7 Tahun Kerja, Udah Ngapain Aja? (part 2)



Beberapa hari lalu gue sempet nulisin 3 poin pembelajaran besar yang gue dapetin sepanjang berkarir selama kurang lebih 7 tahun. Cek tulisannya dimari ya πŸ˜‰

Nah, kali ini gue mau coba tambahkan beberapa poin reflektif gue lagi yang semoga bisa meng-encourage teman-teman khususnya para fresh graduate yang baru mau mulai cari pekerjaan.

Tapi sebelum itu, gue mo bikin disclaimer dulu nih, hahahah.

---

Di postingan gue sebelumnya, gue share bahwa gue itu jadi job-hopper selama beberapa tahun belakangan ini. Mungkin beberapa dari kalian bisa muncul pertanyaan di kepalanya macem:

"Emang boleh ya lompat-lompat kerjaan gitu?"
"Kalo job-hopping gitu bukannya bikin CV dan LinkedIn jadi gak bagus ya?"
"Seharusnya kita itu loyal atau enggak sih Kak sama tempat kerja kita?"

Nah, zuzur sezuzur-zuzurnya, gue gak bisa menghitam-putihkan boleh enggaknya kita melakukan job-hopping alias loncat-loncat pekerjaan.
Tapi juga...gue tidak bisa memastikan apakah loyal kepada tempat kerja itu menjadi hal wajib untuk dilakukan atau tidak.

Poin gue gini: tiap orang punya kondisi dan privilege-nya masing-masing. Itulah mengapa di tulisan ini gue gak mau menyeret opini ke salah satu sisi karena setiap pekerja punya kondisi hidupnya masing-masing. Dan dalam konteks kehidupan gue, gue punya privilege untuk melakukan job-hopping.

Apa privilege-nya?

Ni gue ceritain singkat aja ya, sebelum masuk ke poin-poin utama. Bokap gue masih produktif dan berpenghasilan, bahkan hingga saat ini. Setiap kali gue bergumul untuk pindah pekerjaan, tentu gue gak luput dari bertanya ke orang tua bagaimana baiknya; khususnya terkait keuangan—gamblangnya ya berarti pendapatan di rumah akan berkurang kalo gue resign, dan bokap jadi harus nanggung kehidupan gue lagi kan.

Nah sampai pada akhirnya gue memutuskan untuk hidup mandiri dan sendiri, berusaha untuk gak bergantung sama keuangannya papa lagi, di situlah gue berkomitmen untuk berhenti job-hopping. Pun kalau memang harus pindah kerja lagi, seenggaknya ada persiapan-persiapan yang jauh lebih matang dulu sebelumnya.

Jujur, bukannya gue mau manja masih ngandelin orang tua, bukan. Gue punya issue di kesehatan mental. Itu alasan paling utama yang bikin gue sempat job-hopping dalam jangka waktu yang singkat. Orang tua gue aware juga sama hal ini, makanya mereka mengizinkan gue waktu itu untuk tinggalin tempat kerja yang bikin gue gak sehat secara mental maupun finansial juga (re: gue pernah mengalami masa-masa underpaid soalnya, hehe. Jadi buat klean yang lagi bermasalah sama "gaji 1 jabatan, kerjaan 3 jabatan": I'm with you, dude...).

Gituuu.

Apakah gue akan melakukan job-hopping kalau kondisi gue sebagai tulang punggung keluarga?

Of course not. Di sini ya titik pemahaman dan bijak-bijaknya dalam mengambil keputusan. Lihat kondisi juga gitu. Intinya sebelum mengambil keputusan untuk ganti haluan kerjaan, coba ajak sharing orang-orang yang dipercaya supaya kita terbantu juga dalam melihat situasi.

Ohya, terus gue juga pernah sharing sama salah satu kakak senior yang kerjanya di bagian HR tentang job-hopping ini.

Gue:
"Kak sejauh mana sih "salah-benar"-nya seorang pekerja profesional yang job-hopping? Apa benar kalau ada orang yang job-hopping tuh kredibilitasnya langsung rendah di mata recruiter?"

Kakaknya:
"Kalau kandidatnya punya skill yg bagus dan susah dicari di market, umumnya recruiter ga masalah kalau kandidatnya "kutu loncat".

Kalau skill nya ga terlalu sulit dicari di market, utk kandidat yg "kutu loncat", memang sebaiknya punya alasan yg jelas knp sering pindah2x"

Tuh dari seorang HR berpengalaman langsung lho. Wkwkwk.
Monggo dicermati dan diresponi sesuai dengan "iman" masing-masing 😁

---

Oke, kita masup ke beberapa poin tambahan yang jadi refleksi pembelajaran gue selama bekerja kurleb 7 taunan ini yak:

4. Mengasah Skill Itu Pasti



Setiap pekerjaan punya uangnya skill-nya masing-masing.

Lo pernah denger gak sih statement kayak: "Duh, di tempat kerja gue sekarang gue gak berkembang nih"?

Antara gak berkembang secara skill (lebih ke bosen ngerjain rutinitas itu-itu aja tiap hari), ataupun gak berkembang secara angka rekening. Gaji maksudnya yang gak naek-naek, wk.

Memang hal yang stagnan itu cukup bikin khawatir ya. Bahkan ada orang yang jadinya yaudah taken for granted aja kerjanya. Yang penting masi dibayar. Ya gapapa juga, halal-halal aja punya mindset kayak gini. Cuman untuk beberapa orang yang tipenya life-long learner, pasti gerah banget kalo kerjaannya "gitu-gitu doang" dalam kurun waktu lama. Dia pasti pengen tahu/belajar hal lain lagi yang mungkin lebih challenging.

Nah, kalo gue pribadi, sebuah keuntungan dari pengalaman menjadi job-hopper adalah jadi kenal banyak industri di marketplace. Gak berhenti cuman di bisnis Food & Beverages, tapi gue juga sempet icip bisnis media digital, NGO, sampai yang sekarang ranahnya teknologi pendidikan.

Konsep marketing secara garis besarnya sama. Tools-nya aja yang mungkin berkembang. Kalo di awal-awal berkarir gue masih sering pakai cara konvensional (radio, printed materials, dll). Makin kesini, makin digital. Nanti mungkin seiring dengan kemajuan teknologi apa gitu ya berarti mau gak mau adaptasi lagi. Harus menguasai skill baru lagi yang dibutuhkan untuk pekerjaan kita.

Intinya, semakin kita melakukan pekerjaan kita dengan baik, ya skill itu makin terasah juga. Tetep aware aja kalo di tengah-tengah rutinitas itu kita udah mulai ngerasa bosan dan jenuh ngerjainnya. Itu berarti kita harus cari tahu gimana cara mengatasi kebosanan dan kejenuhan itu biar setelah itu kita bisa produktif lagi dari skill yang kita punya.

---

5. Kita adalah Orang. Kerja Buat Orang. Kerja Sama Orang.



Salah satu staf magang di kantor konsultasi sama gue beberapa hari lalu perihal upskilling sebelum dia akan ngelamar ke pekerjaan full-time. Salah satu ketakutan dia adalah:
  • Takut gak senyaman di tempat magang dia yang sekarang
  • Takut gak dapet leader yang kayak gue (ini gue juga gak ngerti apa indikatornya dia ngomong gini, wk)
  • Takut ketemu lingkungan yang toxic
...then I just told her like this...

"Ketika milih pekerjaan, kita bisa:
  • Milih tempat kerjanya
  • Milih jabatannya
  • Milih mau digaji berapa
  • Milih mau mulai kerja kapan
...tapi sayangnya kita gak bisa milih:
  • Siapa rekan kerja/tim kita
  • Siapa pimpinan kita
Sad, but true."

Jadi yah...memang mau dikatakan apa lagi gitu, yang namanya kerja di manapun, we have to deal with people.

Mana kita tau lingkungan kerjanya nanti toxic atau engga?
Mana kita tau kita bakal dapet bos yang ngeselin abis atau baik abis sampai bisa mengayomi layaknya mentor?
Mana kita tau rekan yang duduk di sebelah meja kita hobinya kerja buka sepatu terus bau kakinya kemana-mana?

Well, ya bisa sih kita riset dulu ya di awal-awal sebelum dealing with the job. That's good. Tapi apa menjamin ke depannya bakal terus baek-baek aja? Kalo ganti pimpinan, apa yakin standarnya akan tetap sama baiknya?

Ada banyak hal yang gak bisa kita kontrol once kita udah deal bekerjasama dengan (orang-orang di) tempat kita bekerja nantinya.

That's lyfe, baby.

---

6. Terbentuk Sebuah Prinsip Pribadi



"Di manapun gue berada, di situlah gue harus berkarya, gimanapun caranya."

Ini memang kalau freshgrad gak mungkin lah ya langsung punya prinsip gitu di awal-awal mulai berkarir. Wong masih rebet nyari pekerjaannya. Tapi nanti seiring berjalannya waktu, ketika udah terjun langsung di lapangan kerja dan kalau kita mau ngeh, kita bisa makin tau tuh diri kita kayak apa.

Mengacu ke poin nomor 5 tadi gue juga memang gak bisa kontrol kondisi sosial di manapun gue bekerja. Tapi gue tiba pada fase pemahaman yang makin mendalam tentang diri sendiri, semacam: "I think I was born to be a creator."

Bukan maksudnya sekadar jadi content creator ya. Gak kesitu poinnya. Maksudnya adalah di manapun gue berada, gue semacam punya "visi" untuk berkarya semaksimal-maksimalnya.

Lewat apa?

Konkritnya ya mungkin lewat kemampuan gue dalam perencanaan, pembuatan material konten pemasaran atau apapun yang dibutuhkan oleh organisasi/perusahan di mana gue bekerja; lewat berbagai inisiatif-inisiatif yang kadang diterima kadang ditolak.

Dan gue meyakini semua kemampuan itu adalah semata-mata pemberian dari Tuhan, yang kalo gak gue asah + berdayakan tuh rasanya...kopong gimana gitu.
So ketika gue aware bahwa gue dimampukan untuk mengerjakan banyak hal, ya yaudah dikerjakan aja.

That's why gue cukup plong, lega gitu ya sama diri sendiri bahwa akhirnya gue memahami si Meista ini orangnya kek mana.
Bagi gue ini sebuah achievement terbesar yang pernah gue alami: menemukan diri gue sendiri yang sesungguhnya.

***

TENANG, TENANG! Freshgrad mohon jangan FOMO. πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚
Syabaaar, yeorobun.
Semua butuh proses.
Semua ada perjalanannya.
Tiap orang ada di fase yang berbeda.

Inhale...exhale...

Cukup dari acu untuk cerita fase sekarang ini. Mari kita lihat kisah apa lagi yang bisa diceritakan dalam 1 tahun mendatang? Atau 2? 3? 5? 10?

Semoga kita dimampukan untuk melihat ada titik-titik dalam hidup yang sambung-menyambung menjadi garis kisah, dan garis-garis itu menjadi sebuah cerita hidup yang...nanti lo akan ngeh sendiri bahwa cerita itu memang punya lo aja.

Bukan punya orang lain 😊

Have a good day! 

Jangan lupa besok Senin, hahah! πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Comments

Post a Comment

Thank you for your comment! :D

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN