Kisah Horror Sepulang Nonton Kahitna

Jakarta. Jumat, 27 Mei 2016

Malam itu (harusnya) jadi salah satu malam membahagiakan buatku. Bayangin aja: hanya dalam 1 malam aku bisa menyaksikan secara langsung 2 grup musik favorit sepanjang masa. Kahitna dan Yovie and Nuno. Dua grup musik besutan Yovie Widianto yang aku idolakan sejak kecil sampai sekarang. Bahkan kini gaya musik Yovie Widianto menjadi salah satu inspirasiku dalam bermain piano dan mencari aransemen--ini cukup menjelaskan mengapa di beberapa kesempatan pelayanan menjadi pemusik agaknya aransemennya rada ke-Kahitna-Kahitna-an. Hahaha ✌πŸ˜‚

"Mei, lu mau nonton Kahitna gak?", seorang teman di masa kuliah tiba-tiba mengirim pesan singkat beberapa minggu sebelum hari-H.

"Wah, kapan di mana?", tanyaku.

"Di SCBD Sudirman. Ini acaranya Global TV. Gue kebagian tiket gratis, cuma gue ga begitu suka Kahitna. Terus gue inget elu."

Sungguh sebuah berkat tak terduga. Temanku itu kebetulan memang bekerja di stasiun televisi tersebut.

Tanpa perlu berpikir panjang, aku terima tawaran tiket jatah kru miliknya. Lumayan, abis nonton konser yang "Kahitna Love Festival" bulan Februari kemarin eh sekarang bisa nonton mereka manggung lagi, pikirku.

Singkat cerita, aku menyambangi kosannya yang berada di daerah Kebon Jeruk untuk mengambil tiket. Sebuah perasaan bahagia ketika aku memegang 2 lembar kertas tanda aku sah bisa masuk ke area pertunjukkan musik.

"Lu ajak siapa kek gitu biar gak sendirian nontonnya", kata temanku.

"Okeee. Beneran nih ya lu ikhlas."

"Iyeee. Lu kan fanatik banget sama Kahitna, makanya gue ikhlas ngasihnya, Mei."

Kami pun tertawa ngakak, tanpa memiliki firasat apapun terkait hari-H nanti.

---

Setelah menghubungi beberapa teman, akhirnya aku menemukan partner nonton Kahitna bareng. Rachael Abigail, atau yang biasa kupanggil Gaby; seorang teman di masa kuliah, adik junior, sekaligus rekan pelayanan di beberapa acara persekutuan kampus. Kami janjian akan bertemu di depan area Empirica SCBD Sudirman sekitar pukul 5 sore, karena open gate jam 7 malam. Biasa, fans Kahitna garis keras memang biasanya datang enggak mepet-mepet jam open gate. Biar bisa ngantri agak depanan dikit. Paling depan kalo bisa mah.

Oh iya, nama acaranya itu "After Hours Music". Buatku menjadi sebuah jackpot banget bisa menonton Kahitna dan Yovie and Nuno dalam semalam penuh (thank you, GTV! Thank you, Eno!). Untuk itu, memori di ponsel sudah ku-back up ke komputer. Jadi gak perlu khawatir kehabisan memori ketika lagi asik ngerekam mereka manggung.

Sebelum berangkat ke SCBD, aku sempat mengambil sejumlah uang tunai untuk keperluan transport selama sebulan. Kebetulan di hari itu memang harinya gajian. Aku sebenarnya paham harus lebih berhati-hati dalam membawa harta benda, apalagi ketika sedang mendatangi sebuah acara di malam hari. Namun entah mengapa 'radar keselamatan diri' di hari itu seperti sedang low batt. Akhirnya aku berangkat ke lokasi dari tempat kerja sambil membawa sejumlah uang tunai yang tidak sedikit.

Sesampainya di Empirica, aku bertemu Gaby di depan pintu masuk. Kami  menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang seru seputar kehidupan pasca lulus kuliah. Gapapa berdiri lama, yang penting ngantrinya udah di area depan, pikirku. Obrolan seputar pekerjaan, start up, passion, menjadi topik hangat bagi kami selama berdiri kurang lebih 2 jam sebelum kami akhirnya masuk ke area pertunjukkan.

Namanya juga ngantri di paling depan ya kan, otomatis pasti kebagian menonton di area depan panggung. Bahagia mendapat spot berdiri yang kece, aku jadi teringat waktu menonton konser Kahitna bulan Februari sebelumnya di tahun yang sama. Persis seperti ini. Berdiri di area festival dekat bibir panggung dan bisa melihat betapa dekatnya Hedi Yunus, Carlo Saba, dan Mario Ginanjar saat bernyanyi. Bahagia.

Kesan yang sama pun terulang kembali di hari Jumat itu. Plus, ditambah lagi bisa menonton Yovie and Nuno juga. Menyaksikan mereka melantunkan lagu-lagu favoritku secara langsung menjadi sebuah sukacita tersendiri. Sepanjang acara, tanganku sibuk stand by merekam performance mereka satu demi satu. Aku bertekad untuk mengeditnya di rumah dan membuat kompilasi untuk dokumentasi pribadiku sendiri. Saking serunya, tak berasa ternyata acara selesai sekitar pukul 22:30. Waktu yang cukup larut malam untuk seorang aku yang tidak terbiasa keluyuran malam-malam sendirian (memang bareng Gaby sih, tapi kami pulang ke arah yang berlawanan, jadi hitungannya kami pulang sendiri-sendiri). Ah, tapi tak mengapa lah. Kapan lagi bisa nonton 2 musisi favorit dalam 1 hari sekaligus? Gratis pula. Ini yang penting ✌πŸ˜…

---

Sudah menjadi 'tradisi keluarga' bahwa jika aku atau adikku, Nanda, beraktivitas hingga larut malam, papa akan bersedia menjemput di manapun kami berada. Itu kayak semacam komitmen pribadi beliau dalam memberi perlindungan untuk kami para putrinya sebelum kami menikah (konteksnya khusus hanya jika kami pulang larut malam saja ya. Misal sekitar jam 22:00 ke atas). Namun di hari itu papa lagi enggak enak badan. Agak kecapekan karena aktivitas beliau yang sedang padat di pekan itu. Mengetahui kondisi papa yang sedang tidak fit, aku pun "memaksa" untuk pulang sendiri dan menyampaikan bahwa papa lebih baik istirahat saja di rumah, tidak perlu menjemputku. Papa sempat menanyakan beberapa kali apakah aku tidak masalah pulang sendirian, dan aku meyakinkan beliau bahwa aku akan pulang langsung naik ojek daring--meski Transjakarta ada yang beroperasi selama 24 jam pada masa itu.

Setelah mendapat ojek daring, aku menempuh perjalanan Sudirman-Ciledug. Jujur, aku selalu menyukai momen-momen menempuh perjalanan bersama abang ojek. Eehh...maksudnya bukan sama babangnya, tapi sama perjalanannya. Seru aja gitu mengamati banyak hal sepanjang perjalanan sambil diterpa angin sepoi-sepoi malam di Jakarta yang terang benderang. Aku tidak merasakan firasat buruk apapun pada malam itu. Perjalanan kunikmati dengan perasaan senang pasca nonton Kahitna dan Yovie and Nuno. Angin malam yang dingin kunikmati sambil mendengarkan lagu di ponsel menggunakan headset.

"...sambil mendengarkan lagu di ponsel menggunakan headset."

Ini mungkin jadi hal fatal yang tidak aku sadari. Menikmati pemandangan sih menikmati. Lagi bahagia sih ya bahagia, tapi ada beberapa hal kecil yang aku sepelekan dan luput dari perhatianku. Udah tau tinggal di ibukota negara. Udah tau tingkat kriminalitasnya enggak rendah. Harusnya berjaga-jaga dan waspada itu benar-benar harus diterapkan. Namun sayangnya euforia kebahagiaan menjadi fokus utamaku malam itu. Tak hanya keteledoran mendengarkan musik menggunakan headset (yang mana sangat terlihat sekali kabelnya masuk ke dalam tas tangan yang kugunakan dan orang di sekitar kami pun pasti bisa mengetahui bahwa di dalam tas tersebut ada harta benda), aku teledor juga saat membawa tas tangan. Sudah menjadi peringatan utama bahwa jika naik motor sambil membawa tas dengan bentuk apapun (tas tangan, selempang, atau ransel sekalipun), tasnya harus dipegang di depan. Ini malah ngegantung aja di samping. Dikempit tangan. Mungkin buat cewek-cewek yang udah sering dibonceng naik motor lebih paham situasinya. Harusnya tas itu dipangku, bukan diselempangin di samping.

Semua itu tidak aku sadari sampai aku tiba di lampu merah perempatan Srengseng, Jakarta Barat. Ketika lampu lalu lintas berwarna hijau, abang ojek pun kembali ngegas. Entah apa yang terpikir, aku melepas headset-ku, dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu kuselempangkan lagi. Tiba di lampu merah berikutnya, yaitu di area apotik Taman Kebon Jeruk (sebelum Jameson's Superindo Meruya). Tiba-tiba aku merasa beban sebelah kiriku menjadi ringan. Sedetik aku melihat tali tas berwarna abu-abu milikku putus. Lalu di detik ketiga aku menyadari bahwa tasku dibawa kabur oleh 3 orang yang menaiki sebuah sepeda motor. Refleks aku langsung berteriak: "JAMBRET!". Abang ojek yang mengantarku tiba-tiba langsung tancap gas mengejar sepeda motor itu. Sebenarnya setelah lampu merah tersebut aku tinggal lurus saja. Namun si penjambret ini belok ke kiri, ke arah perumahan Taman Kebon Jeruk Intercon. Sepanjang proses kejar-kejaran itu aku tidak henti-hentinya berteriak. Berharap ada yang mendengar selain abang ojek yang terus tancap gas sekencang-kencangnya. Tapi ya namanya juga area perumahan. Tengah malam pula. Apa artinya suaraku yang sudah parau akibat teriak-teriak di konser beberapa jam sebelumnya?

Motor si babang terus melaju kencang berusaha jangan sampai kehilangan visual si 3 orang laki-laki bermotor yang membawa kabur tasku. Aku yang sudah tak sanggup berteriak akhirnya hanya bisa menangis tanpa air mata (ini seriusan loh rasanya nangis, tapi gaada air mata yang keluar. Itu kenapa ya bisa gitu). Mungkin rasanya seperti sedih tapi itu sebenarnya rasa takut yang luar biasa. Takut karena area dan situasi perjalanan kami sepi, sunyi, remang-remang, ya bagaimana layaknya area komplek perumahan di tengah malam deh. Motor si penjambret tiba-tiba masuk ke area luar komplek yang ternyata nyambung ke area pemukiman. Kami sempat melewati sekelompok warga yang masih terjaga dan menanyakan apakah mereka melihat sepeda motor yang dinaiki 3 orang. Mereka ternyata melihat dan katanya baru saja lewat. Kami pun mengikuti jalan yang mereka tunjuk. Namanya area pemukiman warga, jalannya tentu tidak selebar jalan komplek yang kutempuh sebelumnya. Tetap remang-remang, tapi jalurnya lebih sempit meski sudah beraspal. Kami menyusuri jalan tersebut pelan-pelan dan kami lihat ada sebuah motor berhenti di pinggir jalan dan ada 3 orang sedang duduk sambil menunduk. Sambil melewati mereka, abang ojeknya curiga mereka inilah pelakunya. Mereka orang yang kami kejar sedari tadi (e ini btw aku nulisnya masi berasa lho tegang, degdegan, dan merindingnya. Asli, wkwkwk).

Alih-alih mencari tas tangan berwarna abu-abu yang talinya putus--ini sumpah aku lihat banget talinya putus sebelum dijambret tadi, gatau gimana caranya dah--tiba-tiba aku punya firasat: let go. Jangan balik. Padahal si abang ojek udah mau memberanikan diri untuk menghampiri mereka. Tapi...

"Pak jangan disamperin deh. Gak usah. Tolong anter saya pulang aja", kataku sambil gemetar.

"Tapi itu bener kayaknya yang ngambil tas neng. Itu ngapain coba mereka duduk nunduk gak jelas gitu", kata abang ojek. "Saya coba samperin ya."

Situasi saat itu benar-benar sepi dan remang-remang. Dalam ketakutanku yang super duper amat sangat, firasatku mengatakan akan ada hal yang lebih buruk bisa terjadi jika kami menghampiri mereka. Waktu itu sih negative thinking yang tercipta adalah: mereka kan bertiga ya. Aku berdua sama si babang. Amit-amiiit, amit-amit banget, kalau sampai ada apa-apa sama si abang ojek, sisanya tinggal aku yang satu lawan satu sama si cowok. Bisa apa aku? Jurus tae kwon do yang pernah kupelajari udah rada-rada lupa. Apalagi kalo situasinya jadi satu lawan dua. Satu cewek lawan dua cowok. Hiiii, amit-amiiit, amit-amit. Berlandaskan pemikiran ketakutan ini, aku pun memaksa abang ojek untuk enggak menghampiri mereka dan harus mengantar aku pulang saat itu juga. Sempat terpikir negative thinking lainnya: jangan-jangan ni abang ojek sekomplotan juga sama tu 3 orang jambret. Tapi pikiran ini luntur tatkala si babang mengatakan:

"Bener neng, gapapa? Yaudah saya anter pulang ke tujuan ya. Maaf sekali ya, neng."

Wow. Di situ aku hanya bisa menghela nafas panjang berusaha berpikir jernih dan fokus di tengah ketakutan besar yang kurasakan. Kami benar-benar tidak mengenal lika-liku jalan di daerah itu. Tapi syukur kepada Tuhan, ponsel milik abang ojek tidak ikut dijambret. Sehingga ia bisa melihat jalur peta yang harus ditempuh menuju rumahku melalui aplikasi ojek daringnya. Sambil dibonceng si abang, aku benar-benar gak habis pikir. Tanganku kosong. Yang tadinya berangkat bawa tas, sekarang pulang ke rumah benar-benar hampa.

Setibanya di rumah, dengan selamat, aku hanya bisa melangkah lemas sambil berkata pada orang tuaku: "Aku dijambret. Tas aku diambil."

Mereka kaget sedangkan aku tetap berjalan masuk melengos ke dalam rumah. Setelah buka sepatu, aku duduk di lantai ruang TV. Orang tuaku berbicara dengan abang ojek menanyakan apa yang terjadi. Enggak sih, mereka gak yang marah-marah panik emosional gimana. Semuanya serba tenang, cuma pasti mereka shock dengar statement dariku barusan.

Ketika mereka masuk ke dalam rumah, kondisiku masih terduduk lemas di ruang TV. Respon dari mereka sungguh melegakan. Aku diajak berdoa bareng mama papa (si Nanda udah bobo pules dan baru kaget besok paginya pas aku ceritain, wkwk). Kami mendoakan kondisiku yang lagi trauma, mendoakan si penjambret semoga apa yang mereka ambil benar-benar berguna buat hidup mereka, dan juga bersyukur atas pulangnya aku dengan selamat tanpa ada luka atau cacat fisik sedikitpun.

Bener banget. Aku tau aku terluka secara mental dan emosi. Ya gimana ya, abis bersenang-senang nonton musisi favorit tetiba dapet musibah. Itu suatu lonjakan emosi yang drastis banget gak sih. Tapi meskipun begitu, tetap ada hal yang bisa aku syukuri. Aku pulang dengan selamat. Mungkin uang tunai, dompet, power bank, ponsel (termasuk video-video rekaman Kahitna & Yovie and Nuno manggung) tak akan kembali, tapi itu gak sebanding dengan keselamatan diri yang utuh sampai rumah dengan selamat. Doa bersama orang tua pada malam itu sangat membantuku tidur dengan baik, meski tetap diawali dengan tangis penyesalan.

---

Kita semua bisa mengalami kecerobohan, keteledoran, kurang waspada, dan peristiwa sejenisnya. Tapi aku percaya dari setiap peristiwa buruk yang terjadi, ada pelajaran berharga yang bisa diambil dan diaplikasikan refleksinya untuk waktu mendatang. Dan dari peristiwa ini aku makin yakin dan sadar bahwa Tuhan melindungi aku banget. Dia menolong aku bukan hanya saat proses kejar-kejaran dengan si jambret, bukan hanya saat kami menelusuri jalan sepi dan remang-remang, tapi bahkan menolongku untuk merelakan apa yang tidak bisa kembali.

Memang, setelah peristiwa itu aku cukup trauma dengan 2 hal:
  1. Pakai tas tangan perempuan (makanya sekarang lebih suka pakai ransel--meski tetap kewaspadaan enggak boleh kendor!)
  2. Nonton konser Kahitna πŸ˜‚
Ini aneh sih. Sebenarnya Kahitna-nya gak salah, lho. Sama sekali enggak. Cuma karena peristiwanya terjadi dalam waktu berdekatan, memori di otak seakan-akan mengatakan bahwa 'akan ada hal tidak baik yang bisa terjadi kalau nonton konser Kahitna'. Well, tentu ini sesat pikir yaa. Tidak bisa masuk logika tentunya. Tapi namanya juga trauma, tentu aku gak akan memaksakan diriku sendiri selama proses pemulihannya. Syukur banget beberapa waktu lalu bisa nonton Kahitna manggung lagi bareng bos-bos di kantor meski dengan sistem drive-in (nonton konser lewat mobil akibat pandemi COVID-19). I really enjoyed it, dan gak berasa trauma lagi meski pengalaman masa lalu akhirnya mengasah tingkat kewaspadaanku sendiri. Cuman memang aku masih trauma banget pakai tas tangan perempuan sampai sekarang. Enggak paham deh kalo yang ini gimana nyembuhinnya. Setakut itu kalau pakai tas tangan. Sekarang berasa lebih safety pakai ransel--meskipun ini tetap enggak menjamin apapun juga ya.

---

So this is my slice of life. Tetep waspada, tetep hati-hati di manapun kita berada. Aku yakin aku gak sendirian yang pernah mengalami peristiwa ini, bahkan mungkin ada yang pengalamannya lebih tidak menyenangkan. Tapi satu hal yang harus diyakini adalah berdoa untuk keselamatan diri sendiri itu penting banget. Setelah itu radar waspada harus selalu dinyalain di manapun kita beraktivitas.

Stay safe! 🌻

Comments

  1. Shalom kak, Pelajaran berharga kak. semangat terus kak.. ada hikmah di balik musibah ^_^.
    God bless

    ReplyDelete

Post a Comment

Thank you for your comment! :D

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN