? Alasannya karena aku belum berusia 17 tahun saat peneguhan sidi jemaat nanti. Ini jujur aku se-enggak ngerti itu yaa sama peraturan gereja lalala itu. Jadi di sini aku cuma ceritakan apa yang aku ingat dan apa yang pernah terjadi.

Orang tuaku menyarankan aku ikut kelas katekisasi di tahun depan supaya aku pas berusia 17 tahun dan aku bisa fokus saja dulu ke Ujian Nasional (UN) sebelum masuk kelas katekisasi. Aku jujur gak paham apa kaitannya antara ikut kelas katekisasi yang cuma diadakan setiap hari Minggu dengan fokus belajar untuk UN. Tapi karena aku dididik untuk selalu mendengarkan apa kata orang tua, aku pun harus mengiyakan segala sesuatu karena gak ingin dianggap sebagai anak yang melawan atau membangkang pada orang tua. Jadi, di kala teman-temanku sudah masuk kelas katekisasi, aku merasa terasing karena kayak enggak punya teman lagi saat itu. Belum lagi kembali mendapat pertanyaan-pertanyaan serupa macem: "Kok gak ikut katekisasi? Kenapa?"

Tahun depannya, ketika teman-temanku sudah peneguhan sidi jemaat, aku baru memulai mendaftar kelas katekisasi. Sesuai dengan nasihat orang tua ya kan, aku sudah berusia 17 tahun, dan UN SMA pun sudah lewat. But you know what? Di tahun itu hanya ada 3 orang anggota dalam kelas katekisasi. Sangat berbeda dengan tahun sebelumnya di mana banyak teman-temanku ada di sana. Tahun katekisasi yang aku ikuti terasa begitu sepi, penuh dengan pertanyaan macem: "Kok cuma bertiga?", dan aku merasa begitu kesepian. Namun aku memaksa diriku sendiri untuk selalu kuat--padahal tidak--dengan berkata: "Udah gakpapa, ini pasti selesai. Ini pasti selesai."

Tuntutan orang lain ikut kelas katekisasi bersama teman-teman seangkatan: tidak terpenuhi. Tuntutan orang tua ikut kelas katekisasi di usia 17 tahun dan setelah UN selesai: terpenuhi.

Apakah aku sukacita? Kalo diingat-ingat sih biasa aja. Aku aja gak ngerti kenapa harus ikut kelas itu. Yah itung-itung cuma ikut peraturan agama aja, biar sah jadi jemaat gereja katanya. Gak pernah terpikir apakah ikut kegiatan semacam itu menambah imanku pada Tuhan atau enggak, kayaknya sih enggak. Itu cuma sebatas nurut sama peraturan dan orang tua aja buatku.


Harus Punya Uang Demi Bisa Punya Teman

Pernah gak sih kita terjebak pada situasi seperti ini:

Kita tergabung dalam sebuah kelompok pertemanan yang kayaknya, ugh, solid banget! Gelang "Best friend forever" jadi saksi persahabatan kita sampai kakek-nenek. Katanya. Suatu kali, tibalah pada momen di mana ada yang mengajukan ide: "Guys, jalan yuk!" "Guys, ngemall yuk!"
Sebagai orang yang datang dari kaum miskin-people, ajakan semacam itu tentu membuatku berpikir berulang kali. Waktu jaman sekolah sih aku lebih sering dan lebih banyak menolak. Selain karena memang aku enggak pernah dikasih uang jajan dalam jumlah yang banyak, 20.000 IDR/hari if I might say the truth, orang tua pun suuuuusssssaaaaaah banget kalo ngasih ijin pergi-pergi gitu sama teman-teman. Alasan dilarangnya banyak. Saking banyaknya sampe lupa aku tuh.

Nah, pas jaman kuliah, kan lebih bebas tuh. Izin dari orang tua udah mulai agak longgar meski terus diabsenin setiap pagi dan malam. Aku udah mulai bisa main-main keluar kampus di jam-jam kosong kuliah. Perkaranya, aku masih tetap berada dalam zona miskin-people. Tapi ini kesempatan langka nih buat jalan sama temen-temen, pikirku saat itu. Aku yang masih belum bisa dan belum paham mengatur finansial, akhirnya selalu berkata "Ayok!" kalau udah diajak main dan jalan-jalan sama teman. Alhasil, dana pun selalu habis sebelum waktunya. Aku kesulitan mengatur kebutuhan dan keinginanku semasa kuliah dulu. Dalam kebingungan dan kesenangan karena akhirnya punya sedikit kebebasan, berkali-kali aku jatuh pada kebimbangan untuk menerima atau menolak tawaran "hedon" bersama teman-teman kampus. Seseringnya sih pasti aku iya-in. Karena ini kesempatan yang langka banget menurutku. Selama ini yang aku dapati cuma larangan dan batasan-batasan yang, kata orang tuaku, adalah untuk melindungi diriku dari orang-orang jahat di luar sana. Jadi aku harus membatasi kegiatanku di luar kegiatan wajib dan utama, yaitu kuliah, kuliah, dan kuliah.

Sungguh sebuah tuntutan dari kedua pihak yang tidak bisa aku korbankan salah satunya. Tuntutan dari teman-teman supaya aku tetap bisa bersama-sama dengan mereka, juga tuntutan dari orang tua agar aku "tetap aman".


"Memang wajib ikut kegiatan itu?"

Di masa-masa kuliah, aku menikmati sebuah kegiatan rohani Kristen, di mana untuk pertama kalinya aku merasa diterima dalam sebuah komunitas dan merasakan kebebasan yang belum pernah kualami sebelumnya. I can't describe visually here, but the joy I feel is no lie. Dengan ikut kegiatan, kepanitiaan, dan organisasi mahasiswa Kristen, tentu aku terlibat dalam berbagai project, aktivitas, kesana-kemari di luar kampus, mengikuti berbagai macam pembinaan, melebarkan sayap lingkungan sosial pertemanan, dan masih banyak lagi.

Suatu kali aku mengikuti sebuah pembinaan 1 hari untuk pengurus organisasi mahasiswa Kristen. Kegiatan ini berlangsung di hari Minggu, kalau gak salah, dan diselenggarakan di luar kampus--karena yang mengadakan acara tersebut adalah sebuah lembaga non-profit resmi yang membina kaum pelajar, salah satunya mahasiswa. Sudah menjadi tradisi di dalam keluargaku bahwa aku harus menginfokan jam dan tempat aku mengikuti sebuah kegiatan. Pertanyaan semacam: "Selesainya jam berapa?" itu udah jadi makanan sehari-hariku. Jadi kalau ada acara yang rundown-nya tidak kuketahui, aku ngarang-ngarang bebas aja kira-kira selesainya jam berapa. Nebak-nebak buah manggis biar orang tua gak khawatir, katanya. Ya masa aku harus selalu kontak panitianya demi supaya aku bisa infokan orang tua pulang jam berapa, sih. Lagian ini kan bukan kegiatan yang aneh-aneh.

Nah, di hari pembinaan itu, ternyata aku selesai di jam yang lebih dari yang aku infokan ke mereka. Ala-ala tebak-tebak buah manggis itu, aku bilang bahwa hari itu aku akan selesai jam 3 sore. Nyatanya, masih ada sesi lanjutan sampai jam 5. I'm really fine with it! Aku mau belajar! Aku mau ikutin ini sampai selesai, pikirku. Namun orang tuaku terus-terusan mengontak aku dan menanyakan kenapa aku belum juga selesai dan pulang. Mama kembali mengajukan pertanyaan yang selalu bikin aku muak sampai sekarang: "Memang kamu wajib ikut kegiatan itu?"

Dan hal paling buruk terjadi ketika papaku sudah mulai membombardir ponselku dengan pesan teks yang menyatakan mereka super khawatir denganku. 1 pernyataan beliau yang sepertinya menorehkan luka padaku sampai saat ini adalah ketika beliau berkata:

"Kamu tau gak mama kamu itu khawatir sama kamu! Kamu gak sayang sama mama kamu?"

Jleb. Oh jadi pulang gak tepat waktu seperti yang aku infokan itu artinya aku gak sayang sama mamaku? Fyi itu jam 5 sore ya, teman-teman. LOL. Di mana matahari masih bersinar dengan cerahnya, menemani jalur pulangku di jalur Transjakarta Kramat Sentiong-Kebon Jeruk. Dan sampai rumah langsung dikhotbahin. Seakan-akan aku ini anak yang bandel banget, membangkang banget, dan gak sayang orang tua banget. Funny, right? Sempat terpikir waktu itu: lama-lama gue jadi anak bandel beneran dah daripada kek gini mulu tetep salah terus.

Apakah aku gak boleh menentukan sendiri aku ingin mengikuti kegiatan ini dan itu? Apakah semuanya harus ditentukan oleh wajib/tidak? Sampai kapan hidupku harus diatur oleh orang lain yang memutuskan aku wajib atau tidak mengikuti kegiatan ini dan itu? Tidak bisakah aku menentukan sendiri mana kegiatan yang aku butuhkan dan mana yang tidak?--well, ya ini luapan emosiku waktu itu di era perkuliahan. Sebenarnya saat ini ketika aku sudah di dunia kerja, dan aku sudah banyak memberi sikap dan kepercayaan pada mereka, juga terus berdoa supaya mereka lebih baik percaya bahwa berdoa pada Tuhan yang menjagaku daripada lebih banyak khawatir, mereka sedikit-sedikit mulai percaya padaku bahwa aku pun bertanggung jawab pada hidupku sendiri.

---

Itu sekian dari mungkin lebih banyak lagi ceritaku tentang menghadapi tuntutan di dunia nyata. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata aku cukup bertumbuh kembang dalam ketakutanku akan ekspektasi orang lain terhadap diriku. Dalam cerita-cerita di atas, mungkin bisa dilihat bahwa orang tua dan teman menjadi pihak yang paling dominan membentuk kisahku dan juga pola pikirku. Sehingga, 2 hal berikut ini menjadi "tuntutan" bagiku meski ternyata hanya terjadi sebagai asumsi di pikiran belaka:


Aku Harus Menjadi Karyawan yang Baik dan Sempurna

Memasuki dunia profesional kerja, seringkali aku terjebak dalam pemikiranku sendiri bahwa aku harus terlihat sempurna, kinerjaku harus baik, aku tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun, dan semacamnya. Sehingga seringkali aku menganggap para atasan dan bosku menaruh ekspektasi tinggi terhadapku. Nyatanya, tidak selalu seperti itu. Dalam realitanya, ada bosku yang malah sangat heran mengapa aku begitu keras terhadap diri sendiri. Once he said: "Kerja mulu! Jangan pulang malem-malem, Meis. Main sana!". Sebuah respon yang sangat tidak aku sangka. Masa iya bos bilang begitu sih? Keheranan dan kebingungan berputar di otakku. Ada juga bosku yang pernah berkata seperti ini: "Iya gapapa, dimaafin. Gapapa salah, namanya juga belajar. Tapi jangan diulang ya."

What?! Kupikir di dunia kerja itu sangat "haram" untuk yang namanya berbuat salah. Ya mungkin ada aja atasan yang seperti itu, namun membuat kesalahan nyatanya tidak bisa terhindarkan dari dunia profesional kerja. Di awal-awal masa bekerja aku berpikir bahwa aku harus mendedikasikan 24 jam hidupku untuk bekerja, bekerja, bekerja. Sampai akhirnya aku sedikit-sedikit belajar juga untuk menghargai hidupku sendiri, memberi waktu pada diri sendiri untuk beristirahat, dan menjaga stabilitas kesehatan fisik, mental, pikiran, dan jiwa. Ini gak mudah, memang. Butuh waktu dan proses yang gak sebentar untuk paham bahwa bekerja adalah bagian dari hidup, bukan hidup 24 jam untuk bekerja--aku akan tulis cerita yang lain tentang hal ini secara spesifik di postingan blog berikutnya.

Nah jadi, makin ke sini aku makin belajar untuk menghilangkan asumsiku terkait pandangan atasan/bosku terhadap diriku sendiri. Mencoba belajar untuk makin menajamkan potensiku agar menjadi berkat bagi orang lain dan juga lingkungan pekerjaanku. Melakukan bagianku dengan tidak perlu berasumsi apakah bosku ingin aku seperti ini atau seperti itu. Ini cukup melelahkan untukku yang seorang melankolis dan cukup sensitif. Memaksa logikaku untuk lebih tajam dibanding perasaan ketika bekerja merupakan sebuah perjuangan tersendiri untuk aku.


Sudah Menginspirasi, Harus Terlihat "Lebih Kuat"

Ini adalah pelajaran baru yang tengah kualami akhir-akhir ini. Menyadari aku sangat senang menulis dan membuat konten di media digital, tak disangka ternyata berdampak bagi beberapa orang yang membaca atau melihatnya. Bahkan aku sampai dikontak oleh beberapa orang yang tidak kukenal karena mereka ingin sharing tentang hidupnya setelah membaca beberapa tulisanku.

Jujur ini menjadi godaan tersendiri untuk aku berasumsi seperti: "Wah, aku harus terlihat profesional nih. Aku gak boleh kelihatan baperan nih. Aku harus terlihat lebih kuat, blablabla" dan seterusnya. Aku seperti mendapat tuntutan dari warganet untuk menjadi seseorang yang berpengaruh dalam hal membuat konten digital. Padahal motivasi awalku membuat semua itu tak lebih dari sekadar sharing; membagikan cerita yang ingin aku ceritakan di media digital ini. Aku mana tau siapa-siapa saja yang membaca atau melihatnya. Enggak tau juga gimana dampak dan efeknya, apalagi di era "warganet julit" seperti sekarang ini. Namun semua kejujuranku akan kerapuhanku kadang berubah menjadi "kebohongan terhadap diri sendiri" ketika aku tidak lagi jujur bahwa aku lemah. Vulnerable. Aku lebih ingin terlihat "rohani", inspiratif, seorang perempuan Kristen yang kuat, dan sebagainya. Aku kehilangan sosok diriku sebagai seorang Meista yang apa adanya. Bukan untuk self-pity, tapi pada dasarnya aku senang bercerita. Aku bisa saja menceritakan hal-hal yang dapat mengundang likes, comments, and followers, but that's not what I have in mind.

So I have to be honest with myself that I'm confused right now. Kadang terjebak juga pada apakah aku harus tetap menulis seperti ini, atau menulis hal-hal yang, sepertinya, disukai oleh warganet? I don't know. Apakah aku harus tetap melakukan bagianku, atau melakukan hal yang menurutku lebih disukai orang lain supaya gak ditolak? I don't know. Apakah aku harus tetap berbuat baik meskipun orang lain tidak bisa menerimanya? I don't know. Apakah aku sedang mengenal dan menjadi diriku sendiri saat ini? I don't know.

What I've found out is I know that I love writing. I love reading. I love telling the story. Any kind of story. I love creating something. And the thing that I don't know whether this is useful for others or not? I don't know whether I will bring honour to us all, or I'll disgrace and dishonour people?

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN