#DiRumahAja 12 April 2020

Photo by Zoey Tian on Unsplash

Halaawwww...!!!

Eh, selamat Paskah yah buat kita semua yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Penebus dosa kita πŸ˜‡

Memasuki hari ke-sekian sekian sekian #dirumahaja, kali ini gue mau nyeritain sesuatu tentang apa yang gue alami hari ini.

---

Jujur, hari ini gue males banget ikut ibadah Paskah.

Se-males itu.

Penyebabnya apa?

Coba gue ingat-ingat dulu...

Sepertinya harus agak ditarik mundur sedikit dari apa yang gue alami kemarin.

Jadi, di hari Sabtu, 11 April 2020 kemarin gue abis video call-an sama temen-temen KTB gue.

KTB itu singkatan dari Kelompok Tumbuh Bersama; atau mungkin kalian lebih familiar dengan sebutan Kelompok Kecil (KK), atau komsel, atau apapun itu pokoknya sekumpulan kecil orang-orang yang berkomitmen mau bertumbuh kerohaniannya bareng-bareng di dalam Tuhan.

You name it.

Nah, di akhir percakapan kami, gue sharing sedikit tentang buku yang lagi gue baca.

Judulnya: Surrender To Love

Kek gini bukunya...




Buku ini mengajarkan banyak hal tentang kasih Allah, dan gimana kita sebagai manusia diundang untuk menyerahkan diri pada kasih-Nya.

Kurang lebih kayak gitu yang gue tangkep meski gue baru sampe bab 2 bacanya πŸ˜‚

Wait, tapi gini...

Gue bilang sama temen-temen KTB gue itu bahwa ini buku bagus banget ternyata.

Mungkin selama ini kita sebagai orang Kristen, sebagai anak binaan persekutuan, anak yang aktif pelayanan, lalala gitu-gitu, udah sering denger tentang konsep "kasih Allah".

Dan buku ini menurut gue pas lengkap banget memaparkannya secara detil dan terstruktur serta sanggup menuntun pembacanya untuk berefleksi secara pribadi.

Nah, gara-gara ada refleksi pribadinya juga, akhirnya gue menemukan sesuatu yang baru gue sadari (dan ini juga langsung gue share ke temen-temen KTB gue di vidcall tersebut):

Secara pemahaman, gue mengerti bahwa kasih Allah itu ternyata sebesar dan seluas itu.

God loves me no matter what.

God loves me even I'm a true and active sinner.

God loves me even I'm not that "good" and "nice" to be loved.

Okay, sampai sini paham.

Now what?

Terus kenapa?

Terus gue harus ngelakuin apa?

Nah, kebingungan ini lah yang akhirnya gue sadari bahwa gue ternyata saat ini sedang stuck hanya pada memahami kasih Allah.

Bukan mengalami secara pribadi.

Abstrak, membingungkan, dan ya...gue sendiri tidak sedang merasakannya/mengalaminya secara pribadi.

So, PR-nya saat ini adalah: gimana cara gue mengalami, merasakan, juga membuktikan kasih Allah dalam hidup gue?

Apakah cuma dengan cara menghitung-hitung berkat-Nya setiap hari?

Tapi kok kalau kasih Allah cuma dihitung dari berkat-Nya, kenapa gue harus juga ngalemin yang namanya penderitaan?

Kenapa akhir-akhir ini banyak sekali hal yang bikin gue sedih?

Kenapa Tuhan izinkan hal itu terjadi?

Katanya Tuhan sesayang itu sama gue?

---

Malamnya, gue gak terlalu bisa tidur.

Soalnya siangnya udah sempet tidur lama karena gue sempat mules dan demam.

Jadi malamnya agak sulit tidur.

Karena gak bisa tidur, jadi gue cuma melek aja dalam kegelapan.

Di tengah-tengah "melek dalam kegelapan" itu, gue tetiba ingin merenung sendiri.

Mumpung lagi sepi, gelap, dan cuma suara kipas angin sama jangkrik yang terdengar.

Gue bertanya-tanya dalam hati:

Tuhan, benarkah Engkau mengasihi aku sebegitunya?

Should You did that? That sacrifice-thing?

Kenapa harus Kau lakukan itu?

Emang Meista seberharga itu?

Untuk apa sih, Tuhan?

Lalu pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba mengingatkan gue pada peristiwa patah hati yang baru-baru saja gue alami.

Pertanyaan-pertanyaan baru kembali muncul:

Kalau Kau mengasihi aku, kenapa Kau biarinin aku sakit hati lagi?

Kenapa Kau biarinin aku patah hati lagi?

Sebenarnya Tuhan beneran hadir di antara relasi aku dan teman-temanku gak sih?

Engkau itu beneran ada di antara relasiku dengan dia gak sih?

Kenapa aku harus kembali jatuh pada ekspektasiku sendiri?

Kenapa aku harus mendapat kesempatan untuk mengasihi dia walau sebentar?

...dan masih banyak pertanyaan 'kenapa' yang akhirnya bikin gue nangis sendiri πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Gue nangis bukan karena kesedihan akibat patah hati.

Gue nangis bukan karena penolakan yang gue alami.

Tapi gue nangis karena gue baru sadar ternyata selama ini (atau lebih tepatnya akhir-akhir ini) gue cuma berelasi sama Sang Pencipta hanya sebatas pengetahuan.

Bukan mengalami secara pribadi.

Ada rasa ketidakpuasan yang bikin gue sakit kepala.

Jadi mungkin kalo bisa digambarkan kayak: gue 'menciptakan' seperti apa dan bagaimana image Tuhan itu di dalam pikiran gue.

Dan bersyukur buku yang lagi gue baca itu menyadarkan gue bahwa Sang Pencipta tidaklah seperti itu.

Dia bekerja seturut dengan cara dan kehendak-Nya, dan gak ada satu manusia pun yang bisa plek-plekan membayangkan atau menciptakan sendiri Tuhan tuh kayak apa.

Oke, balik lagi ke masa-masa nangis gue di malam kemarin...

Jujur sebenarnya gue jadi agak setengah marah juga ke Tuhan.

Marah karena: kok gue gagal sih mengalami Tuhan secara pribadi?

Aku sakit kepala loh, Tuhan, cuma tahu Engkau hanya dari sebatas pengetahuan doang tapi enggak ngalemin secara pribadi dalam hidup.

...dan ini doa yang cukup gue highlight dan mencapai titik menangis pada puncaknya:

Kalau Engkau beneran hadir dan ada di tengah-tengah relasiku dengan teman-temanku, dengan keluarga, dengan siapapun itu, can You show me?

Karena aku gak ngelihat itu.

Aku ngerasa sendirian ketika menjalani setiap relasi dengan siapapun itu.

Dan ketika aku kecewa, bawaannya aku ingin menarik diri sejauh-jauhnya dari mereka yang mengecewakanku, dan berharap tidak pernah bertemu lagi.

Di situ gue makin nangis, dan entah mengapa, setelah nangis-nangisan tanpa suara itu...hati gue jadi plong dengan sendirinya.

Membingungkan sih, tapi...ya bener itu yang terjadi.

Tiba-tiba gue tenang, lebih kalem, pikiran gue yang tadinya juga masih sibuk, kusut, dan kocar-kacir sana-sini jadi lebih mereda.

Enggak, enggak, gue gak sampai melihat mujizat atau hal-hal dahsyat yang di luar nalar apa gimana.

Enggak, biasa aja.

Suara jangkrik masih berbunyi, suara kipas masih nyala, lampu di kamar masih gelap, orang tua sama adek gue juga masih pada tidur nyenyak.

Cuma 1 yang berubah: gue jadi lebih tenang.

I don't know how.

Tapi 1 hal yang gue percaya dan imani adalah: saat itu Tuhan sedang mendengar doa gue.

Gue memang belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan 'kenapa' yang banyak itu (atau mungkin bisa aja gak akan terjawab sampai kapanpun), tapi gue yakin banget bahwa di saat itu Tuhan tenangin hati gue.

Nah, karena udah tenang, gue kembali sadar bahwa gue gak bisa tidur, akhirnya gue nonton film yang ada di koleksi harddisk gue.

Gue memilih nonton film Inside Out.

Gak ada alasan tertentu sih milih nonton film ini.

Gue cuma suka aja, dan filmnya kan ringan gitu, nyeritain tentang kehidupan emosional yang ada di dalam diri manusia (Joy, Sadness, Anger, Fear, Disgust).

Habis nonton, gue mulai ngantuk, dan singkat cerita akhirnya gue bisa bobo nyenyak.

---

Memasuki hari Minggu Paskah 12 April 2020...

Bangun-bangun gue kembali mengingat apa yang terjadi semalam.

Lha gue napa yak? Oh iya, abis mengutarakan kekecewaan kepada Sang Pencipta.

Terus...ya gitu, gue hari ini jadi ngerasa males ikut ibadah Paskah.

Gini, gini, yang ada di dalam benak gue adalah: aduh, gue udah tau lah ibadah Paskah gitu-gitu, sama aja dari taun ke taun, apanya yang beda sih.

Gue juga tau dan paham kok esensi Paskah, sejak Jumat Agung, itu kayak gimana, udah paham.

Sekarang gue cuma butuh refleksi diri aja dari Paskah ini Meista harus gimana?

Akhirnya, untuk mengisi hari Sabat Paskah ini, gue memutuskan untuk ikut ibadah Paskah di salah satu gereja via Youtube sekitar jam 11-an, nulis blog kayak yang sekarang gue lakukan, sama baca buku (orang tua dan adek gue udah ikut ibadah online duluan yang diselenggarakan oleh gereja tempat kami terdaftar sebagai jemaat).

...and that's what I'm doing rite now.

Enggak, enggak, gue tidak mau menilai ibadah yang di tempat satu lebih baik dibandingkan ibadah yang di tempat lain.

Gue percaya kok setiap penyelenggara ibadah pasti sudah mempersiapkan diri masing-masing buat melayani jemaat.

Cuma dalam hal ini gue ngerasa punya pilihan aja untuk menentukan lebih ingin beribadah Paskah di mana.

Terus, di masa-masa gue merenung sendiri sepanjang hari ini, gue akhirnya ngeh bahwa: bentuk nyata kasih Allah untuk manusia bukan cuma diukur dari banyak-sedikitnya berkat doang, tapi ada sukacita dan damai sejahtera sendiri yang gak bisa dideskripsikan dengan apapun.

Karena itu hanya terjadi di dalam hati pribadi, dan cuma dirinya sendiri yang tau.

Sama kayak ketika gue nulis tulisan ini.

Kenapa gue bisa menuliskan hal ini ya karena gue yang mengalaminya sendiri.

Orang lain bisa aja gak ngerti, dan itu gak masalah buat gue.

You don't have to be understand what I'm saying here.

Namanya juga blog pribadi, jadi isinya ya segala hal yang terkait dengan isi pikiran, hati, dan hidup gue.

Hmmmh...begitulah.

---


Photo by Christiana Rivers on Unsplash

(So what will I do next?)

Hmmm...ya menjalani kehidupan seperti biasa aja.

Ya kerja #wfh, mandi, makan, tidur, nonton, baca buku, main game, ngobrol sama keluarga, chattingan sama temen, main Instagram, video call-an sama orang-orang, gitu-gitu dah.

Ya seperti biasa aja.

Dan puji Tuhan banget hari ini semenjak hati dan pikiran gue sudah lumayan sangat tenang, gue jadi gak terlalu banyak mikir.

Gak terlalu banyak mikir dalam artian gue gak overthinking lagi dalam hal apapun.

Inilah sulitnya jadi orang yang overthinking + quite planner.

Jadi gue cenderung untuk membuat 'benteng pertahanan diri yang terlalu tinggi' dalam menghadapi sesuatu hal yang mungkin akan negatif, padahal hal tersebut saja belum terjadi.

Contohnya gini deh biar kalian gak bingung:

Ketika ada konflik relasi, misalkan gue ada masalah nih dengan kalian secara pribadi, gue akan duluan mengutarakan sesuatu yang jauh lebih ngegas ke kalian sebelum kalian yang "nyerang" gue dengan kata-kata kalian.

Paham gak maksudnya? πŸ˜…

Hal ini gue lakukan untuk mencegah gue tersinggung, atau sakit hati.

Ini gak baik sih.

Gue jatohnya nge-judge kalo kayak gitu.

Dan ini sudah terjadi dengan salah satu teman gue.

Dan hal kayak gini gak terjadi dalam aspek relasi pertemanan saja, tapi juga di aspek-aspek kehidupan gue yang lain macem pekerjaan dan pelayanan.

Haduh, pusing dah gue pun kalo udah overthinking.

Rasanya capek sendiri.

Cuman di sini akhirnya gue jadi belajar, bahwa it's oke kok untuk ngadu ke Tuhan.

Sangat tidak apa-apa kok kalau merasa kecewa dengan Tuhan.

Gak apa-apa banget kok untuk ngerasa sedih dan melempar semuanya itu dalam doa ke Tuhan.

Kita mungkin gak bisa dapetin jawaban sesuai sama apa yang kita mau, tapi dari apa yang gue alami tadi malam, Tuhan yang akan tenangin badai dalam hidup kita (khususnya buat kasus gue: Tuhan yang tenangin badai di hati sama pikiran gue yang overthinking ini).

Di sinilah gue membuktikan bentuk kasih Allah itu seperti apa.

Beyond our imagination.

Gak, gue gak mau debat kusir mempermasalahkan soal teologia, atau agama, atau apa.

Asli, gue gak jago dan gak pinter.

Gue cuma mau mengutarakan isi hati dan menyampaikan apa yang gue alami sendiri dengan Sang Pencipta.

Dan gue percaya bahwa Sang Pencipta itu ada, nyata, dan Roh Kudus-nya hadir bersama kita.

---

Gituuuuhhhhh, gaes!

Hehehe, makasih yaaa udah baca sampai sini! 😊

Kiranya memberkati teman-teman semua πŸ™Œ

(Boleh lhooo tinggalkan komentar kalian via DM IG pengalaman-pengalaman kalian yang lagi dialami akhir-akhir ini bersama Sang Pencipta πŸ˜‰)

God bless us all! πŸ’“

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN