Merenungkan Perjalanan 7 Tahun Berkarir Sebelum Memasuki Usia 30




7 tahun kerja sebagai role yang kurang lebih serupa, ternyata membuat gue merenung dan berpikir ulang lagi belakangan ini:
  • Apakah peranan tersebut benar-benar sesuatu yang Meista kerjakan dari hati?
  • Atau jangan-jangan peranan tersebut Meista lakukan berdasarkan motivasi 'sekadar cari uang'?
Gue menyadari bahwa realita kehidupan memang seringkali membuat idealisme jadi turun tahta. Maksudnya, sesederhana gue sampe gak tau mimpi dan cita-cita gue apa dalam berkarir karena sejak awal kerja yang gue pikirin cuma:
  • Gimana caranya cari duit biar gak ngerepotin orang tua lagi
  • Gimana caranya gue punya penghasilan sendiri dan gue tetap bisa memberi dari apa yang gue punya
  • Gimana caranya gue bantuin papa untuk renov rumah --> dan ini mengarahkan gue untuk selalu nyari kerja yang prospek gajinya tinggi
Menjadi seorang marketing dan pelaku media sosial selama 7 tahun berkarir ternyata membawa gue pada sebuah pemahaman terhadap diri sendiri bahwa: gue suka dengan role ini bukan karena gue suka jualan, tapi karena gue suka dengan kreativitas & manage segala sesuatu, dan karena gue juga ternyata orangnya kreatif.

Makin ke sini, zaman semakin disruptif. "Anyone can be anything" kalo mengutip salah satu nilai di film Zootopia. Lo lulusnya apa, kerjanya nanti apa. Atau bisa juga lo lulusnya apa, nanti pas kerja sejalan dengan latar belakang pendidikan, tapi dituntut untuk bisa semua hal. Misal kalo gue yang di ranah pemasaran gini, ya berarti dituntut untuk bisa sampai ke ranah penjualan juga. Padahal 2 hal tersebut punya esensi role yang berbeda.

Cuma ya gitu deh. Gak sedikit industri sekarang nyari talent atau tenaga kerja yang dituntut untuk bisa semua hal. Gak ada yang salah dengan fenomena ini, tinggal balik ke masing-masing individu aja gimana mempersiapkan diri dan menyikapinya.

---

Kembali ke perenungan dan pergumulan gue terkait role di bidang pemasaran. Belakangan ini gue memutuskan untuk memikirkan ulang kembali: hidup gue mau di bawa kemana? Terlepas dari segala dinamika yang lagi dialami di pekerjaan, tapi gue ingin merenungkan lebih dalam dari sekadar "misuh-misuh tentang kerjaan".

Apa yang gak cocok di sini?

Apa yang sudah mulai tidak sejalan?

Apa hal yang perlu dipertimbangkan dan dikalibrasi ulang?

---

Beberapa hari lalu gue ngobrol sama orang tua lewat video call. Gue menyampaikan kegelisahan gue tentang pekerjaan, dan mengafirmasi sudut pandang mereka tentang karir gue.

Terus tadi malam, kebetulan gue lagi pulang ke rumah papa, gue kembali mengafirmasi untuk kedua kalinya: apakah tidak apa-apa kalau gue tidak berkarir sebagai 'orang kantoran' dan mungkin akan mengambil peranan yang sifatnya lebih sosial?

Terus terang, motivasi kerja gue selama 7 tahun ini, selain karena memang demi memenuhi kebutuhan diri sendiri, ada motivasi 'menolong' di baliknya. 'Menolong' di sini dalam artian gimana caranya gue harus kerja dan gue gak lagi minta duit sama papa, malah kalau bisa ngasih ke mereka atau sekadar memenuhi kebutuhan apa yang ada di rumah, bisa traktir mereka makan-makan, dan sejenisnya.

Gue gak pernah terpikirkan untuk mempertimbangkan apa yang sebenarnya hati gue inginkan ketika memilih pekerjaan (mungkin bahasa yang lebih esensial dan lumayan beratnya adalah: menemukan panggilan hidup).

Kita tahu bahwa yang namanya 'calling' itu gak dibatasi cuma untuk topik karir dan pekerjaan. Tapi jujur aja, sejak awal gue berkarir gue gak mikirin sama sekali terkait panggilan ini. Balik lagi, ya karena gue rasa logisnya kerja cuma buat cari uang doang. Apalagi memang?

Namun beberapa malam belakangan ini gue akhirnya berdoa (setelah mengalami beberapa dinamika dan kekecewaan yang bikin hati capek banget):

Tuhan, I don't want to waste my life. Anggaplah aku hidup sampai 100 tahun, tetep aja itu limit kan.

Aku seneng dengan jenjang karirku yang sekarang; bisa berkarya di industri yang macem-macem, bisa bantuin para business owner ngembangin bisnisnya, tapi aku sadar aku gak pernah specifically doain karir dan pekerjaan aku. Uang menjadi satu-satunya trigger aku untuk bergerak cari kerja karena Engkau tahu gimana latar belakang keluargaku.

Mengimani bahwa Engkau akan cukupkan segala sesuatu itu rasanya sulit kalau aku gak kerja di tempat yang gajinya gede. Dan di sini aku sadar ternyata bener yang Engkau bilang di Matius 6:24.

So now, mungkin ini untuk yang pertama kalinya, instead of menanyakan: 'Tuhan aku kerja apa dan dimana ya?', aku mau bergumul dan berproses dalam: 'What do You want for me to do in this limited-life?'

Akhirnya langkah pertama yang terpikir sama gue adalah mencari afirmasi dari orang tua. Karena itu kan satu-satunya motivasi gue cari kerja selama ini. Jujur aja, gue gak kepikir bahwa cari duit itu supaya gue punya barang-barang mewah atau baju-baju fancy kayak cewek-cewek pada umumnya ya (meski sebenarnya itu hal yang gak masalah juga). To be honest, gue beli baju kalau: 1. Butuh; 2. Naksir model dan warnanya. Barang-barang "mewah" yang gue punya seumur hidup hanyalah album-album K-Pop original karena dulu gue ngefans banget sama GFriend yang sekarang udah bubar dan bahkan album-albumnya udah kebawa banjir :"/

Oke, balik ke afirmasi orang tua, gue akhirnya nanya:

"Ma, pa, kalian gapapa gak ya kalau aku gak kerja jadi orang kantoran? 7 tahun aku kerja di perusahaan dan organisasi di bidang pemasaran, tapi makin ke sini aku ngeliatnya ada hal yang gak cocok dari hati aku. Aku lagi kepikir akan mencoba ikutin beberapa role yang sekiranya cocok dengan karakter dan kepribadian aku. Cuma memang, role tersebut mungkin gajinya gak sebesar kalau aku kerja di corporate atau di bidang pemasaran. Apa kalian oke?"

Singkat cerita, intinya afirmasi yang gue dapatkan adalah: mereka gak masalah gue mau kerja sebagai apapun dan di mana pun. Dan ketika gue inget-inget ke belakang, gue memang gak pernah dapet pressure dari mereka terkait gue harus kerja di mana, gaji berapa. Yang selama ini menekan adalah diri gue sendiri; karena bukti-bukti depan mata mulai dari rumah yang sering kebanjiran, kerjaan bokap juga yang gajinya gak stabil-stabil amat, itu hal-hal yang mendorong dan menekan gue untuk: "gue harus punya penghasilan besar dan tetap". Ini memang kayak ada suara hati juga yang mengatakan: "Gue gak mau kekurangan kayak mereka." Blur sih ya, antara motivasi ego pribadi dengan keinginan untuk menolong tuh seringkali bikin perang batin. Jadinya alih-alih bekerja menggunakan hati, tangan, dan pikiran, yang ada orientasinya duit mulu (meski bener, itu hal yang penting juga). Ya jadi sering lupa sama konsep "Tuhan akan mencukupkan segala sesuatu". Makin perang batin lagi.

Oke, bersyukur banget rasanya damai sejahtera nyampe ke hati. Ketika gue ngobrol dan dapet afirmasi dari mereka, gue sadar bahwa selama ini memang gue yang menaruh standar sangat tinggi terhadap diri gue sendiri. Boro-boro suara Tuhan, suara hati sendiri aja gak kedengeran.

Sekarang, langkah awal sudah gue lakukan. Selanjutnya, gue akan mengeksekusi poin-poin perencanaan yang udah gue buat. Salah satunya adalah: memantapkan hati untuk memberi diri bekerja dan berkarya dalam role yang sejalur dengan minat-bakat, karakter, kepribadian, dan talenta yang gue punya.

Pernah juga gitu nanya sama diri sendiri:

Mei, kalo ditanya nih, apakah lo benar-benar bermimpi menjadi seorang marketer?

Kalo iya, sebaiknya kita mulai seriusin role ini sungguh-sungguh. Jangan setengah-setengah. Kalo suka, gaskeun, kalo gak suka, ya tinggalkeun.

Dan jawaban gue adalah: Nope. Gue gak pernah bermimpi untuk menjadi seorang marketer. Selama ini ada di ranah marketing ya karena gue suka dengan pekerjaan kreatifnya aja. Plus, gue suka manage, dan gue suka bantuin bos gue ngembangin bisnisnya.

See? Kata kunci yang sering muncul dalam personal statement pribadi adalah: bantuin, nolongin.

---

Gue paham sekarang: kebutuhan akan uang memang akan terus-menerus jadi hal yang menghantui dan mendistrak diri dari panggilan yang sesungguhnya. Gue pribadi struggling banget untuk percaya dan mengimani bahwa segala percuanan itu pun juga punya Tuhan dan Dia yang kasih, gitu. Tapi yah...tendensi gue kan ngeliatnya itu hasil jerih payah gue dan berarti uang itu punya gue juga.

Emang bener lah yang dibilang kalo 'Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan'.

Belom lagi gue tuh punya pengotak-kotakkan tersendiri dalam kepala, kayak: "Oke, pokoknya gue harus excellent di pekerjaan dan pelayanan. Cari duit banyak-banyak dari pekerjaan, nanti jangan lupa pas waktu luang itu dipake buat pelayanan."

Agak ada yang keliru gak sih dari mindset kayak gitu? Gue pribadi ngaleminnya jadi kayak...ngerasa bahwa pelayanan punya tingkatan holistik yang lebih tinggi dibanding pekerjaan gue. PADAHAL, harusnya apapun yang gue lakukan semuanya tetap harus maksimal dan memberikan yang terbaik kan? Mau hal yang sifatnya 'berbayar', atau yang sifatnya 'tidak berbayar'.

Yap, perbaikan mindset ini juga yang akan gue urusin, paralel dengan mencari ladang baru dan mempertimbangkan role baru yang akan coba gue jalani.

Fighting~ 🌻

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN