AKAR

asal mula; pokok; pangkal; yang menjadi sebab(-sebabnya).
(Sumber: KBBI Daring)

---

"Gue pengen punya pacar/pasangan yang lebih tua dari gue."

"Kenapa harus gitu?"

"Biar gue punya abang. Wkwkwk. Karena gue gak akan pernah punya kakak laki-laki, jadi mungkin gue bisa wujudkan keinginan ini di pasangan hidup gue nanti."

"Tapi usia lebih tua belum tentu lebih dewasa karakternya loh, Mei."

"Iya, bener. Gue udah membuktikan itu kok. Tapi gue bisa ngerasa kok mana yang bisa gue jadikan abang mana yang engga, terlepas dari usianya lebih tua, seumur, atau lebih muda dari gue. Ya intinya sebenarnya sosok dan karakteristik abangnya sih yang gue cari, terlepas dari umurnya."

Sebuah percakapan ringan dengan seorang teman yang menyingkapkan salah satu impian terbesar gue dalam hidup: punya pasangan yang sekaligus bisa jadi kakak laki-laki.

---

Ada yang bilang...katanya hal-hal yang kita pilih dalam hidup, atau keputusan-keputusan yang kita ambil itu digerakkan oleh mimpi atau hasrat diri kita.

Kayaknya...itu bener. Dalam konteks misi mencari "kakak laki-laki", sadar gak sadar tubuh gue mengarahkan gue untuk selalu terlibat aktif di dalam persekutuan rohani. Gue Kristen jadi ya persekutuannya Kristen juga lah ya.

Sejak SMA, kuliah, bahkan sampai sekarang gue sibuk cari duit demi bertahan hidup, berada di sebuah persekutuan yang sehat menjadi hal yang selalu gue kejar. Ditambah lagi menyadari gue punya potensi-potensi positif yang bisa gue berikan dan kontribusikan ke komunitas, dan gue dengan senang hati memberikannya, rasa-rasanya makin nempel lah gue di sana.

---

Sayangnya gue gak bisa menampik bahwa di balik keaktifan gue di dalam sebuah komunitas tersebut, ada motivasi pribadi untuk mencapai misi pribadi gue. Yang tadi: mencari pasangan yang sekaligus bisa jadi kakak laki-laki. 

Beberapa kali gue sepertinya nyaris mencapai misi dan mimpi tersebut, tapi realita mengizinkan kegagalan demi kegagalan terjadi. Gue sempat menuliskan betapa lelah, capek, dan hopeless-nya gue melakukan "mendoakan teman hidup" di postingan ini. Rasanya metode itu gak works aja buat gue. Ya kalo orang-orang lain bisa berhasil mendoakan-mendoakan, terus bisa mendapatkan jawaban dalam rentang waktu tertentu, ya mungkin metode seperti itu gak berlaku buat gue. Gak tau ya, udah mulai gak make sense aja buat gue si mendoakan-mendoakan pasangan hidup itu.

Mendapati dan menangkap apa yang jadi perasaan dan pemikiran gue sekarang, ternyata fase ini malah membawa gue untuk tidak ingin terlalu aktif lagi di dalam persekutuan maupun komunitas. Alasannya? Ya sepraktis gue tidak mendapatkan apa yang gue mau aja. Titik.

---

Beberapa tahun belakangan, setelah gue coba ingat-ingat dan refleksikan, gue lumayan aktif pake banget dalam berbagai pelayanan. Gak bohong gue sungguh menikmati itu semua dan ada rasa kepuasan tersendiri ketika gue bisa memberikan apa yang gue punya. Tapi 1 hal yang ternyata gak gue sadari adalah: di tengah-tengah gue melakukan semua hal tersebut, mimpi dan misi gue masih nempel. It means, secara gamblangnya, ya gue melakukan pelayanan dan hadir di dalam persekutuan & komunitas karena sekalian nyari si calon kakak laki-laki (well, kalo nyebut "nyari jodoh" udah lumayan mainstream, jadi di sini gue lebih suka nulisinnya "nyari kakak laki-laki").

Ketemu? Ya ketemu. Hanya...sepertinya proses yang terjadi dalam realita tidak sama dengan yang diharapkan. Entah ini kesalahan di gue yang sudah cukup banyak berekspektasi atas momen-momen yang tersedia, entah memang semesta yang tidak mendukung, gue sampe detik ini masih enggak tau jawabannya.

Ada 1 momen pelayanan yang gue ingat dengan jelas gue menunggu kehadirannya. Eh orangnya ternyata gak dateng. Wkwkland banget πŸ˜‚

Another camp, gue pikir dia tipe yang suka hadir di acara-acara besar gitu, enggak dateng juga.

Sekarang ketika gue inget-inget lagi...rasanya gue kopong beneran ikut acara-acara atau pelayanan itu karena ada motivasi nungguin seseorang. Terus ketika gak ketemu, langsung kopong. Karena apa yang sudah dibawa dari rumah, diekspektasikan, tidak terjadi, hancur sudah.

Ni gue ngomong kayak gini entar ada aja nih yang bisa berpendapat:

Wah salah motivasi dalam pelayanan tuh.

Kamu pelayanan buat Tuhan atau buat si doi?

Motivasi hatinya dulu Mei yang perlu dibenerin.

Semoga gak ada yang nyampe ke kuping gue ya pernyataan-pernyataan itu. Selama ini "nasehat-nasehat" itu cuma dateng dari kepala sendiri, dan itu yang bikin gue jadi guilty. Ngerasa bersalah.

Kenapa guilty? Seakan-akan menyukai seseorang itu jadi hal yang salah.
Gue sampe pernah nanya ke nyokap: salah gak sih aku suka sama orang?
Dan nyokap bilang: ya enggak salah dong. Itu hak kamu sebagai manusia. Itu hati kamu.
Tapi di balik pertanyaan "salah gak sih aku suka sama orang?" itu ternyata gue sadar ada pertanyaan-pertanyaan lain yang tersembunyi tapi sulit diungkapkan:

Kenapa sih aku selalu suka sama orang yang gak suka sama aku?

Kenapa sih usahaku gak memberikan hasil yang aku inginkan?

Aku seneng ada di pelayanan dan komunitas, tapi sekarang aku jadi capek karena aku masih aja terus mencari. Kalo gak nyari, nanti dibilangnya aku kurang usaha. Kalo gak nyari, nanti aku ketinggalan dan "tidak terlihat".

Aku udah berusaha terlihat loh, tapi kenapa rasanya semua sia-sia?

Ya tapi gak mungkin nyokap gue dibombardir pertanyaan-pertanyaan kayak gitu. Bingung beliau.

---

Apakah gue terlihat sedang menyalahkan komunitas, persekutuan, relasi, teman-teman, bahkan si bapak yang jadi target sasaran my-brother-to-be?

Kalo iya, gue minta maaf. Engga ada urusannya sebenarnya.

Komunitas dan persekutuan tempat gue belajar banyak hal, bertumbuh, dan menolong gue untuk kenal Tuhan secara personal gak bertanggung jawab dengan misi dan mimpi gue mencari kakak laki-laki.

Bahkan si bapak yang sempat menjadi target pun gak ada kewajiban untuk membalas chat gue atau menjawab pertanyaan-pertanyaan gue yang mungkin seringkali membingungkan dan bikin pusing. Gak kok, gak perlu.

Ini akar masalahnya adalah ekspektasi yang gak ketemu realita aja. Jadi gue ngerasa gue udah berusaha, terus usahanya gak membuahkan hasil yang diharapkan, jadinya sedih, ngerasa bersalah, dan bitter.

Sekarang, PR-nya adalah menyembuhkan diri sendiri dari rasa sedih, guilty, dan bitter ini, tentu dengan minta tolong sama Tuhan buat pulihkan hati gue yang lagi begini.

---

EPILOG

"Emang kenapa harus kakak laki-laki sih, Mei? Kakak cewek lu bukannya udah banyak di sana-sini?"

"Iyaa, maksudnya gini. Gue kan terlahir sebagai anak sulung ya. Apa-apa gue mesti fight sendiri, mesti jadi contoh buat adek gue. Malah sering orang tua gue juga bergantung sama gue. Di sisi dan titik terlemah gue, gue sadar gue pun ingin memiliki seseorang yang di mana gue juga bisa "bergantung" sama dia.

Gue paham, dalam realita berelasi, gak bisa gue doang yang bergantung sama si pasangan. Dia juga pasti butuh bergantung sama gue sebagai pasangannya juga. It means, idealnya memang gue dan si pasangan memang harus sepadan. Berjalan bersama. I know and understand about that. Cuman kalo ditanya soal preferensi, ya itu preferensi gue. Siapapun yang jadi pasangan gue kelak, dia otomatis akan gue jadikan kakak laki-laki juga. Nangkep gak sampe sini?"

"Ohhh jadi itu yang lu maksud pengen cari abang-abang?"

"Iye. Meski realitanya gue sering nemu gak selalu yang usianya abang-abang karakter dan pemikirannya dewasa. Tapi ya gapapalah, namanya juga mencari one of a kind. Buat sekali seumur hidup juga kan. Sepertinya worth it untuk dicari sampe ke ujung dunia."

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN