Welcome, Dua Puluh Enam!



Umur 26 tahun itu berarti...

Seperempat abad lewat dikit.

Dibilang orang dewasa masih kayak anak kicik, dibilang teenager juga ketuaan.

-----

Ulang tahun makin nambah usia gue bukannya semakin pengen dirayain tapi malah semakin mager untuk merayakan pertambahan usia diri sendiri.

Hari ini aja gue udah merencanakan untuk males-malesan dan tidur.

Tapi ternyata kemaren, kemaren banget hari Kamis 16 Mei, gue dapet panggilan wawancara kerja.

Sebagai orang waras lainnya yang lagi cari kerja ya gue cancel lah ya si rencana bermalas-malasan itu dan mulai prepare segala keperluannya.

Salah satu faktor yang bikin gue mulai mager merayakan ultah gue sendiri mungkin karena gue punya pengalaman buruk pas sweet seventeen yang ternyata gak se-sweet apa kata dunia.

Sejak peristiwa tak menyenangkan tersebut--yang gak perlu gue tulis karena males juga--gue jadi skeptis sama yang namanya ngerayain ulang tahun.

Khususnya ultah gue sendiri.

Kalo ultah orang lain sih gue masih semangat ngerayainnya.

Mulai dari yang B aja, bikin surprise, sampe yang nge-prank anak orang gue pasti excited banget.

But not for my birthday.

I'm not that excited.

Nevertheless, tentu gue juga bersyukur dan berterima kasih pada orang-orang yang ngucapin selamat ultah, mendoakan, nyiapin perayaan kecil-kecilan atau gede-gedean, juga yang niat bikin surprise.

I thank you so much πŸ’“

I thank God for your presence & kindness.

Really πŸ’“

-----

Faktor lain yang bikin gue makin B ajah dengan perayaan ulang tahun diri sendiri adalah dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Tepat di mana saat gue BERUSAHA untuk enjoy dan menikmati masa-masa yang disebut orang: quarter life crisis.

Dan nyatanya gue gak enjoy sama sekali...

Gue "jatuh" pada begitu banyak kekecewaan dan penyesalan.

Kekecewaan dan penyesalan yang, ternyata, mengarahkan gue pada pelajaran berharga dalam hidup.

-----

EKSPEKTASI, KECEWA, DAN PENYESALAN


Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash

Salah satu pelajaran yang begitu berarti selama 1 tahun terakhir ini adalah mengenai ekspektasi.

Gue seringkali menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada hal-hal "masa depan" yang bahkan belum gue jalani.

Salah satu contohnya adalah karir.

Gue gak akan cerita detil di sini--karena males juga dan pasti bakal puanjang buangettt--tapi gue akan coba jabarkan benang merahnya.

Siapa sih di sini yang enggak pengen punya "dream job"?

Gue gak paham juga sih definisi dari si dream job ini apa, tapi sepertinya hal ini menarique dan layak diperjuangkan.

Dalam jangka waktu sejak lulus kuliah tahun 2015 hingga saat ini, gue sudah mengalami beberapa jenis pekerjaan di tempat yang berbeda.

Awalnya, gue pikir, setiap pekerjaan yang gue jalani adalah dream job-nya gue.

Kenapa?

Karena bidang pekerjaan dan tempat pekerjaan yang gue tekuni sangat gue senangi.

Pada awalnya.

Awalnya.

Awalnya, sama seperti anak-anak fresh graduate lainnya, gue semangat banget bekerja di tempat A, B, dan C, tanpa memahami bahwa bekerja tak hanya melulu soal pengalaman, gaji, berkontribusi, dan CV, tapi juga soal dealing with people.

Elo bermasalah sama orang-orang di tempat kerja lo, Mei?

Enggak.

Gue tekankan di sini sekali lagi: enggak.

Puji Tuhan gue berelasi baik dengan rekan-rekan kerja gue secara personal dan profesional.

Banyak yang masih berteman baik bahkan sampai sekarang meskipun gue sudah resign dari tempat tersebut.

Masalahnya, terletak pada gue yang, ternyata, cukup kesulitan menghadapi hal yang satu ini, si dealing-with-people ini.

Akhirnya gue menyadari bahwa ternyata segimanapun elo sukanya dengan pekerjaan lo, segimanapun elo sukanya dengan perusahaan tempat elo bekerja, se-seimbang apapun work-life-balance yang elo jalani, sepuas apapun elo terhadap pencapain-pencapaian lo, elo tetap harus menghadapi yang namanya dealing-with-people.

Dealing with people itu, menurut gue, sebuah kemampuan bersosialisasi di mana akan ada perbenturan antara value yang lo miliki, dengan value yang orang lain miliki; dan gimana caranya dengan perbedaan value itu kita bisa mencapai tujuan sama-sama, baik di dunia pekerjaan, pelayanan, atau bidang lainnya.

(Eh btw correct me if I'm wrong yah kalo salah definisinya--ini mah cuma berdasarkan pengalaman pribadi aja).

Kalo kita gak survive dalam hal ini, gue yakin (dan udah pengalaman juga) kita bakal gak enjoy ngejalanin pekerjaan harian kita.

Dan gue, sebagai orang yang introvert, ternyata punya PR besar untuk bisa belajar gimana caranya gue harus ngadepin masalah relasi ini.

Gimana caranya gue menanamkan dalam pikiran gue bahwa: bekerja itu bukan cuma buat "cari pengalaman" atau bahkan cuma "cari duit aja".

The thing is you work with people, you work for people.

Agak aneh memang pemikiran gue yang sempat ngelupain satu hal penting dalam pekerjaan: kerjasama tim.

Gue lupa bahwa kemampuan bekerjasama dalam tim itu jadi hal yang krusial banget kalo kerja di manapun.

Nah, kalo mau dikaitkan dengan masalah ekspektasi, gue bisa gambarkan kayak gini:

- Gue berekspektasi gue bisa betah kerja lama di sini
- Gue berekspektasi gue bisa banyak berkontribusi di sini
- Gue berekspektasi gue bisa nabung untuk bantu kehidupan harian di rumah gue
- Gue berekspektasi gue bisa nambah skill dan pengalaman saat kerja di sini

Untuk beberapa hal, ekspektasi gue terpenuhi, tapi untuk beberapa hal lainnya, ekspektasi gue runtuh hanya gara-gara gue yang tak mampu menghadapi masalah dealing with people.

Sebenarnya masih banyak lagi ekspektasi-ekspektasi super tinggi lainnya, tapi intinya cukup banyak yang runtuh hanya karena masalah itu.

Dan akhirnya hasilnya apa?
Penyesalan dan kecewa.

Regret & disappointment.

Gue sadar gue sudah melakukan kesalahan selama ini.

Ada pemikiran yang gak tepat terkait dengan kehidupan karir gue.

Awalnya gue sempet komplain ke Tuhan.

"Tuhan, kenapa sih kalau Engkau gak berkenan aku kerja di A, B, C, kalau Engkau gak berkenan aku pelayanan di D, E, F, kalau Engkau gak berkenan aku ikut kegiatan G, H, I, kenapa Kau enggak tutup aja jalannya? Kenapa aku akhirnya harus terlibat terus aku jadi ngalemin hal-hal kayak gini? Jadi salah kan aku tuh."

Eh ini beneran loh gue pernah doa kayak gini.

(Btw FYI masalah ekspektasi ini memang gak hanya terjadi di aspek karir gue aja, tapi juga pelayanan dan banyak lagi aspek hidup lainnya yang--gue baru sadar belakangan--polanya sama. Dan ini sumber masalahnya emang di guenya yang punya ekspektasi ketinggian).

Ngambek, ngambek, ngambek, tapi lama-lama gue mikir: lu bego ya, Mei. Ini tuh kesempatan yang Tuhan izinkan terjadi untuk lo alami supaya lo belajar sesuatu.

Self-talking kan ceritanya.

Lu minta kerjaan, Tuhan kasih.

Lu minta pengalaman, Tuhan kasih.

Lu minta penghasilan, Tuhan kasih.

Lu minta kehidupan sosial lu diperluas, Tuhan kasih.

Lu minta kemampuan musik lu meningkat, Tuhan kasih.

Dan akhirnya gue ngerasa...ternyata gue kurang bersyukur.

Sambil kembali merenungkan beberapa peristiwa yang terjadi, akhirnya gue sadar bahwa kekecewaan dan penyesalan gue gak ada gunanya.

Harusnya sekarang tinggal guenya yang mau tetap melangkah maju, atau diam di tempat.

Dan gue milih...untuk tetap melangkah maju.

Sambil inget lagi hal apa aja yang gak boleh gue ulangi di waktu mendatang.

Salah satunya soal si ekspektasi itu tadi.

-----

LIFE-LESSONS


Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash

Merefleksikan peristiwa runtuhnya ekspektasi gue, kekecewaan gue, dan penyesalan gue, akhirnya ada beberapa hal kecil yang gue baru ngeh.

Dan hal-hal kecil ini bermakna banget.

Padahal sebelumnya gue gak notice sama hal-hal ini.

Pertama, begitu berartinya work-life balance di kehidupan berkarir.

Gue adalah tipe orang yang doyan lembur (jujur aja).

Kenapa?

Karena gue tipe orang yang cukup ambisius untuk menyelesaikan suatu pekerjaan mendahului orang-orang lainnya.

Baru tau kan lo?

Gue ngerasa lebih produktif aja gitu kalo kerjaan hari besok bisa gue abisin juga di hari ini.

Dan ketika gue ditegur oleh beberapa rekan terkait hal lembur-yang-disengaja ini, gue baru paham juga kalau memang lembur itu gak baik.

Bukan cuma soal dibayar atau gak dibayar-nya, tapi juga soal "elu punya kehidupan lain di luar jam kerja".

You have family--mother, father, sister.

You have social life out of work environment.

You have cat.

You have hobbies.

You have many things out of work hours that you shouldn't ignore.

Akhirnya gue baru sadar juga kenapa dulu salah satu pimpinan gue sering banget "marahin" gue kalo masih aja ada di tempat kerja sampe jam 8 malem lewat.

Dan beliau sering bilang gini, "Pulang sana! Pacaran kek, ngemall kek, hangout kek. Dugem kalo perlu."

Dan fakta lain yang menghentak kesadaran gue adalah: pada dasarnya, setiap pekerja akan mendapatkan pekerjaan hariannya masing-masing.

Jadi tanpa perlu gue 'ngebut' ngerjain kerjaan besok dihabisin hari ini, gue harusnya menggunakan satu hari bekerja untuk pekerjaan yang memang harus selesai di hari itu.

Besok ya besok lagi.

Beda urusannya kalo gue lembur karena guenya yang lelet atau kebanyakan main pas jam kerja.

Kedua, begitu pentingnya mengatur keuangan dari pendapatan pribadi.

Dan ini ternyata sangat berpengaruh saat proses negosiasi gaji di awal sebelum tanda tangan pernyataan jadi karyawan.

Nih gue kasih tau aja ya sama kalian para fresh graduate: kalau apply kerjaan dan tiba masanya ditanya soal salary atau gaji, jangan pernah kalian lupakan soal akomodasi, a.k.a. dana makan dan transportasi (atau tempat tinggal kalau kalian ngekos / ngontrak).

Pada dasarnya, setiap perusahaan pasti punya budget masing-masing untuk para karyawannya yang menempati posisi tertentu.

PR kita sebagai calon karyawan adalah kalkulasiin dalam sebulan itu kira-kira lo butuh berapa untuk kebutuhan primer (contohnya akomodasi tadi), dan kira-kira ada berapa rupiah kelebihan yang lo butuhkan untuk hal-hal lain?

Pas nanti deal-deal-an, lo bisa punya argumen kenapa lo milih digaji sekian.

Nah hal-hal ini sama sekali gak terpikir di gue pas gue freshgrad.

Anggaplah mungkin gue salah satu freshgrad yang lebih banyak planga-plongonya, dan baru ngeh hal-hal mendasar kayak gini sekian tahun kemudian πŸ˜‚

Ketiga, proses wawancara atau interview adalah ajang perusahaan mengenal kita lebih dalam dari sekadar CV + portofolio dan ajang kita mengenal perusahaan lebih dalam dari sekadar googling.

Bukan macem SBMPTN atau Ujian Nasional yang jawabannya benar atau salah.

Ya emang ada juga sih pertanyaan seputar perusahaan dan profesi posisi yang dilamar.

Tapi kalo kita emang gak paham atau gak tau kan ya tinggal jujur aja.

Mungkin bisa jadi indikator juga kalo kita sebetulnya gak terlalu tertarik sama perusahaan itu atau karena kita kurang risetnya.

Kurang kepo.

Sejujurnya, tahap yang paling gue takutin kalo lagi proses seleksi pekerjaan adalah wawancara kerja.

Apalagi, di situ bakal ada pertanyaan seputar gaji.

Aduh asli deh gue kalo disuruh milih mending ngerjain psikotes yang ribet daripada harus ngelewatin fase wawancara.

Tapi ya akhirnya gue paham juga gitu ternyata wawancara kerja gak semenyeramkan yang gue kira--berdasarkan beberapa pengalaman wawancara kerja di beberapa tempat yang menerima gue dan menolak gue.

Polanya sama kok.

Mereka mau tau kita, kita bisa cari tau lebih tentang mereka.

Keempat, bekerja di manapun elo berada, se-bergengsinya perusahaan tersebut di matamu atau netijen, se-sukanya elo dengan si perusahaan, se-ideal apapun tipe pekerjaan yang elo jalanin, balik lagi: lo akan diperhadapkan dengan hal-hal yang akan bikin lo gak enak dan gak nyaman di dalamnya.

And you have to fight for it.

Kalo tadi kan contoh gue yang bikin gak nyaman itu dealing with people.

Mungkin lo punya hal lain lagi yang beda soal ketidaknyamanan.

Meskipun keren secara CV, porto, atau pekerjaan lo dibanggakan oleh keluarga besar dan netijen yang terhormat, pada akhirnya elo yang akan mengalami sendiri segala sesuatu di dalam tempat lo bekerja itu.

And you have to be strong.

Tetap akan ada pengorbanan dari kitanya.

Menurut gue, setiap tempat pekerjaan punya plus-minusnya masing-masing.

Tergantung dari gimana value kita dan penilaian kita.

Tergantung juga sama ekspektasi bekerjanya juga sih.

(Tuh kan gak jauh dari soal ekspektasi lagi).

Kalo ekspektasinya cuma buat cari nyaman...gue rasa tempat pekerjaan yang paling nyaman sedunia pun tetap akan memberi lo ketidak-enakan dalam bentuk lain.

Kalo ekspektasinya cuma buat cari duit banyak...gue rasa tempat pekerjaan yang akan menggaji lo sampai lo jadi orang terkaya di dunia pun tetap akan ada hal menyebalkan di dalamnya.

Kalo ekspektasinya cuma buat nambah pengalaman...menurut gue semua tempat akan memberi kita banyak pengalaman kok.

Bahkan bisa aja nambah pengalaman di bidang yang gak kita duga-duga sebelumnya.

Tapi pastinya tetep aja ada hal-hal yang menjengkelkan buat lo pribadi.

Kesimpulannya buat gue pribadi: tentukan motivasi bekerjanya apa, cari pekerjaan apa yang menurut kita paling baik, pasang target pribadi, dan turunkan ekspektasi serendah mungkin.

Yang netral-netral dan simpel-simpel ajalah.

Gue sudah mengaplikasikan hal ini dalam sebulan terakhir dan gue ngerasa lebih lega pas dateng ke interview.

Karena gue memasang target, lakukan riset, tapi gak berekspektasi apapun.

Jauh lebih lega, guys.

Serius.

Kelima, pelayanan is about your heart and commitment.

Not (only) title-ing.

Segimanapun orang menilai lo itu begini dan begitu, seharusnya begini dan begitu, tapi kalau udah menyangkut pelayanan yang jadi hal penting adalah sikap hati di hadapan Tuhan and how well you treat people around you.

Bukan (cuma) status atau posisi.

Ada beberapa kesalahan yang gue lakukan di masa lalu, sehingga pelayanan yang gue lakukan justru membawa kekecewaan dan penyesalan buat diri gue sendiri.

Untungnya hal ini memang selalu jadi doa gue juga ke Tuhan.

Bahkan gue jadi sering minta ampun ke Tuhan karena gue sangat bobrok dalam hal komitmen.

Akhir-akhir ini, gue lebih minta tuntunan (guidance) dari Tuhan untuk hal yang bernama pelayanan ini.

I know what my talent is, I know what I am good at, but I haven't found--dan lagi cari tau juga sebenarnya--what my spiritual gifts are.

-----

NEXT CHAPTER OF BEING TWENTY-SIX

Photo by Ryan Spencer on Unsplash

Tulisan di blog gue kali ini bakal jadi saksi digital tentang apa yang sudah gue pelajari dari masa lalu, dan apa hal-hal yang mau gue aplikasikan ke depannya berdasarkan pelajaran-pelajaran tadi.

Kalo ditanya resolusi, mungkin jawaban gue bakal simpel aja sih.

Sesimpel menurunkan ekspektasi untuk segala hal, dan meningkatkan kepercayaan diri.

Simpel gue nulisnya, tapi pasti "berdarah-darah" praktekinnya.

PR banget buat gue yang seorang introvert dan seorang yang punya kepercayaan diri sangat rendah alias minder untuk bisa ngelakuin 2 hal di atas.

-----

Pagi ini gue mulai merenungkan beberapa hal tentang apa-apa aja ya yang harus gue ubah atau tingkatkan, khususnya soal karakter?

Menurut gue, aspek pertama pastinya tanggung jawab makin besar.

Gue harus mulai lebih berani ambil resiko.

PR untuk lebih bijak dan dewasa secara karakter juga makin besar.

I have a responsibility to make any ordinary and crucial decision.

Gue itu tipe orang yang cari aman.

Kalau bingung sama suatu pilihan, gue pasti akan nanya saran dari orang lain.

Nah, meskipun udah nanya saran sana-sini dan orang-orang udah ngasih suggest, at the end pasti tetep gue yang harus memutuskan dan gue juga yang harus menanggung resikonya.

Selama ini, yang kepikir di gue adalah kalo minta saran dari orang lain dan berharap supaya orang lain yang menentukan keputusannya atas diri gue, gue jadi bisa menyalahkan dia kalau terjadi sesuatu yang gak sesuai harapan gue.

Ya padahal harusnya gak gitu juga ya, bambang πŸ˜…

Enak banget kalo orang bisa lepas tanggung jawab gitu.

And I told myself: stop right there!

Take a risk, do not be afraid, for God always with me.

-----

Turning 26, I just want to start afresh new.

For everything.

There's a lot of regret & disappointment last year, so I think this is the time for me to start afresh new.

I don't have to prove anything to anyone, nor prove everything to everyone.

Because I'm sure that God knows everything.

This will be the most important for me.

Akhirnya, satu hal yang gue ingin nikmati di setiap hari ultah gue adalah: bersyukur dan refleksi diri.

Udah sejauh mana gue belajar dari pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, dan mengecewakan.

Udah sejauh mana sikap hati yang baik terpancar ke buah tindakan yang nyata (jadi kalo selama ini tindakan gue buruk ya itu berarti emang hati gue lagi gak baik).

Udah sejauh mana kehidupan gue ini jadi berkat buat orang lain dan bukan jadi batu sandungan.

Lalu gue juga merefleksikan (berdasarkan perenungan beberapa waktu terakhir ini) bahwa: ternyata kedewasaan karakter dan kebijaksanaan itu (bisa) tumbuh dari hal-hal yang gak menyenangkan dalam hidup.

Bukan dari hal-hal yang cuma bikin gue nyaman atau enaknya aja.

-----

So, it is not about present (kado) when it comes to my birthday--meskipun gue tetap bersyukur dan berterima kasih juga buat orang yang ngasih.

It is not about cake and candle--meskipun gue tetap bersyukur dan berterima kasih juga buat orang yang memberi.

It is not about Instagram post that matters--meskipun gak masalah juga kalo gue mau posting apapun karena pada dasarnya Instagram adalah tempat sharing.

It is not about expecting to receive many birthday wishes from everybody--meskipun gue tetap bersyukur dan berterima kasih juga buat orang-orang yang menyampaikannya.

As for me, it's about celebrating the maturity, and celebrating a sweet relationship with everyone.

It's about blessing--any kind of blessing, give thanks, and to be a blessing πŸ’“

πŸŽ‚πŸ’—

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN