5 Hal Serba-Serbi Jadi Pemain Piano

Jujur sejak kecil aku enggak pernah bermimpi akan menjadi seorang pemain piano yang serius. Dalam artian pemain piano yang benar-benar serius melatih dan menekuni skill-nya. Dulu aku pikir bermain musik itu cuma sekadar hobi yang tingkat kepentingannya berada di level rendah, alias gak sepenting pendidikan formal kayak sekolah sampai kuliah, menurutku. Enggak pernah menyangka bahwa talenta di bidang ini ternyata bisa jadi berkat juga, baik buat diri sendiri maupun orang lain. Siapa yang nyangka hanya berawal dari transfer ilmu dari papa ternyata sekarang aku bisa se-jatuh cinta itu sama yang namanya bermain piano (proses serunya pernah aku tulis di sini, atau di sini dengan bahasa yang sepertinya lebih rapi dan terstruktur, hahaha--thank you, WarungSaTeKaMu!).

Berdasarkan beberapa pengalaman mengajar piano, entah itu muridku sendiri atau muridnya papa (beberapa kali beliau suka minta tolong gantiin ngajar memang, waktu jaman-jamannya sebelum korona menyerang bumi), tujuan bermain piano setiap orang itu beda-beda. Ada yang cuma buat hobi dan ngisi waktu senggang; ada yang tujuannya supaya si murid bisa jadi guru les juga; ada juga yang untuk keperluan pelayanan; ada yang punya mimpi bisa perform di band atau konser; dan lain-lain. Macem-macem lah motivasi orang untuk belajar piano tuh apa.

Untuk aku pribadi, seperti yang telah aku singgung di paragraf pertama, enggak kebayang sama sekali tuh motivasi awal belajar piano tuh untuk apa. Waktu itu ya pokoknya nurut aja sama papa kalo lagi diajarin, karena dari kecil dididik gak boleh ngelawan orang tua kan πŸ˜‚. Jadi ya pasti iya-iya aja setiap kali diajarin. Nurut-nurut aja gitu. Cuman gak pernah bermimpi apapun.

Sampai ketika aku sadar bahwa ini benar-benar talenta dari Tuhan yang sepertinya mau Dia pakai untuk jadi berkat, aku berkomitmen untuk setia menekuni talenta ini dan juga setia melayani Tuhan dan jemaat-Nya di bidang musik, khususnya piano (meski ya gak bohong jujur aja beberapa kali mangkir-mangkir juga dengan alasan ini dan itu--ya Lord, maapin πŸ˜…). 

---

Kalau bermain musik untuk diri sendiri, cuma buat kesenangan hati, sepertinya enggak ada tantangan yang terlalu gimana-gimana. Paling tekad dan komitmen pribadinya aja yang perlu diasah supaya latihannya konsisten kan. Tapi jika berbicara tentang bermain musik untuk orang lain, misalnya untuk pelayanan kah, perform di sebuah acara kah, atau apapun bentuknya, tentu ada banyak persiapan yang harus dilakukan. Latihan, ini udah pasti. Mental, jelas. Enggak semua pemain piano berani tampil di depan orang. Jangankan orang banyak, main piano di depan keluarganya aja bisa grogi setengah mati.

Nah, di tulisan kali ini aku mau coba berbagi sedikit serba-serbi isi hati dan pikiran pemain piano yang mungkin enggak banyak yang tau. Ini benar-benar subyektif, maksudnya hanya berdasarkan pengalaman dan pandanganku dari si orang yang introvert dan melankolis. Jadi kalau teman-teman pianis punya pengalaman yang beda, bisa share aja langsung di kolom komentar yaaw~

---

1. Kami Tidak Sejago yang Kalian Kira

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, aku beberapa kali memang mendapat apresiasi positif dari beberapa orang yang mendengarku bermain piano (anyway terima kasih yaa. Praise the Lord! πŸ™Œ). Kebanyakan komentar mereka seperti ini:

"Itu jarinya ngapa bisa begitu sih, Mei?"

"Haduh kalo elo yang udah main piano hati gue meletek..."

"Mei, thank you yak. Nanti kapan-kapan gue nyanyi diiringin sama elo lagi yaa."--ini biasanya dilontarkan oleh teman atau rekan yang request-annya berupa minta diiringin nyanyi pake piano sudah terlaksana.

"Lo kenapa bisa jago gitu sih?"

"Pasti latihan tiap hari nih ya.."

"Pasti bapaknya ngelatih terus setiap hari nih..."

...daaan macem-macem lagi yang lainnya. Tapi tahukah kalian di balik apa yang kalian lihat, tersimpan sebuah rasa dagdigdugseeerrr ketika aku bermain piano di depan kalian? πŸ˜‚πŸ˜† Ada rasa takut salah (khususnya bagiku sebagai kaum minder-people), grogi, karena ngerasa permainan pianoku memang belum se-jago itu. Yaa kalo ditanya: "Emang indikator jago menurutmu sejago apa, Mei?", aku pun enggak bisa jawab secara gamblang. Kenapa? Karena aku punya prinsip di atas langit masih ada langit. Jika orang melihatku jago main piano, dari kacamataku sendiri aku tidak melihat hal itu--si jago jago itu. Enggak sama sekali. Aku masih melihat Yovie Widianto, David Foster, Erwin Gutawa, Richard Clayderman, Kevin Aprilio, dan beberapa pemain piano lainnya yang sudah kelas kakap.

Jadi ketika ada orang yang memberiku apresiasi positif dan mengatakan bahwa aku "jago" bermain piano, monmaap responku hanya bisa sebatas: "Terima kasih yaa. Puji Tuhan πŸ™" sambil bersyukur serta bersukacita dalam hati karena aku memang menyenangi karunia ini.

2. Asas "Mentang-Mentang"

Jangan karena "mentang-mentang" papaku seorang pianis dan guru juga, otomatis aku punya skill sejago dia. ENGGAK GITU, WOI πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Aku pernah menghadiri sebuah acara ibadah gitu, Natal kalo gak salah tapi lupa tahun berapa dan di mana, yang mana aku menjadi pengiring musik saat ibadah. Nah, ketika selesai ibadah, tiba-tiba aku diminta oleh pihak panitia/pengurus gitu, untuk mengiringi sesi makan malam sambil siapa tahu ada yang request mau karaoke/menyumbangkan lagu. Biasa lah ya, kalo acara di persekutuan adat cukup identik dengan karaokean live music untuk menemani makan malam. Sebelum aku menolak, aku sempat mendengar kata-kata seperti ini:

"Kamu pasti bisa lah, kan papanya jago."

YHA MONMAAP BAPAK SAYA JAGO BUKAN BERARTI KEMAMPUAN SAYA SE-DEWA DIA, WAHAI OM DAN TANTE πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Dan peristiwa macam ini enggak cuma terjadi satu kali, lho. Pada beberapa kesempatan aku diminta untuk mengiringi orang-orang karaoke dengan lagu-lagu yang aku sama sekali gak tau. Bisa apa aku? Yakali nanti kalo ada orang nyanyi, terus aku gak paham lagunya, ya cuma bisa gigit jari. Gak mungkin kan beliau aku suruh nyanyi acapella tanpa musik? πŸ˜‚

Jujur aku cukup under pressure kalau sudah diperhadapkan dengan hal-hal semacam itu. Bukannya aku enggak mau ngiringin, tapi memang perbendaharaan laguku enggak sebanyak itu, karena memang hidupku enggak 100% fokus di situ. Enggak seperti papa yang memang itu sudah menjadi profesi serta panggilan hidupnya sejak muda. Meski aku memang memiliki talenta yang sama, terlibat di ladang yang sama, ya bukan berarti aku plek-plekan ngejiplak level jagonya papa, dooonggg.

Akhirnya karena ngerasa insecure, setiap ada acara-acara beginian aku pasti langsung kabur entah kemana setelah sesi ibadah selesai. Pokoknya menyendiri dan langsung menjauhi kerumunan rangorang πŸ˜‚ Yha monmaap, intinya Meista tidak sejago dan se-skillful bapak Julianus Damar 😜

3. Merasa Terintimidasi oleh Tatapan Mata

Di awal tulisan aku bilang bahwa aku gak pernah sedikitpun bermimpi menjadi seorang pemain piano yang serius. Apalagi bermimpi main piano di depan orang banyak. Hih, gak banget, deh. Bukan Meista banget, keleus. Namun ternyata jalan hidupku sudah diatur sedemikian rupa sampai akhirnya aku "mau gak mau" harus bermain piano untuk orang lain.

Boleh percaya atau enggak, untukku pribadi, main piano dilihat orang tuh bikin kikuk tau. Seems like an awkward moment. Gak tau kenapa.

Aku sering banget ngalemin hal seperti ini: jadi ceritanya aku diminta main piano mengiringi acara apaaa gitu. Pas latihan, ngiringin lagu-lagunya udah mantep tuh. Eh, pas hari-H, asli itu berasa kayak amnesia, tiba-tiba lupa semua yang udah dilatih. Faktornya apa, coba? Gara-gara aku ngerasa lagi diliatin sama banyak orang--which is true--dan jadinya enggak fokus sama lagu yang udah dilatih. Grogi setengah mati, akhirnya aku enggak bisa mainin lagu dengan baik. Ini pernah terjadi waktu manggung mini konser di tempat kerjanya papa (kalo gak salah), waktu ngiringin upacara Senin di sekolah dulu, sama pernah juga terjadi waktu pelayanan. Blank. Hati gak tenang banget lantaran ngeh bahwa aku lagi dilihatin sama orang-orang. Dan parahnya, aku berasumsi secara negatif bahwa orang-orang itu ngeliatin aku karena mereka gak suka sama permainanku. Padahal logikanya ya kan karena aku memang pengiring lagu. Ya wajar keleus kalo ada orang yang melihat πŸ˜‚. Jadi ini bukannya kegeeran atau kepedean akut, tapi ke-minder-an akut. Alamak.

4. Pemain Piano Juga Manusia. Bisa Salah.

Se-profesional-profesionalnya kami dalam memainkan alat musik berwarna hitam-putih itu, kami harus menekankan bahwa kami juga manusia biasa yang bisa salah.

Dalam sebuah ibadah di suatu tempat, aku pernah ditegor oleh seorang om karena aku melakukan kesalahan sewaktu mengiringi ibadah. Kalo gak salah kesalahannya itu harusnya aku main 3 bait lagu, tapi aku hanya bermain sampai 2 bait. Blank. Gak fokus. Akupun menyadari kesalahan itu ketika tiba-tiba jemaat hening selama beberapa detik--karena harusnya kan masih nyanyi ya, ini si Meista malah udah stop mainnya πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Aku merasa bersalah banget waktu itu karena nge-blank. Aku sadar letak kesalahanku. Namun yang waktu itu sempat menjadi pahit buatku adalah cara si om menegur aku yang membuatku merasa jadi orang paling gagal sedunia--ini ya antara memang cara berbicaranya si om yang demikian atau akunya aja yang waktu itu belum bisa mengontrol emosi dengan bijak. Jadinya baper dan pahit.

Ya poinnya di sini sih bukan soal menegur-ditegur, tapi lebih ke it's okay kok jika memang lagi 'kesandung' bikin salah. Evaluasi diri, perbaiki di kesempatan berikutnya (buat kawan-kawanku sesama pianis). Enggak usah sampai yang ngerasa bersalah banget apa gimana, santai aja. Jika ada orang yang menegur ya terima dengan hati lapang, jangan terlalu dibawa baper. Apalagi kalau ditegurnya dengan tutur bahasa dan intonasi yang seakan merendahkan. Sabar-sabar aja 😁

5. Penampilan Busana dan Tata Rias Jadi Nomor Sekian. Kadang.

Ini bisa jadi cuma berlaku ke aku yang memang pada dasarnya gak terlalu fashionable alias cenderung cuek dalam hal berpakaian. Tapi bisa jadi juga ini dirasakan sama beberapa temen-temen pianis, baik cewek maupun cowok.

Kalau di dalam kepala isinya udah aransemen, chord, pengulangan lagu, intro-ending, jam berapa makan malam, biasanya hal-hal macem busana dan tata rias enggak menjadi prioritas. Yaa bukan artinya kita gak dandan atau gak mandi. Tetep merawat diri, cuma enggak sebegitunya gitu.

Di event-event ibadah, Natal-Paskah, retreat, mini-konser, dan semacamnya yang berbau-bau performance, aku cenderung untuk gak terlalu ribet sama pemilihan baju dan make up. Milih baju pun malah lebih simpel jika tim musik udah nentuin mau janjian pake baju warna apa atau motif apa. Untuk make up sendiri aku juga lebih sering mengaplikasikan riasan yang sederhana, yang penting gak kelihatan pucat, dan gak kayak orang abis bangun tidur. Lecek. Make up yang kupakai bener-bener standar banget karena ini isi kepala udah fokus ke alur acara. Mesti fokus banget kan.

Aku pernah main piano di sebuah pelayanan kampus. Terus waktu itu jidatku lagi jerawatan. Ketika aku malah fokus sama sakitnya si jerawat di jidat itu, aku jadi gak fokus sama alur ibadah. Jadi pas lagi berusaha nutupin jerawat pake poni, aku gak ngeh bahwa ternyata MC sudah memberi kode supaya aku mulai memainkan intro lagu. Ya ampun, asli se-gak penting itu sih fokusnya πŸ˜‚. Hal yang sama berlaku juga buat make up dan busana. Daripada aku fokus ke bulu mata palsu, alis yang naik sebelah apa engga, ini bajunya bikin aku keliatan kurus apa enggak, hah! Sudahlah! Yang penting baju nyaman dipakai, make up nyaman di wajah, jari siap memainkan lagu sesuai alur yang telah disepakati bersama tim.

...kecuali memang kalo kita ini idol KPop, artis level nasional/internesyenel, yha mau gak mau penampilan fisik diutamakan sih. Cuma berhubung aku hanya warga jelata yakhaan (puji Tuhan bukan artis πŸ™Œ) jadi bebas semau-mau gaya sendiri banget untuk hal ini. LOL πŸ˜‚

---



Aku bersyukur banget menjadi salah satu orang yang memperoleh karunia ini. Semakin aku sadar bahwa aku menyukai talenta ini, semakin aku 'bodo amat' dengan apa yang orang lain lihat atau pandang terhadap diriku, khususnya ketika lagi main piano. Aku belajar bahwa kita gak bisa mengontrol apa yang orang persepsikan terhadap apa yang kita lakukan. Menurutku, selama kita senang melakukannya, minimal diri kita sendiri yang merasa terberkati dengan talenta itu. Urusan orang lain menikmatinya atau enggak, suka apa enggak, terberkati atau enggak, ngefans sama kita atau enggak, itu bukan urusan kita. Gak perlu mumet dan dipusingin.

Aku pernah mengajar salah seorang anak di tempat kerjanya papaku, di sebuah tempat les musik. Dia cerita sama aku bahwa motivasi dia belajar main piano adalah supaya dia diakui teman-temannya. Disenangi teman-temannya karena punya skill main piano. Jadi setiap kali dia les, terlihat banget ambisinya untuk cepat menguasai materi. Ya aku gak bilang ini benar atau salah sih. Cuma salah satu hal positif yang aku tangkap adalah si anak ini jadi cepet banget progress belajarnya.

While di sisi lain...ada anak yang se-enggak suka itu bermain piano tapi dipaksa orang tuanya untuk belajar piano. Ketika aku tanya: "Terus kamu lebih suka apa?", dia jawab: "Menggambar, Kak". Well, oke... Rasanya kasihan sih sama anak ini. Meski mama papanya sanggup biayain les pianonya dia, tapi ketika hati anak ini malah lebih suka ke menggambar, ya...jadi empati aja aku ngelihatnya. Akhirnya waktu itu aku sempet iseng bawain dia buku kosong gitu, sama beberapa pensil warna. Terus aku minta dia untuk gambar apapun yang dia suka dan dia mau. Anaknya excited ketika aku kasih kesempatan dia menggambar sebelum les. Dan ketika gambarnya udah selesai--ya menurut dia udah selesai lah pokoknya--dia cukup fokus ketika les piano. Masih mood-mood-an gitu tapi lebih mending lah dibanding pekan-pekan sebelumnya yang lebih males-malesan.

---

Aku percaya setiap orang dikaruniai talentanya masing-masing. Tinggal apakah kitanya ngeh atau enggak. Terus kalo udah ngeh, punya effort untuk ngembangin atau enggak. Buatku pribadi, menjadi sukacita tersendiri ketika kita tau apa talenta kita, kemudian itu bertumbuh-kembang menjadi passion--sesuatu yang enggak terbatas pada hal yang kita suka doang, tapi much more than that: kerelaan untuk menderita ketika melakukannya--sampai akhirnya talenta itu "terbukti" menjadi berkat buat diri sendiri dan orang lain πŸ˜‰πŸ˜Š

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN