Menemukan Makna Seru dari Pemuridan

Hari ini gue seneng banget karena ketemu salah satu adik kelompok mentoring setelah kurang lebih 3 bulan berkomunikasi secara onlen. Sebenarnya senengnya campur-campur sih. Selain karena bertemu dia yang adalah kenalan baru, gue juga jadi ada temen kerja dan ngobrol bareng sepanjang hari ini. Kebetulan memang hari ini lokasi kerja gue lagi enggak di kantor pusat, melainkan di salah satu kafe yang memang itu tempat kerja gue juga. Bisa duduk, ngeleptop, makan-minum, ngewifi, dan dekat colokan.

Sungguh tipikal bekerja "kantoran" ala milenial jaman now banget yekan yang dicari wifi-colokan-cemilan. Wkwkwkwk 😆

Btw sebelum gue bacot lebih lanjut, gue mau bikin klarifikasi dulu sebelum dihujat atau dipertanyakan netijen kenapa bisa muncul ide ketemuan tatap muka padahal segala sesuatu lagi dikerjakan dan diperjuangkan secara onlen demi mengurangi penyebaran virus koronski.

---

Ketemuan hari ini bisa dibilang kebetulan yang enggak kebetulan--nah gimana tu jadinya. Pusing kan 😂😂😂

Jadi gini. Selain berkomunikasi dalam kelompok mentoring, gue pribadi juga sesekali ngobrol dengan adik-adik mentee via personal chatIt's my type, bahwa gue lebih senang mengenal seseorang secara personal instead of cuma selewat doang di grup (oke nanti gue akan cerita lebih lanjut tentang ini). Nah, dalam suatu percakapan personal di Whatsapp...:

Dia (D): "Skrng kerja di khun thai tea kakk ?"
Aku (A): "iyess deek. memang aku di sini sejak awal 2020 kemaren hehehe"
D: "Ohh emg disitu, traktir minum kak wkwkw"
A: "Ayok main ke outlet yg di panglima polim! Pas kamu lg weefha aja dek. Bawa laptop kalo mau, kerja di situ hahaha. Soalnya ada tempat duduknya (emang didesain buat nongkrong sii)"
D: "Bolehh kakk, masi terjangkau lah ya panglima polim wkwk. Rabu kli ya kak. Tp ganggu kak mei gak nanti 😅"

I emphasize that "Rabu" karena se-kebetulan itu gue pun lagi dapet jadwal ngantor di kafe tersebut hari Rabu. Padahal awalnya gue pikir kita harus cari waktu kosong yang mungkin bisa entah minggu depan, atau 2 minggu lagi, atau bahkan bulan depannya, atau cari waktu di akhir pekan / tanggal merah, gitu-gitu deh. Eh, ternyata hari Rabu ini mempertemukan kita #eaa. I don't want to take this coincidence for granted, hahaha. 

GITU. Jadi pemicunya memang se-random itu aja, gaes. Ada aha-moment yang terjadi terus...yaudah. Gaspol aja. Tentuuuu...jangan khawatir karena kami paham dan menerapkan cara untuk memproteksi diri kami sendiri alias IYA IYA PROKESNYA DIJALANIN KOK IYAAA (jadi ngegas 😂😂😂).

Lalu apa sih urgensinya sampe harus ketemu tatap muka segala?

Seperti yang udah gue singgung sedikit di atas, bahwa gue tipikal orang yang lebih senang kenal orang lain lebih personal, ketimbang cuma selewat doang di grup atau sebatas karena lagi ngerjain project bareng, pelayanan bareng, atau apapun bareng. Gue menaruh meaning dan value lebih terhadap relasi personal. Sama siapapun ya. Itulah sebabnya gue memang terlihat lebih pendiam di grup chat manapun, tapi gue lebih "berisik" jika sudah berkomunikasi antar pribadi. Jadiii, ketika aha-moment ini terjadi, gue dengan senang hati menyambutnya yekan. Dan kini menunggu sambil berharap aha-moment itu terjadi kembali dengan anak-anak mentoring lainnya yang belum pernah ketemu tatap muka 😊


***


Oke, berbicara tentang kegiatan mentoring yang sedang gue jalani bersama beberapa adik mahasiswa tingkat akhir ini membuat gue tersadar akan proses-proses yang membawa perubahan pada diri gue. Waktu persiapan dan briefing mentor bulan Januari lalu, gue inget banget salah satu bagian yang nyangkut di kepala adalah bahwa "...mentoring ini adalah salah satu bentuk pemuridan juga bagi adik-adik mahasiswa yang akan lulus dan memasuki dunia alumni."

Tahun 2013 adalah tahun pertama gue denger kata "pemuridan".

Apaan sih pemuridan itu?

Kenapa harus ada Kelompok Kecil di dunia ini?

Buat apa ada kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa orang yang bahas Alkitab bareng-bareng?

Emang gak bisa sendiri aja belajar Alkitabnya?

Bukannya itu kegiatan yang makan waktu ya?

Emang gak cukup ikut ibadah besar doang sekali seminggu? (Sekarang malah 2x seminggu lantaran nambah juga di hari Jumat buat ikut PJ)

...dan beberapa keheranan lainnya yang mendera kepala ketika saat itu gue diminta mendoakan pelayanan sebagai seorang Pemimpin Kelompok Kecil (PKK).

Kenapa harus gue sih? Gue kan gak aktif di PO (Persekutuan Oikumene).

Singkat cerita, setelah berupaya ngedoain dalam jangka waktu berapa lama gitu, sambil didampingi dan dibimbing kakak-kakak senior, masih di dalam berbagai kebingungan dan ketidaktahuan dan ke-tidak ada visi-an, akhirnya gue menerima pelayanan sebagai PKK hanya karena gue senang ketika lagi sesi Kelompok Kecil (KK) bareng PKK gue--sebut saja namanya Kak Niar (nama sebenarnya). Bagi gue, Kak Niar adalah sosok kakak sekaligus pemimpin yang ngemong banget, perhatian, dan sabar. Buat gue yang gak punya kakak rasanya melting banget diasuh kek gini kan, hahaha. Jadi ketika gue yang mendapat giliran untuk memimpin, ya trigger-nya cuma karena liat teladannya Kak Niar doang. As simple as that. So I guess, I think, I should do the same for the others. Gitu pikiran gue waktu itu.

Sampaiiii.....I realize that I have no idea at all ketika ngejalanin pelayanan itu waktu di kampus. Apa yang gue lakukan dan kerjakan semua berdasarkan instruksi, template, dan "target" dari pengurus aja. Jangankan berbicara soal visi, gue aja kadang gak ngerti sama apa yang gue lakukan. Beneran. Pembinaan demi pembinaan memang gue ikutin. Disuruh baca buku dan ngerjain tugas pun, gue lakukan--meski gak mudeng juga gitu karena bagi gue bukunya abstrak dan berat untuk dipahami 😂. Tapi ya yaudah gitu, saat itu gue hanya ngejalanin peran dan lakukan apa yang 'harus' gue lakukan , tanpa ngerti kenapa gue harus melakukan pelayanan itu.

Seiring dengan berjalannya waktu, ups & downs tentu terjadi. Gue terjerat dalam membanding-bandingkan kelompok sendiri dengan kelompok lain. Kelompok Kecil lain terlihat lebih baik menurut pandangan gue. Pemimpin dan anggota grup kompak, terlihat sama-sama komitmen dan semangat, dan ketika pembandingan itu terjadi, di situ gue merasa gagal--ini emang penyakit gue sampai sekarang deh suka ngerasa diri gagal mulu.

Gue ngerasa gagal karena waktu itu cuma 2 anak di kelompok gue yang bertahan sampai kami semua lulus kuliah. Itupun kami enggak selesai membahas satu buku karena udah keburu sibuk masing-masing. Gagal karena bahas bukunya gak tuntas namun di sisi lain gue tetap sukacita karena at least masih mempertahankan komunikasi dan relasi di dalam pertemanan kami bertiga.

Oh iya ngerasa gagal juga karena gak berhasil menciptakan relasi dengan adik-adik lainnya yang harusnya masuk ke dalam kelompok gue--kalo gak salah dulu gue dikasih 5 adik angkatan 2013, terus tahun depannya juga gue sempet diperbantukan untuk megang 4 atau 5 adik dari angkatan 2014 gitu, lupa. Cuman ya tetep yang bertahan relasi pertemanannya sampai sekarang hanya dengan 2 adik angkatan 2013 ini, dan 1 adik angkatan 2014.

---

Makin sibuk masing-masing, gue dan mereka semua udah makin jarang bertemu bahkan berkomunikasi. Kadang sesekali aja saling sapa di media sosial. Sampai pandemi datang di tahun 2020 dan itu entah mengapa mengubahkan banyak hal di diri gue. Termasuk menambah pemahaman dan mindset gue terkait makna seru dari pemuridan.

Salah satu aktivitas yang makin gencar gue lakukan di tahun 2020 saat itu adalah baca buku. Secara kebanyakan karantina di rumah doang yekan. Lambat laun, gue sadar bahwa baca buku itu salah satu part penting di dalam pertumbuhan pribadi gue. Terus gue juga jadi ngeh bahwa gue gak bisa bertumbuh sendirian. Rasanya kayak capek dan kesepian aja gitu. Sempat mencoba diupayakan kembali belajar bareng kelompok tumbuh bersama (KTB) bareng temen-temen seangkatan, gue malah berantem sama mereka. Berantem karena gue sadar ternyata kami semua sudah punya jalan hidup masing-masing dan kondisinya udah gak sama lagi kayak waktu di kampus dulu. Apa yang gue ekspektasikan di kepala sebelumnya malah gak terjadi. Nah seiring dengan pengenalan yang lebih dalam terhadap diri sendiri, gue juga jadi ngeh kalo gue orangnya menjunjung tinggi relasi personal. In short, I left that group, and I start to rebuild our relationship with each of them. Yang gue sadari adalah mungkin karena gue dan mereka makin deket, jadi makin berasa kek keluarga, meski dengan jalan hidup yang berbeda, jadinya konflik relasi pun makin aduhai syalala.

We're cool, we're fine, namun gue tetap haus mencari komunitas kecil untuk sama-sama belajar Firman bareng. Singkat cerita gue menghubungi temen yang jadi pengurus di salah satu persekutuan alumni gitu untuk mencari posibilitas apakah gue masih boleh dan bisa join small group-nya di sana. Menunggu kurang lebih sekian bulan, akhirnya keinginan tersebut terjawab di awal tahun 2021. Gue kembali join di sebuah persekutuan kecil bersama teman-teman baru yang punya kerinduan yang sama untuk belajar Firman bareng, bertumbuh bareng.

Teruuus...oh ya masih di tahun 2020, gue terlibat secara iseng di start-up project-nya temen gue yang bergerak di bidang mentoring. Visinya cuma 1: nolongin dan membimbing para fresh graduate dalam mencari kerja atau ketika mereka baru aja terjun ke dunia kerja. Gue pegang 1 adik dari Cimahi waktu itu, dan entah mengapa rasanya seneng aja gitu bisa dampingin dan bimbing orang lain melewati kebingungan-kebingungannya dia dan mencari jawabannya bersama.

Gak lama setelah kegiatan mentoring yang ini, tiba-tiba gue diajak untuk terlibat juga di kegiatan mentoring lainnya oleh salah satu lembaga pelayanan mahasiswa Kristen--sebut saja nama acaranya Pre-Graduation Session and Mentoring (PGSM).

Baru 3 bulan mengikuti acara PGSM ini sejak Januari 2021 namun udah buaanyaakk banget hal-hal yang gue pelajari dan alami. Sejak gue paham bahwa pertumbuhan pribadi adalah tanggung jawab diri sendiri, di situ gue sadar bahwa bertumbuh sendirian itu gak mungkin. Bisa sih, tapi kayaknya gimanapun juga kita tetep butuh komunitas deh. Besar atau kecil. I think being alone is not good for our growth. Ini sih hal yang mendasari dan mendorong gue untuk mau ikut terlibat jadi mentor di PGSM, simply because I know how it feels to be alone. Dan gue salah satu orang di dunia ini yang gak ingin orang lain ngerasa hal serupa.

Kedua, gue akhirnya paham bahwa pemuridan itu esensi utamanya adalah Christ-likeness. Keserupaan dengan Kristus. Dari tujuan utama ini, ternyata topik bahasan setiap kelompok juga bisa beda-beda. Kalo yang gue ikutin di PGSM ini memang lebih fokus ke belajar tentang panggilan hidup di bidang pekerjaan profesional. Terus kalo yang di grup KTB baru ini kami lagi belajar tentang "Uang dan Pekerjaan". Topik bahasannya bisa beda-beda, namun dengan tujuan dan esensi yang sama: Christ-likeness (hooo gitu ya. Yayaya, kataku dalam hati).

Ketiga, hal yang mendasari kegiatan pemuridan itu sendiri adalah relasi dan komunikasi. Pemuridan gak hanya berhenti di kegiatan bahas bahan / bahas buku / baca buku bareng doang ternyata, tapi ada proses berelasi dan mengenal lebih dalam oleh para anggota kelompoknya. Sejak gue mengalami proses mengenal diri sendiri, gue jadi makin tau bahwa gue sebenarnya people-person. Sangat berbanding terbalik dengan statement yang sering gue gaungkan dulu waktu kuliah bahwa, "Aku tuh susah kenal dan deket sama orang baru!". Nyatanya kini sungguh jauh sangat berbeda, wkwkwk. Gue gak ngerti juga sih sama proses-proses yang terjadi. Tapi yah yaudalah ya, kasih anugerah Tuhan ternyata lebih dari cukup untuk mengubah seorang Meista yang keras kepala--sampe sekarang masih keras kepala juga sih kadang, wkwk--menjadi dia yang bersedia melembutkan hati untuk mau terus belajar dan dipimpin. Penemuan terhadap diri sendiri pun juga malah membawa gue menikmati proses berelasi dengan adik-adik grup mentoring di PGSM dan juga KTB baru. 

Just let's see and enjoy everything that God has given to me right now. Gimanapun juga, segala sesuatu yang gue alami dan miliki hingga kini semata-mata cuma karena anugerah pemberian Tuhan, bukan sesuatu hal yang gue usahakan atau harus gue genggam erat. Pun jika ada andil usaha gue, I shouldn't take any credit of it. Cukuplah. Yang penting bisa sama-sama menikmati hidup dan ngejalanin peran masing-masing biar jadi berkat satu sama lain.

Meista & Wilsa

...aaannddd thanks to one of my kiddos who inspires me to write this down, hahahaha 😄. Asli ini pengalaman pertama kalinya sih kenal orang baru lewat layar baru abis itu ketemu tatap muka. Dulu mana mau gue terlibat di yang begini-beginian. Udah menghindar duluan pastinya. Gue lebih milih ketemu in person dulu baru intens berkomunikasi via layar/onlen. Memang ya pandemi ini mengubah banyak hal :""")

How great Thou art! đŸŒŸ

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN