Pelajaran Menikmati Rutinitas yang Mulai Dikeluhkan


Beberapa hari terakhir ini, keluhan demi keluhan mulai memenuhi hati dan pikiran. Salah satunya keluhan mengenai bising serta berisiknya hidup sehari-hari di Jakarta. Bukan cuma sekadar suara knalpot kendaraan bermotor yang enggak absen memenuhi jalan raya ibukota negara, tapi bahkan sampai berisiknya isi pikiran tentang "Apa aja ya yang harus aku selesaikan di hari ini?".

Sebagai orang yang cukup nempel dengan agenda harian dan to-do list, mikirin apa yang menjadi "goals" di hari itu udah jadi makanan sepanjang pekan. Ya aku tau ini baik untuk menjaga konsistensi ritme aktivitas serta menguji komitmen. Cuma aku juga enggak menampik bahwa aku hanya manusia biasa yang bisa capek dan lelah. Makanya aku ngerasa ini mulai masuk titik "berisik" dan pengen banget "retreat" sendiri dengan cara mendengarkan alam. Rasanya ingin banget menghirup aroma segar perkebunan, dengar bunyi burung berkicauan, dan ngerasain sejuknya udara yang menyentuh ujung kulit.

Tapi keinginan ini luntur tiap kali aku lihat berita bahwa jalan menuju puncak selalu ramai padat lantaran orang kota banyak yang ingin liburan ke sana.

Gak jadi deh, pikirku. πŸ˜‚

Terus sempet terpikir: apa main-main random ke kampus UI aja yah...di sana juga sepi dan lumayan teduh wilayahnya. Sepertinya jalan-jalan santai di jalan setapak dan duduk di depan Balairung dekat danau UI cukup seru. Minimal enggak berisik-berisik amat.

Lalu pertanyaan pertimbangan berikutnya muncul: kapan?

Alasan pragmatis, idealis, dan perfeksionisnya adalah karena aku kerja dari hari Senin sampai Sabtu. Hari Minggu sih bisa, tapi kan ada ibadah. Padahal ya bisa aja aku mengomunikasikan dengan bosku keinginan ini, tapi...yah entar aja, deh. Mau pikir-pikir lagi. Soalnya kerjaan juga lagi lumayan padat, apalagi di akhir bulan begini di mana biasanya aku fokus ke membuat perencanaan kegiatan promosi untuk bulan depan.

Jadi...entah kapan keinginan itu akan terlaksana. Saat ini cuma jadi sekadar wacana plus kebanyakan mikir dan mempertimbangkan, hahaha. Dasar Meista πŸ˜…

---

Mumet memikirkan kapan aku bisa menyisihkan waktu untuk menikmati keteduhan dan ketenangan, hari ini aku memutuskan untuk mencoba mengatur fokusku. Sejak pagi aku mendoakan pada Ilahi agar aku bisa benar-benar menikmati rutinitas harianku dengan hati yang sukacita dan damai sejahtera. Tidak taken for granted. Taken for granted itu maknanya kayak mengalami segala sesuatu dengan diterima gitu aja, dialami gitu aja, tanpa ada keinginan untuk menyadari bahwa rutinitas tersebut bisa lho buat dinikmati.

So, aku mulai hari ini seperti biasa dengan mandi dan sarapan sebelum berangkat ke kantor. Dalam rangka tidak mau merasa taken for granted, aku melatih fokusku untuk enjoy ketika melakukan hal-hal yang sudah rutin.

Ternyata seru, lho!

Misalkan gini. Ketika mandi, aku mengarahkan pikiran pada rambutku yang sudah pendek. Waw, hemat shampo banget ini woy, kataku. Sebuah sukacita pada hal sederhana yang jarang aku lakukan. Setelah mandi, sisiran, berkaca, aku akhirnya menemukan bahwa aku menyukai gaya rambut baruku--padahal sebelum-sebelumnya aku tidak menyukai rambut pendek karena menurutku penampilanku jadi lebih jelek. Aku menganggap bahwa diriku akan terlihat lebih eye-catchy dengan rambut panjang, meskipun aku cukup kesulitan merawatnya. Ternyata sekarang malah gemesh sendiri karena ngerasa nyaman banget, dan gak ribet ngurusinnya. Plus, hemat shampo. Ini yang penting πŸ˜‚

Setelah membereskan penampilan, saatnya membereskan perut yang lapar. Aku menikmati roti panggang segepok dan air putih sebelum memesan ojek daring. Sudah menjadi rutinitas harian bahwa aku memang harus mengakses ojek daring untuk menuju ke halte Transjakarta. Soalnya angkot yang melintas di area rumahku terbilang jarang hilir-mudik. Jadi mau naik apa selain ojek daring, ya kan?

Namun khusus pagi ini, aku memilih untuk naik ojek daring langsung sampai ke kantor. Resiko yang harus diterima memang punggung yang pasti pegal-pegal akibat menempuh jarak yang tidak dekat dari Ciledug hingga ke Cipete, Jakarta Selatan. Aku kenakan masker kain dalam rangka menjalani protokol kesehatan, dan juga headset untuk mendengarkan lagu sepanjang perjalanan.

Eh, tunggu...

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu.

Kalau aku mendengarkan lagu, aku jadi kurang bisa menikmati perjalanan dan mendengar semilir angin yang menerpa. Katanya tadi pengen menikmati ketenangan, kataku. Aku tersadar bahwa jangan-jangan selama ini pikiran dan telingaku "berisik" salah satunya didominasi oleh lagu-lagu yang kudengar lewat headset. Well, gak ada yang salah kok dengan mendengarkan lagu. Kita semua tentu menikmatinya. Tapi aku sadar hal kecil ini yang ternyata bisa membuat pikiranku kadang enggak fokus--karena aku lebih fokus ke lagunya. Frekuensinya bisa dibilang memang sesering itu aku mendengarkan lagu lewat headset; mulai dari saat menempuh perjalanan ke kantor, saat bekerja, ketika menempuh perjalanan pulang ke rumah, bahkan saat tidur pun aku mendengarkan lagu lewat headset--ini kalo gak salah secara medis gak baik, deh (huhu maafkan aku, telinga). Ya lagi-lagi enggak ada yang salah dengan hobi mendengarkan lagu, tapi dalam kasusku kali ini, aku menyadari sepertinya terlalu sering melakukan hal itu bikin fokus serta konsentrasiku agak terganggu.

Oke, jadilah aku lepas si headset dan mencoba menikmati perjalanan sambil memasang mata dan telinga lebar-lebar.

Jika biasanya aku pergi ke kantor melewati jalur Meruya-Kebon Jeruk-Arteri Pondok Indah-Fatmawati-Cipete, kali ini babang ojek daring membawaku justru melalui jalur yang berlawanan, yaitu jalur Ciledug-Cipulir-Arteri Pondok Indah-Fatmawati-Cipete. Untung tadi gak jadi pakai headset, jadinya aku bisa menikmati perjalanan di jalur yang jarang kulalui ini--karena memang lebih sering lewat jalur Jakarta daripada Ciledug. Fyi aja, Ciledug itu wilayah perbatasan antara Jakarta Barat-Tangerang-Jakarta Selatan. KTP-ku domisilinya Kota Tangerang, jangan sedih. Cuma karena daerah perbatasan, biasanya pergumulannya adalah jadi warga yang 'ditendang' sama Tangerang, ditolak sama Jakarta. Wkwkwkw πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚ Canda, canda.

Perjalanan kutempuh dengan selamat sampai di kantor. Masih dalam mood & vibe tidak mau taken for granted, satu hal yang kulakukan adalah merombak agenda harian serta mingguanku ketika mengerjakan project-project kantor. Jujur, menjadi seorang 'Marketing' sendirian membuatku cukup sering melakukan yang namanya perombakan agenda. Ini disebabkan karena harus adaptasi dengan situasi yang dinamis dan menyesuaikan kebutuhan perusahaan. Apalagi bekerja di ranah start-up, sudah pasti anggota tim yang bekerja di dalamnya menjadi CEO semua. Chief Everything Officer. Overwhelmed? Udah pasti. Tapi di situ serunya. Di situ tantangannya. Seru karena ditantang untuk terus-menerus belajar, adaptasi dengan kondisi dan situasi yang serba dinamis, peka-peka menyusun skala prioritas pekerjaan, dan masih banyak lagi. Bisa dibilang 9 bulan bekerja di ranah start-up ini membuat aku makin paham apa kelebihan dan kelemahan yang aku punya ketika bekerjasama dalam sebuah tim.

Sebuah pelajaran yang berharga. Mantap surantap.

Yang paling enyak dari hari ini adalah aku bisa menikmati hangatnya minuman green tea di tengah dinginnya hujan. Udah di luar hujan, di dalam AC, makin-makin menggigil lah ya. Tinggal ijin aja nih sama bos pengen bawa selimut sama kasur lipat. Boneka bantal udah ada di kantor, tinggal rebahan sambil leptopan deh ngelarin kerjaan. Hiyah, dasar karyawan jiwa rumahan πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚ 

Selesai bekerja, aku janjian bertemu papa di Pondok Indah Mal 2 untuk pulang bareng naik Transjakarta. Di dalam bus, papa minta izin untuk tidur karena beliau lelah. Daripada mati gaya karena enggak ada juga yang bisa diamat-amati di dalam bus Transjakarta, jadi aku memilih untuk mendengarkan lagu. Biasanya aku mendengarkan playlist-playlist favoritku: lagu-lagu KPop, Yovie Widianto, dan Top 50 Hits Indonesia (sampe terngiang-ngiang itu si Dynamite-BTS sama Love Sick Girls-Blackpink beserta lagu-lagu hits lain, saking seringnya diputar di kantor sampe bosen, hahaha). Namun karena masih berenang dalam keberisikan dan rindu keteduhan, aku mencoba mendengarkan lagu dari playlist lagu-lagu hits tahun 2000-an. Mulai dari Hearts yang dinyanyikan mantan kekasih Irwansyah-Acha Septriasa, Suara-Hijau Daun, Nuansa Bening-Vidi Aldiano, lagu-lagu Ada Band, Project Pop, Vierra, dan lagu-lagu lawas lainnya yang mengingatkanku akan masa-masa SMA. Terlarut dalam kenangan indah masa sekolah (caelah!), tak terasa aku tiba di halte Transjakarta Kebon Jeruk di mana aku harus turun. Setelah itu aku dan papa melanjutkan perjalanan lagi menggunakan mobil daring, dan tiba di rumah dengan selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun (terima kasih, Tuhan! πŸ™).

---

Rutinitas memang bisa memicu kebosanan. Setelah itu muncul keluhan-keluhan yang terungkapkan atau tidak, cepat atau lambat. Aku pribadi pun masuk ke dalam tipe orang yang gampang bosan (dalam konteks rutinitas ya). Tentu kita punya respon dan cara yang beda-beda dalam menyikapi serta menghadapinya. Dengan apa yang aku coba ubah dalam mindset-ku hari ini, aku jadi belajar hal baru lagi tentang bersyukur. Tadi pas lagi di Transjakarta menuju perjalanan pulang, aku tiba-tiba ingat: kapan terakhir kali aku bersyukur untuk Transjakarta ini? Lalu pertanyaan-pertanyaan serupa muncul kemudian:

Kapan terakhir kali aku mengucap syukur pada Tuhan untuk pekerjaan, skill, ketersediaan saldo GOPAY & OVO, musik dari Spotify tanpa jeda iklan, wifi kantor, meja kerja yang nyaman, dan hal-hal sehari-hari lainnya yang rutin dan sering dianggap taken for granted?

Keliatannya memang sepele dan receh ya (ditambah hidupku emang sering banget receh πŸ˜‚), tapi aku menghayatinya demikian. Kendati setiap hari juga diperhadapkan dengan buanyaknya konten yang diproduksi oleh teman-teman maupun brand/artis favoritku--beberapa di antaranya berpotensi memicu iri hati, gak bohong--nyatanya hidup yang kuhidupi adalah ya hidupku sendiri. Bukan hidup orang-orang yang kulihat dari layar kaca. Juga bukan hidup mereka orang-orang yang hanya aku lihat melintas di depan mataku yang tidak kukenal. Jadi sudah selayaknya aku mengucap syukur atas segala hal yang terjadi dalam hidupku, menyenangkan atau tidak kondisinya. Bukan dengan sikap hati yang terpaksa atau sok-sok positivis, tapi lebih ke melatih kejujuran hati (cem judul lagunya babang Kerispatih). Jujur kalau lagi 'bising'. Jujur kalau lagi bosan/jenuh. Jujur kalau sedang dalam kondisi hati yang enggak baik. Jujur, peka, dan aware sama kondisi diri sendiri.

Itu pelajaran berat yang lagi aku latih untuk diterapkan saat ini.

Jujur sama diri sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

Gapapa, Meistaaa, gapapaaa

Tantrum: Si Paling Bikin Kenyang dan Menguras Energi