Tetap Melakukan Bagianku -- Sebuah Pilihan dan Komitmen Natal 2020

Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash


Beberapa hari terakhir ini, ada 1 doa yang berulang kali aku utarakan:

"God, I lost my heart. Aku kehilangan hatiku. Sampai taraf tertentu, bahkan aku gak mengenali diriku sendiri. Apakah aku kembali sedang berpura-pura menjadi orang lain? Apakah aku sedang tidak menjadi diri sendiri?"

Mungkin beberapa dari kalian udah baca beberapa postingan blog aku yang terbaru. Di tengah situasi sulit yang tengah kualami, aku akhirnya meminta bantuan seorang kakak konselor untuk berkonsultasi. Beliau sangat baik dan sabar ketika menolongku mendefinisikan apa yang tengah terjadi pada diriku sendiri secara perlahan-lahan. Sudah 2 kali bertemu secara virtual dalam konseling, ditambah beberapa kali kami berbincang melalui Whatsapp chat, aku menemukan sepertinya saat ini aku sedang kebingungan. Kebingungan dengan diriku sendiri. Bingung dengan bagaimana aku seharusnya memperlakukan orang lain, dan bingung juga bagaimana aku harus meresponi kenyataan ketika mendapat respon dari orang lain yang gak sesuai dengan harapanku.

Di satu sisi, aku senang menolong dan melayani orang lain. It really comes from my heart, and I'm enjoying it. Tapi ketika menghadapi respon-respon yang ternyata tidak sesuai ekspektasiku--dan aku gak nyangka juga bahwa sadar gak sadar ternyata aku berekspektasi terhadap respon orang lain--aku kecewa. Sedih. Jatuh. Terlebih jika itu terjadi di dalam relasi yang sudah aku anggap "dekat". Sehingga akhirnya muncul pengotak-kotakkan relasi di dalam kepalaku, dan muncul keinginan untuk memilih dan memprioritaskan mana relasi yang memang layak untuk diperjuangkan, mana yang memang mau gak mau dipertahankan, dan mana yang memang bisa dilepas begitu saja demi kesehatan dan kebaikan bersama.

Aku gak tau pemikiran di atas keliru atau enggak, namun satu hal yang aku pahami adalah I'm in the middle of the process. The process that I can't understand at all. The process that makes me very confuse. Dan masih dalam fase "mencerna" segala hal yang akhir-akhir ini lagi aku hadapi, aku pun berdoa dan mengambil komitmen di hadapan-Nya bahwa:

"I will always do my part. I'll do my best 'till the end."

Jadi ya aku akan tetap jadi diriku, tetap melakukan bagianku terlepas bagaimana lagi respon yang akan kuterima dari orang lain, dan tetap jaga hatiku agar motivasinya gak lari kemana-mana.

---

Photo by Ben White on Unsplash


Pagi ini (Rabu, 9 Desember 2020) kebetulan aku dapet day-off dalam rangka Pilkada yang diadakan serempak secara nasional. Bahkan sampai bapak Presiden Jokowi pun menetapkan hari ini sebagai hari libur nasional (ya okelah Pak, makasih yes πŸ™). Pas lagi sarapan pagi, tiba-tiba ada paket dateng ke rumah. Seingatku sih aku enggak lagi belanja apa-apa ya di olshop. Ketika aku terima, ternyata pengirimnya dari Our Daily Bread Indonesia, sebuah lembaga pelayanan Kristen yang menaungi media saat teduh bagi kaum muda, WarungSaTeKaMu.

Ah ya, aku ingat beberapa waktu lalu rekan pelayananku, Ary, menanyakan alamat rumahku. Katanya ingin mengirimkan kado natal untuk para volunteer yang terlibat dalam pelayanan di sana. Wow, terima kasih! pikirku saat itu.

To be honest, when it comes to "pelayanan", apapun bentuknya, I wouldn't expect any returns. Why? Because I get so much in my life from God through many things and many people. His kindness and guidance always enough for me to survive in this life, even in the dark circumstances.

Dari istilah "pelayanan" itu, aku belajar untuk mengerjakan segala sesuatu benar-benar dari dalam hati; dari sebuah motivasi yang benar-benar tulus. Mau itu untuk sekadar beres-beresin baju sendiri, bersihin kamar sendiri, kerja di kantor, main piano di gereja, sharing di media publik, nulis blog, update postingan Instagram, menolong orang lain, dan apapun itu, motivasi hati tuh ternyata sepenting itu buatku. Motivasi hati yang mengarahkan aku untuk melakukan dan mengerjakan banyak hal untuk tujuan yang baik. Enggak mudah, asli, tapi sesungguhnya aku pun enggak mengandalkan kekuatanku sendiri. Seperti yang sering banget aku share di blog atau Instagram Story, bahwa aku senang bergantung pada Kekuatan yang jauh lebih besar daripada diriku sendiri, yaitu Tuhan Sang Pencipta, atau apapun kalian menyebutnya sesuai dengan yang kalian imani. Karena kalau aku bergantung pada diriku sendiri, gak ada yang beres. Serius. I'm just the sinful human who has many vulnerabilities.

---

Photo by Kaitlyn Baker on Unsplash


Oh ya, aku mau cerita sedikit terkait keterlibatanku di WarungSaTeKaMu. Kalau mau diingat-ingat ya, sepertinya aku itu lebih banyak curcol ketimbang menulis tulisan inspiratif di sana. Coba aja liat di sini:
Media ini merupakan media yang kugunakan sebagai bahan renungan saat teduh sejak beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya pertama kali pakai Our Daily Bread, terus ketika tau ada versi yang untuk anak mudanya, jadilah lebih sering akses WarungSaTeKaMu. Ternyata di sana enggak cuma ada renungan harian aja, tapi juga ada artikel-artikel yang ditulis dan dikirim oleh banyak penulis. Aku pribadi sering nikmatin tulisan-tulisan yang ada di sana. Kayak ngerasa belonging aja, apalagi kalo ada tulisan yang relate banget sama kehidupanku. Padahal akupun gak kenal juga sama penulis-penulisnya.

Tahun 2019, ketika aku menyadari bahwa aku memang suka banget nulis, ngeblog, bikin konten, dan semacamnya, aku terpikir untuk ikutan ngirim tulisan. Udah mulai nanya-nanya admin Instagram gimana cara kontribusinya, tapi ternyata enggak terealisasi di tahun itu. Waktu itu pertimbangannya karena bingung mau ngirim tulisan apa. Emang sih di blog aku udah nulis lumayan banyak juga, cuma kayak masih belum sreg aja buat ngirim. Terus perasaan-perasaan macem takut jelek, takut gak diterima tim editorialnya, takut dapet komentar-komentar negatif, pokoknya yang gitu-gitu deh, bikin nyali aku ciut untuk mulai nulis dan ngirim tulisan.

Sampai akhirnya di bulan Mei 2020, di masa-masa aku patah hati lagi (eak eaaak~ πŸ˜‚) aku menuliskan pelajaran berharga tentang hubungan pribadi dengan Tuhan (atau yang biasa disingkat: HPDT) melalui proses penolakan dan patah hati ini. Enggak berharap banyak, semuanya mengalir gitu aja, semuanya keluar dari hati dan pikiran gitu aja, sampai ternyata tulisanku diterima oleh editor dengan sedikit revisi minor.

Apa perasaanku waktu itu? WOW. DAEBAK. Meskipun tetep aja ada pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran:

"Kok bisa tulisanku diterima?"

"Emang tulisanku bagus?"

"Emang tulisanku mengandung pesan moral?"

Senang ya pastilah ya. Boong banget kalo flat atau datar gitu aja. Dari momen itu aku pelan-pelan belajar bahwa diriku punya potensi dan talenta yang bisa jadi berkat buat orang lain. Bahkan buat diri sendiri. Yah, dengan berbagai macam penolakan yang sering kualami--bukan cuma soal cowok aja, tapi dengan orang lain juga--membangkitkan kepercayaan diri yang sehat menjadi PR berat tersendiri buatku. Kadang aku harus "mendoktrin" diriku sendiri bahwa:

"You're loved. You're worth. God loves you. Please do the same to yourself, Meista."

Referensi yang kuingat ketika "mendoktrin" diri sendiri ini adalah Yesaya 41:9b-10 dan Matius 22:39.

Bulan demi bulan berlanjut, dan aku pun beberapa kali masih tetap mengirim tulisan ke sana. Aku senang berbagi kisah hidupku yang berkali-kali ditolong Tuhan melalui berbagai ups & downs yang kulalui. Sehingga ketika aku menulis ke ranah publik, aku berdoa dan berharap tulisanku menjadi living witness kebaikan-kebaikan Tuhan yang benar-benar nyata dan terjadi.

Nah, ketika aku kembali mengirim tulisan, dan setelah tulisan itu tayang, ada beberapa orang yang tiba-tiba mengontak aku. Mereka bercerita tentang kondisi hidup mereka yang mirip dengan apa yang aku alami. Awalnya aku kaget juga mendapat respon seperti ini. Aku pikir mereka hanya akan bilang: "Thanks for sharing ya, Kak" aja. Nyatanya bahkan mereka curhat dan kadang menanyakan pendapatku terkait kondisi mereka.

Jujur di situ aku agak takut. Takut salah jawab. Karena aku ini kan bukan psikolog, bukan konselor, bukan pemimpin rohani mereka, bukan siapa-siapanya mereka juga. Gimana kalau aku terlalu judging ketika meresponi mereka? Gimana kalau aku sesat dalam memberikan saran? Akhirnya waktu itu aku coba untuk menjadi pendengar (pembaca lebih tepatnya) cerita mereka aja dulu. Aku coba pahami posisi dan kondisi mereka tanpa ingin menilai apa-apa dulu. Ketika mereka bertanya, aku coba jawab semampu yang aku bisa, sejujur yang aku bisa. Sesuai dengan kapasitas diriku, dan tanpa ditambah bumbu-bumbu sotoy karena aku gak ingin seperti itu. Aku juga sempat nanya-nanya sama Bang Alex Nanlohy bagaimana meresponi mereka, dan beliau juga menyarankan aku untuk menjawab semampuku.

"Karena bisa jadi kita last person yang dia mau terbuka sejauh ini...Intinya berbagi ceritamu dek", kata Bang Alex.

Jadilah aku tetap terbuka untuk berkomunikasi dengan mereka yang aku enggak kenal sebelumnya, tetap menyimak cerita mereka, dan berupaya untuk selalu berdoa "Ya Tuhaaan plis jangan sampe aku sotoy ngejawab dan meresponinyaaaa...Help me to stay honest to them, and let them find the answer in You like I found myself in You as well..."

---

Kadang aku bertanya-tanya juga ya dalam hati:

"Padahal yang aku tulis itu kebanyakan curcol, lho. Di dalam kepalaku aku gak melihat itu tulisan yang empowering, memotivasi, seperti tulisan-tulisan keren dari orang lainnya yang pernah aku baca sebelumnya. Tapi ternyata ada juga ya orang yang terpengaruh dari tulisanku. How come? Kok bisa?"

Berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan dan kebingungan, beberapa hari yang lalu aku baca sebuah artikel yang ditulis oleh pastor Rick Warren berjudul "The Best Use of Your Deepest Pain". Salah satu hal yang aku renungkan dari tulisan beliau ini adalah pada bagian bahwa ternyata kita gak boleh mengabaikan rasa sakit yang kita alami. Apapun penyebabnya. Karena dari rasa sakit itulah, ketika kita merasakan pertolongan Tuhan, hal itu yang akan jadi kesaksian kita untuk menolong orang lain yang tengah bergumul dengan hal yang sama. Well, izinkan aku untuk meng-copas artikel yang bagus banget ini, yang mengubah pandanganku terkait "pelayanan"; bahwa ternyata rasa sakit yang kita alami bisa menjadi sebuah bentuk pelayanan bagi orang lain.

---

When you're going through pain, you can choose to focus on yourself or on other people. When you choose to focus on serving other hurting people, that's called redemptive suffering. It is the highest and best use of your pain.

No matter what pain you've gone through, Jesus wants to redeem your suffering. He doesn't want it to be wasted! He wants to use it to help other people when they are in pain.

"[God] comforts us in all our troubles so that we can comfort others. When they are troubled, we will be able to give them the same comfort God has given us. For the more we suffer for Christ, the more God will shower us with his comfort through Christ" (2 Corinthians 1:4-5 NLT).

Who's better qualified to help a struggling veteran than somebody who's been a struggling veteran? Who's better qualified to help someone recovering from a prescription drug addiction than somebody who has recovered from a prescription drug addiction? Who could better help someone who is suffering from a chronic illness than someone who has also suffered in the same way?

Your greatest ministry will come out of your deepest pain. If you'll be honest with God, others, and yourself about whatever struggle you've faced, then that struggle will become your ministry.

Sharing your strengths doesn't make you feel any closer to someone. But when you share the experiences that have led you to surrender to God and rely on His strength, then you'll be connected to others more deeply than you can imagine. Why? Because when you--as a broken person--share with other broken people how God has restored you, you're not just sharing something you have in common. You're sharing hope that other people can also experience redemption through Jesus Christ.

Sharing your pain helps you and the people around you to grow in Christ. Using your pain to serve others is a form of ministry.

Don't waste your pain. Let God use it for your greatest ministry.

(Dikutip dari www.pastorrick.com--The Best Use of Your Deepest Pain)

---

Photo by Ben White on Unsplash


Kembali ke kisah pagi ini di mana aku mendapat sebuah 'hadiah Natal' dari tim WarungSaTeKaMu karena aku terlibat sebagai penulis volunteer di sana, aku pun mengunggah foto isi dari hadiah Natal itu ke Instagram Story. Dengan tambahan tulisan:

"Such a honour for me to involve with this virtual ministry. Through them I understand the meaning of: "Blessed to be blessing". All praise and glory belong to The Creator πŸ‘"

Aku bisa berani berkata bahwa 'aku diberkati dan menjadi berkat' bukan karena seberapa banyak yang aku punya atau seberapa banyak yang aku peroleh. Tapi karena seberapa banyak yang telah Tuhan lakukan buat aku dan seberapa banyak yang telah Tuhan berikan buat aku. So now it's always my turn to do my part with the best I can do, with everything I have in life. Even with my pain and suffering--seperti yang kubaca dari artikelnya pastor Rick Warren di atas--bahwa ternyata kesaksian tentang rasa sakit dan penderitaan yang kita alami pun bisa menjadi bentuk pelayanan buat orang lain supaya makin mengenal siapa Tuhan, The Creator.

Have a wonderful Christmas, everyone! πŸŽ„
Please do wear a mask...the pandemic still right here πŸ˜·

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN