Belajar dari Sebuah Kondisi Saat Kita yang Bukan Pegang Kendali



Salah satu challenge jadi pemain musik untuk kegiatan ibadah/gereja adalah: pamer skill.

Kalo bukan pamer skill, seenggaknya pasti ada perasaan atau pemikiran yang pernah terbesit seakan-akan permainan musik yang dilakukan itu buat "konser"; to showing off that we can play the music well. Zero mistakes. Smooth composition-intro-ending-bla bla bla.

Butuh waktu yang gak sebentar bagi gue pribadi untuk berproses dalam hal ini. Dimulai dari masa-masa ikut persekutuan di kampus, sampai sekarang udah umur nearly 30 masih diminta tolong jadi pemusik tuh gue tetep ngerasa I'm still on the process; untuk punya mindset dan pemahaman bahwa: "Lu main musik bukan buat konser, cuy. Peran lu gimana caranya komposisi musik yang dimainkan—mau seheboh atau sesimpel apapun aransemennya—bisa 'mengantarkan' jemaat nyanyi dari hati buat nyembah Tuhan."

Apalagi dalam konteks main musik buat ibadah/gereja ya.

Gak gampang, I know. Hahaha. Sebuah proses yang panjang untuk seorang Meista yang dari kecil didikannya musik, musik, dan musik, untuk akhirnya paham bahwa talenta ini ya dari Tuhan dan dipake juga buat Tuhan. Bukan sebagai upaya/usaha cari pengakuan atau supaya dilihat si gebetan #eaa~

-----

Semalam menjadi momen pembelajaran dan perenungan sekaligus ucapan syukur bagi gue pribadi terkait bermain musik ini.

Jadi gue ceritanya diminta tolong main musik untuk sebuah ibadah alumni bulanan (sebut saja PAKJ). Awalnya ragu juga mau terima pelayanan ini, since gue sekarang domisili lumayan jauh dari Jakarta. Tapi akhirnya gue terima karena ngerasanya gue yang butuh pelayanan ini.

Kenapa butuh? Bagi gue musik dan lirik lagu seringkali menjadi sarana Tuhan untuk 'berbicara' secara personal sama gue. Gatau kenapa. Gaada bukti empiris yang bisa gue jelaskan secara deskriptif, tapi ya itu yang gue alami secara pribadi. Wkwkwk.

Jadi waktu itu mikirnya: "Ya ibadah ini bisa pake pemusik siapa aja kok. Gak harus gue. Ada banyak orang-orang bertalenta di luar sana yang bisa dimintain tolong juga. Tapi kali ini gue pengen terima karena gue ngerasa butuh. Butuh disegarkan lagi mungkin ya. Let's see."

---

Sepanjang proses persiapan, gue bersyukur bisa menikmati banyak hal. Koordinasi sama temen-temen tim, lagu-lagu yang dipilih, bikin aransemen, ngelawak dan becanda pas latihan, bahkan sampe perjalanan panjang dari Karawaci-Jakarta Pusat buat latihan itu juga jadi salah satu proses dan perjalanan yang gue coba untuk enjoy-in gitu.

Ya kalo mau dilihat dari "rugi-rugi"-nya aja, gue bakal misuh-misuh tiada henti juga. Ngeluh gak akan habis-habis pasti. Bukan gue sok-sok toxic positivity, tapi gue mencoba belajar untuk enjoying the process and the journey. Capek iya, tumbang iya, sempet ngedrop juga beberapa hari tapi yah bukankah semua keputusan pasti ada konsekuensinya?

Bukankah dalam setiap keputusan pasti ada harga yang harus dibayar (bahkan gak cuma sebatas bayar pake duid)?

---

Biasanya tiap ambil pelayanan musik, gue lebih fokus ke ngafalin aransemen dan chord (yang kadang-kadang bikin pressure sendiri hahaha). That's good, cuman sekarang gue belajar untuk gak hanya berhenti di situ.

Satu agenda tambahan yang dilakukan ketika persiapan pribadi adalah: dengerin rekaman latihan berulang-ulang terus nyanyi sendiri. Trying to understanding the lyrics and the message from the composer.

Ternyata yah, dengerin rekaman latihan selain bisa ngafalin aransemen dan alur lagu, kita juga bisa punya waktu untuk duduk diam merenung untuk sedikitnya paham interpretasi lagu itu apa.

Jujur ini abstrak banget memang. Dulu juga gue mana kepikiran hal-hal gini yekan. Yang dipikir ya pokoknya teknis harus bagus lah, jangan sampe ada salah, dll dsb dst. Cuman sekarang pas mencoba "gaya baru" ketika latihan pribadi, seru juga loh. Ya gak semua lagunya gue bisa nangkep 100%, cuman seengganya gue bisa mempersiapkan diri gue untuk bisa "playing music with understanding" di hari-H nanti.

---

1 jam menuju jam ibadah dimulai, hujan deras mengguyur area Jakarta Pusat dan sekitarnya. Warga tim pemusik mulai panik di grup WhatsApp dan beberapa saling update kondisi di tempat masing-masing. Gue dan salah satu anggota tim kebetulan lagi nongkrong di coffee shop daerah Cikini (dia cuti, gue WFA) yang jaraknya gak terlalu jauh dari lokasi ibadah sehingga kami bisa jalan kaki dan tiba di lokasi sebelum hujan makin deras.

Mendekati jam acara dimulai, hujan makin deras dan awet. Beberapa anggota tim datang dengan kondisi kehujanan. Singer kami stuck dan gak bisa otw dari lokasinya sekarang. Kami sempat berdiskusi untuk nentuin back up plan jika situasi ini dan itu terjadi.

Dengan koordinasi dan komunikasi serta hati yang terus berusaha merendah dan berserah diri, akhirnya kami tancap gas di jam 7.15 (15 menit lebih terlambat dari jam yang seharusnya) dengan kondisi pembicara Firman belum tiba. Macet banget gila semalem itu. Gak ngerti lagi :"

---

Udah cukup lama gue gak ngerasain panik-panik pas ibadah berlangsung yekan. Terbiasa dengan kondisi hari-H yang smooth, lancar, kali ini dikasih kesempatan untuk "tidak biasa" karena faktor alam. Ibadah sudah dimulai dan gue lihat pembicara belum tiba. Sedikit degdegan karena pasti harus ada alur yang diubah, gue berusaha untuk tetap konsentrasi dengan aransemen + chord lagu sambil tetep nengok-nengok ke MC.

Akhirnya ada lagu dan alur yang ditukar. Tadinya khotbah dulu, baru persembahan; jadi persembahan dulu baru khotbah. Sebenarnya ini fenomena yang udah gak asing sih, tapi ya tetep aja degdegan kalo terjadi di hari-H πŸ˜…

Pas lagu persembahan, gue ngeliat bapak pembicara akhirnya tiba di lokasi dan beliau berjalan memasuki ruangan. Di situ leganya berasa WKWKWK! Beliau sempat cerita bahwa jarak tempuh dari lokasi beliau sebelumnya ke lokasi acara itu cuma 1,5 km. Tapi jadi harus ditempuh lebih lama karena macet-pasca-hujan yang luar biasa.

Sungguh sebuah kondisi yang kita semua gak bisa kontrol sama sekali.

---

Melalui pelayanan kali ini gue jadinya belajar kayak: tuh kan, untung udah enjoyin lagu-lagunya dulu pas latihan pribadi. Kalo engga, dan kalo misalnya gue cuma fokus untuk hari-H, kayanya gue failed untuk nikmatin lagu-lagunya sendiri.

Gue belajar bahwa hari-H ibadah tuh cuma sebentar. Bakal lewat dan berlalu gitu aja. Belum lagi kalo ada faktor-faktor yang gak bisa kita kontrol (contoh: cuaca) yang menuntut kita untuk serba fleksibel tanpa kehilangan esensi.

Yang lama tuh waktu persiapan pribadi. Kita punya banyak waktu di sana untuk mempersiapkan dan menikmati banyak hal sebenarnya. Bagi gue, jadinya main musik gak cuma sebatas aransemen sama chord aja, tapi gimana caranya lagu-lagunya bisa dimengerti juga secara pribadi. Gimana caranya, kita bisa cari tahu lagu-lagu itu mau menyampaikan pesan apa.

Last but not least, gue jadi inget pesan salah satu kakak senior waktu di kampus dulu. Dia bilang gini:

"Ibadahnya pemusik itu bukan sebatas di hari-H aja, Mei. Tapi ketika kamu latihan, ketika kamu persiapan, di situlah momen ibadah kamu yang sebenarnya sama Tuhan."

Dan itu makin terbukti dari pengalaman gue jadi pemusik di ibadah PAKJ semalam.

Sama satu hal lagi yang gue coba pelajari: kelancaran sebuah ibadah harus diingat itu juga merupakan anugerah Tuhan melalui orang-orang yang secara maksimal melakukan persiapannya, baik secara pribadi maupun tim.

Selebihnya? Itu udah urusan Tuhan.

Hujan, tetiba di jalan ada yang ditutup karena demo, dan faktor-faktor uncontrollable lainnya itu semua udah jadi urusan Tuhan.

Urusan kita sebagai bagian dari pelayan ya kerjakan dan persiapkan dengan sebaik mungkin aja.
Baik teknis, hati, fisik, mental, pikiran, jiwa, serta bensin dan/atau saldo e-wallet.

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN