Kamp Tahunan Alumni (KTA) XV Day 1: Belajar Lagi Soal Panggilan Hidup

Photo by Jess Bailey on Unsplash


Hari ini, Kamis, 29 Oktober 2020, Kamp Tahunan Alumni (KTA) XV kembali digelar. Acara yang diselenggarakan oleh Divisi Alumni Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas) ini mengusung tema: "FIGHTING FOR ETERNITY".

Masih dengan spirit yang sama untuk memperlengkapi para alumni di segala usia agar senantiasa bertumbuh dalam Tuhan, kali ini KTA yang aku ikuti cukup terasa bedanya. Tahun 2019 lalu, ketika aku untuk pertama kalinya mengikuti kamp besar ini--dan waktu itu sebenarnya hanya karena diajak menjadi pelayan musik--aku belajar banyak hal yang baru, khususnya di dalam kehidupanku sebagai alumni kampus. Disegarkan oleh Firman dari eksposisi kitab Nehemia; bagaimana semangat untuk membangun negeri dimulai dari peka sama kesempatan yang Tuhan kasih dan bersandar penuh pada pimpinan-Nya. Nah, tahun ini, perbedaan yang terasa jelas adalah seluruh rangkaian acara diselenggarakan secara virtual melalui aplikasi Zoom, mengingat pandemi COVID-19 belum dinyatakan berakhir atau minggat dari tanah air kita.

Meski begitu, satu hal yang membuat aku kagum dari perbedaan sensasi mengikuti kamp ini adalah ternyata pesertanya tersebar di seluruh wilayah Indonesia (mungkin bahkan dunia). Kalau enggak salah yang mendaftar sampai 1,000 orang. Wow! Ini kalau kamp-nya diadakan secara offline di Wisma Kinasih kayak tahun lalu kayaknya bisa gak muat deh gedungnya πŸ˜‚. Aku turut bersukacita menyaksikan fakta ini, bahwa ternyata alumni di berbagai tempat bisa turut bergabung dalam pesta rohani ini tanpa perlu khawatir ongkos transportasi, jauhnya jarak, atau terbentur aktivitas fisik lainnya. Yang penting kuota internet cukup, gawai mendukung, dan yang lebih penting lagi dorongan hati untuk mau dibina sama-sama.

Yeah, coronavirus, God is absolutely greater than you 😜. Thank you (God for) internet! πŸ™Œ

---

Di awal sesi, seperti biasa Pak Mangapul Sagala kembali mengingatkan visi dari acara KTA ini. Aku turut bersukacita karena kamp ini diadakan bukan hanya sekadar rutinitas program tahunan semata, tapi ada visi yang kuat yang selalu ditransfer kepada kami khususnya para alumni yang menempuh petualangan di kehidupan masing-masing. Ada 5 poin penting yang menjadi visi-misi acara KTA ini:

  1. Worshipping (Menyembah)--bagaimana menjadi alumni-alumni yang menyembah Tuhan di setiap aspek hidupnya.
  2. Refreshing (Penyegaran)--sebuah kegiatan untuk menarik diri sebentar dari hiruk-pikuk rutinitas atau kesibukan harian demi sebuah penyegaran jiwa.
  3. Networking (Berjejaring)--sebuah kesempatan untuk memperluas jaringan atau koneksi antar alumni.
  4. Equipping (Memperlengkapi)--bagaimana alumni dapat diperlengkapi terus untuk bertumbuh dalam Tuhan melalui panggilan hidup masing-masing. Juga membantu alumni yang tengah berjuang mencari tahu apa panggilan hidupnya.
  5. Acting (Bertindak)--mengaplikasikan apa yang dinikmati selama kamp ke dalam realita kehidupan.
---

Apa yang Aku Perjuangkan?

Sesi pertama KTA dibuka oleh Pak Peter Jacobs selaku pembicara, yang membahas sub-tema: "Apa yang Kuperjuangkan". Namun sebelumnya, ada sedikit sharing dari alumni, yaitu dari dr. Henry Pakpahan. Dari sharing beliau, aku kembali belajar tentang apa itu panggilan hidup. Beliau menyampaikan bahwa panggilan hidup bukan merupakan suatu titik yang perlu dicapai. Panggilan hidup adalah mengerjakan apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita.

Wow.

Aku ingat betul mindset awal ketika aku menjadi alumni baru 5 tahun lalu, bahwa panggilan hidup itu adalah plek-plekan, semata-mata, pekerjaan atau karir saja. Sempat frustrasi karena di beberapa kamp atau retreat yang pernah aku ikuti membahas soal panggilan hidup ini. Dan kala itu, aku masih belum menemukan pekerjaan atau karir yang "pas", atau yang menurutku sesuai dengan panggilan-Nya--padahal aku sendiri belum paham apa yang dimaksud dengan "panggilan hidup".

Namun pagi ini aku kembali disegarkan dari pemaparan dr. Henry. Aku sangat menikmati juga ketika beliau menceritakan kesaksian hidupnya, di mana kita bisa yakin bahwa Tuhan memimpin jalan hidup beliau--berawal hanya dari cita-cita menjadi dokter, kemudian beliau meyakini bahwa hal tersebut adalah panggilan hidupnya.

Kesaksian serupa juga disampaikan oleh Pak Peter Jacobs selaku pembicara sesi 1. Dibentuk di lingkungan kerja selama kurang lebih 30 tahun, beliau meyakini bahwa apa yang dikerjakan merupakan bagian dari panggilan hidupnya. Dari kesaksian beliau, aku juga belajar bahwa yang namanya panggilan hidup itu enggak melulu soal:

"Apa pekerjaan terbaik untuk saya?"

"Saya harus berkarir di mana sih, Tuhan?"

Tapi lebih jauh dari itu, bahwa panggilan hidup merupakan proses menikmati pimpinan Tuhan dalam hidup. Gila. Ini sesuatu yang menakjubkan sih untuk aku. Selama ini aku cukup terkungkung dalam mindset bahwa panggilan hidup = karir/pekerjaan. Ternyata kebalik. Karir/pekerjaan = bagian dari panggilan hidup.

Praise the Lord! πŸ™Œ

Kemudian setelah sampai pada pemahaman ini, pertanyaan yang bisa kita renungkan adalah: ke mana Tuhan memimpin dan mengarahkan kita? Aku rasa tentu jawabannya bisa berbeda-beda untuk setiap orang, tergantung pergumulannya masing-masing dalam relasi pribadinya bersama Tuhan.

Lalu aku menemukan lagi hal menarik dari pemaparan beliau, yaitu terkait ambisiWell, jujur aku sebenarnya bukan tipikal orang yang berambisi ketika mengerjakan sesuatu...or maybe aku bisa jadi punya ambisi juga tapi enggak sadar aja. Hahaha πŸ˜†. Bisa dibilang sebenarnya aku lebih cenderung ke pesimistis--ini mungkin karena memang aku masih bergumul dalam hal minder dan rendah diri. Tapi menarik ketika Pak Peter Jacobs mengelaborasi konsep ambisi ini dengan konsep biblikal. Pertanyaan refleksinya sesimpel: "Ambisi pribadi apakah merupakan panggilan Allah, atau hanya keinginan pribadi kita?"

Wah, tentu ini sulit menjawabnya. Dalam pikiranku malah berkecamuk pertanyaan lain: Memangnya kita boleh berambisi? πŸ˜‚

Menolak berlarut-larut dalam pemikiranku tentang boleh-tidaknya kita berambisi,  aku kembali fokus pada pemaparan Pak Peter bahwa sebenarnya ambisi pribadi itu tak terhindarkan, lho. Contohnya: kita mungkin sering dipuji orang atau juga memuji orang lain. Bahkan di lingkungan Kristen pun, pujian bisa datang untuk kita yang memiliki karir bagus. Orang Kristen yang baru menduduki jabatan penting tiba-tiba banyak diundang melayani. Adanya persepsi bahwa orang akan menghargai kita ketika kita punya jabatan baik di dunia sekuler maupun kerohanian. Nah, hal-hal ini tidak menutup kemungkinan munculnya ambisi pribadi lantaran sudah "diakui" oleh banyak orang berdasarkan pencapaian-pencapaian kita; berdasarkan usaha-usaha kita baik di bidang pekerjaan marketplace maupun ladang pelayanan rohani.

Ini tentu fenomena yang mengintimidasi orang-orang dari kaum "minder-people" seperti aku. Bener banget bahwa aku sempat merasa enggak adil ketika orang bisa "dianggap" berguna atau dipandang punya status sosial tinggi oleh orang lainnya hanya berdasarkan kekayaan, jabatan, prestasi, dan hal-hal sejenisnya, yang di usiaku aku belum memperoleh itu semua. Jatuhnya, aku tidak menikmati proses. Aku malah jadinya tidak punya ambisi--lebih tepatnya malah kayak enggak punya semangat untuk berjuang mengenal diri sendiri (well, puji Tuhan proses ini udah lewat sih, dan aku menikmati menjadi diriku yang sekarang, sebagai perempuan muda yang doyan main piano & blogging + senang membantu orang lain sesuai kapasitas maksimal yang kubisa).

Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita dalam hal berambisi? Pak Peter mengelaborasi pertanyaannya lebih menarik: Apakah orang Kristen boleh berambisi melakukan perkara besar/menjadi besar?

Nah, ketemu lagi kan nih sama pertanyaan boleh-gak boleh... πŸ˜‚

Mengutip motto dari seorang Bapak Misi Modern, William Carey, jawabannya adalah: "Harapkan perkara-perkara yang besar dari Allah dan lakukan perkara-perkara yang besar bagi Allah."

Well, now it is clearer than before. Bahwa ini indikasinya mengarahkan motivasi kita untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar untuk Dia, bukan untuk meninggikan diri sendiri atau mencari pujian untuk diri sendiri. Kita diajak untuk total dalam mengerjakan tanggung jawab pekerjaan kita sambil melibatkan Tuhan di dalamnya; melibatkan Allah Yang Maha Kuasa dalam pengambilan keputusan.

Izinkan aku membagikan beberapa ayat Alkitab yang aku nikmati perihal bagaimana kita seharusnya berambisi:

"Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Matius 23:12)

"Masakan engkau mencari hal-hal yang besar bagimu sendiri? Janganlah mencarinya!" (Yeremia 45:5a)

"Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana." (Amsal 19:21)

Daebak πŸ‘ (bahasa Korea, artinya: Wow!).

Nah, dari tadi aku menuliskan soal pekerjaan-pekerjaan besar. Kemudian pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah: Apakah kita harus menjadi seorang yang besar? Apakah kita harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar?

Hmm, ini jadi pertanyaan refleksi juga dalam benakku sebagai kaum minder-people. Masa iya sih aku pun harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar itu? Untuk apa? Ngapain? Emang enggak bisa kita jadi orang yang biasa-biasa aja?

Lalu Yohanes 12:24 menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.

"Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah."

Pemaparan pada bagian ini aku hayati sebagai perenungan pribadi bahwa setia dalam perkara kecil itu penting. Pak Peter menyampaikan bahwa perkara kecil walaupun banyak kelemahan, tapi di tangan Tuhan akan menjadi perkara besar.

Menjadi catatan untuk diriku pribadi bahwa: terkadang ke-luarbiasa-an atau besarnya pekerjaan-pekerjaan kita gak bisa diukur dari kacamata kita sendiri. Tak bisa selalu sama dengan apa yang kita bayangkan. Tak bisa diukur dari sekadar banyaknya materi, jabatan/posisi, pengakuan/penerimaan dari orang lain, banyak-sedikitnya jam terbang, dan lain-lain. So I guess, it is not about apakah yang sedang kita kerjakan ini adalah pekerjaan besar atau bukan. Our part is to be faithful and true.

---

"Always green...", selalu hijau seperti daun yang segar. Ini adalah bagian Firman lainnya dari pemaparan Pak Peter yang menguatkanku. Aku mau copas apa yang tertulis di slide materi beliau, yaitu bagian Firman dari Yeremia 17:5-8 versi bahasa Inggris:

"This is what the Lord says: Cursed is the one who trusts in man, who draws strength from mere flesh and whose heart turns away from the Lord. That person will be like a bush in the wastelands; they will not see prosperity when it comes. They will dwell in the parched places of the desert, in a salt land where no one lives.

But blessed is the one who trusts in the Lord, who confidence is in him. They will be like a tree planted by the water that sends out its roots by the stream. It does not fear when heat comes; its leaves are always green. It has no worries in a year of drought and never fails to bear fruit."

Terus gimana sih biar kita bisa "tetap jadi daun hijau yang segar" di tengah-tengah kehidupan panggilan kita? Satu kesimpulan utama yang aku tangkap adalah: relasi pribadi dengan Tuhan adalah yang terpenting. Dari proses berelasi ini, kita bisa dapetin kekuatan yang sesungguhnya untuk menghadapi dinamika apapun dalam pekerjaan kita, keluarga kita, pergumulan pribadi kita, pokoknya keseluruhan aspek hidup kita. Mengandalkan Tuhan dalam hidup adalah hal terpenting yang bisa kita lakukan.

Ketika Kolose 3:23 mengatakan: "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.", aku menyadari bahwa sebagai perempuan muda yang memiliki passion di bidang konten kreatif, aku harus do my best better! Melakukan bagianku sebaik mungkin, semaksimal mungkin, di atas rata-rata. Di manapun aku berada. Ini jlebjleb banget buatku sebagai kaum minder-people bahwa kenapa ya aku harus menahan-nahan talenta dan karunia yang udah Tuhan kasih buat aku? Kenapa aku masih suka takut melakukan ini-itu hanya dengan alasan takut salah, takut gagal, takut dihujat orang, dan berbagai takut-takut lainnya. Kenapa mesti takut ketika aku mulai percaya bahwa aku tidak lagi mengandalkan diriku sendiri tapi mengandalkan Dia yang adalah Sumber Kekuatan sejati? (ini isu menarik yang nanti akan aku tulis di postingan blog berikutnya, tentang: "Bertekuk Lutut Hadapi Rasa Takut" πŸ˜‰).

So, jadi gimana sih harusnya kita sebagai orang percaya, sebagai murid Kristus, sebagai orang yang mengaku telah menikmati relasi pribadi dengan Tuhan, mengaku sudah ditebus oleh-Nya, apa yang seharusnya jadi tujuan kita ketika bekerja? Yohanes 6:27 menjadi panduan yang tepat untuk kita renungkan:

"Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya."

Dan terkait bagaimana mengintegrasikan iman dengan pekerjaan kita, Pak Peter mengutip pernyataan dari seorang pendeta sekaligus evangelis kenamaan dunia, John Stott:

"According to Jesus, the 'evils' which we think, say and do are not due primarily to our environment, nor are they bad habits picked up from bad teaching, bad company or bad example; they are due to the inward corruption of the heart."

Jleb. Corruption of the heart...kembali diingatkan soal hati yang perlu ditolong dan dibersihkan Tuhan supaya punya motivasi yang murni ketika kita melakukan hal apapun. Ya, dan aku menyadari akibat dosa, tentu hati ini juga pasti busuk isinya. Yang bikin jadi baik dan murni cuma semata-mata karena pertolongan dan pekerjaan Tuhan.

Mengakhiri sesi pertama, Pak Peter mengajak kita merenungkan jawaban dari judul sesi ini: "Apa yang ku perjuangkan?". Tentu kita diajak berjuang untuk:
  • pekerjaan Tuhan
  • memenangkan jiwa
  • bertumbuh
  • hadir sebagai berkat
  • menjadi yang terbaik
Inilah tantangan yang ditawarkan pada kita sebagai alumni yang memberi diri untuk dipimpin Tuhan dalam menjalani panggilan hidup di bidang masing-masing πŸ˜€ (Terima kasih buat sharing materinya, Pak Peter Jacobs 😊 Tuhan Yesus memberkati πŸ™).

Terus selain dari pemaparan Pak Peter di sesi 1 ini, aku juga menikmati lagu penutup yang udah gak asing lagi di telinga: Satukan dan Lengkapi Kami Melayani-Mu (Buku Lagu Perkantas no.449). Lagu ini kiranya menjadi doa pribadi untukku dan teman-teman semua untuk menjadi anak muda yang memberi diri dipimpin Tuhan dalam menjalani panggilan hidup masing-masing:

Kini tibalah saatnya bersatu dalam kasih-Mu
Dalam panggilan kudus-Mu, hidup bagi-Mu
Bukan keindahan dunia, bukan hormat manusia
Tapi satu yang utama: hidup bagi-Mu

Tak ingin kami ragu, tak ingin kami gentar
Kar'na Kau Kristus yang memimpin, Kau pandu hidupku

Satukan kami dan perlengkapi membangun k'rajaan-Mu
Agar tak goyah s'gala perjuangan meski badai k'ras mend'ru!
Satukan kami dan perlengkapi hidup melayani-Mu
Berp'rang! Berjuang! Dengan hati teguh, hidup demi kasih-Mu, Kristus!

Intermezzo sedikit...ketika tadi dengar dan nyanyi lagu ini di penutup ibadah, aseli rasanya rindu bangeeet mainin itu si keyboard dengan bunyi-bunyi Brass, Tutti, String, dan aransemen jengjetjereretnya setiap kali mainin lagu ini. Hahaha ✌πŸ˜† Well, ya tapi biarlah, mungkin bagianku kali ini cukup di belakang layar dulu aja. And I'm enjoying this season. Srsly πŸ˜

All the glory belongs to God! πŸ™Œ

---

N.B.:
Sebenarnya setelah sesi 1 ini ada sesi Kapita Selekta (Kapsel). Aku memilih mengikuti kapsel Bisnis karena saat ini aku bekerja di ranah tersebut. Cuman...kayaknya kepanjangan kalau ditulis di sini yaak, hehehe. Jadi aku akan share di postingan blog berikutnya~ See you dan terima kasih sudah membaca sampai siniiii πŸ™†

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN