Emangnya Gue Se-Ngegas Itu?



Sebenarnya gak nyari yang sempurna juga.

Apalah arti sempurna ketika gue juga bukanlah seseorang yang sempurna.

Yang dicari adalah dia yang gak main-main sama hati perempuan.

Ya..memang gue pribadi gak bisa tahu dan gak bisa bedain (dan gak bisa peka, to be honest) mana yang memang motivasinya main-main, mana yang lagi cek ombak, mana yang 'sok asik' dan seru padahal memang dari sananya udah begitu (maksudnya ya gak berarti dia suka sama gue juga), mana yang memang ya tulus mau berteman.

Cenderung polos, tapi gak bego. Tapi somehow bisa peka juga.

Hahaha sebenarnya males sih ya kalo udah bahasan yang gini-gini lagi. Gue sadar gue dianugerahi kepekaan, tapi terakhir kali gue peka, dan ternyata kenyataan tidak sesuai ekspektasi, hancurnya banget-banget. Salah tafsir. Udah seneng banget ternyata ni orang mau berteman sama gue dan terbuka juga sama kisah hidup masing-masing (meski gak semua ya, seengganya gue dapet sense bahwa gue dipercaya sama cerita-cerita dia. Itu aja udah seneng banget-waktu itu).

Akhirnya sejak 2 tahun lalu itu, gue bertekad untuk gak mau peka lagi.

But last night, I have a conversation with dad. He said, "Kamu jangan menutup diri. Inget, tiap orang beda-beda. Jalanin dan santai aja."

...and my mama suddenly added, "Ada juga loh tipe cowok yang takutan. Ni papa kamu contohnya."

Singkat cerita, setelah cerita ina-inu, gue tiba pada sebuah kesimpulan (and I told them as well): "Kayanya akunya deh yang masih trauma."

"Nah, itu. Coba yang cerita lama dilupain dulu. Itu jadi virus di kepala kamu. Tiap orang beda-beda, kamu gak bisa samain", papa said.

"Satu lagi: coba pelan-pelan mulai sekarang tutur kata dan gaya bicara kamu diperhalus. Meista gak kasar, tapi sering ngegas. Mungkin mama papa sama Nanda pada akhirnya terbiasa ngeliat dan menghadapi kamu yang ngegas kayak gitu, tapi kan orang lain belum tentu. Jangan-jangan cowok juga takut mau deketin kamu karena kamu udah pasang pagar tinggi-tinggi", mama added.

I can't say anything.

Itu rasanya kayak lagi ditampar bolak-balik; bukan di pipi tapi di hati. Mereka menyampaikan nasehat secara lemah lembut tapi langsung jleb banget gitu.

"Emang gue ngegas banget ya anaknya?". Pertanyaan inilah yang akhirnya berulang-ulang berputar di pikiran sejak malam sampe pagi.

Gak nyangka bahwa ternyata banyak past events yang membentuk gue menjadi seseorang yang ngegas. Bahkan gue merenung apa jangan-jangan ngegas ini merupakan sebuah coping mechanism atau implementasi dari sebuah kemarahan dan kekecewaan yang belum terselesaikan dengan baik.

Atau jangan-jangan karena gue yang takut untuk dikecewakan, jadi gue (sadar ataupun tidak) memilih untuk mengecewakan orang lain duluan sebelum gue yang dikecewakan; meskipun pada dasarnya gue GAK MAU mengecewakan orang lain.

Gataulah, rumit banget isi kepala ini.
Tapi intinya bersyukur banget semalam bisa ngobrol banyak sama orang tua; orang-orang yang sangat paham, tau, dan kenal betul gue itu kayak apa orangnya.

Salah satu perenungan yang gue dapetin setelah ngobrol sama mereka adalah:
belum tentu prasangka itu sama dengan fakta, baik prasangka terhadap orang lain maupun terhadap keadaan/kondisi.

Yang kita anggap baik, bisa jadi ternyata gak baik. Yang kita anggap buruk, bisa jadi ternyata baik.

Kata-kata pamungkas yang selalu diingetin sama orang tua gue adalah: jalanin aja.

Dan jadinya PR gue untuk ke depannya: kurang-kurangin ngegas.


---


P.S.:
Ni monmaap banget-bangetan yak gue jadi sering banget sok-sok bilingual bukannye mau pamer apa begimane begitu.

Lebih ke lagi belajar bahasa enggres yekan, terus punya temen kantor lulusan US. Jadi saban hari suka nyelip-nyelip dah itu bahasa saking seringnya denger dia ngomong enggres.

Kebawa juga jadinya kalo aye lagi nulis begini πŸ˜‚πŸ˜…

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN