Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

Photo by Davies Designs Studio on Unsplash

I lost my job.

I "lost" my good friend.

-----

I lost my job, di tengah-tengah gue mulai merasa nyaman dan tahu apa yang harus gue lakukan sebagai bentuk kontribusi pada perusahaan.

Namun nyatanya gue harus menghadapi kenyataan bahwa situasi dan kondisi perusahaan tak memungkinkan untuk dilanjutkan kembali.

Gue tak bisa bilang 'pailit', 'bangkrut', atau apalah itu namanya.

Kondisinya tak seperti yang dikira pada umumnya, pokoknya intinya di posisi guenya gue lebih baik menarik diri dan 'meliburkan diri'.

Sedih, iyalah jelas.

Udah ketemu temen-temen yang nyaman, seru, asik, mengasah karakter gue untuk makin ngerti karakter mereka juga, tetiba jengjeng kita libur sama-sama.

Insecure, iyalah, gue manusia normal yang perlu mencukupkan kebutuhan sehari-hari.

Minimal untuk diri gue sendiri dan keluarga di rumah.

Sedih, belum genap setahun gue berada di sana.

Target malah 3 tahun, tapi harus berakhir di sini.

Baru 6 bulanan lebih.

-----

I "lost" my good friend; bukan yang kehilangan begimana-begimana sih.

Yang ini gue susah nyeritainnya, intinya gue kembali mengalami apa yang pernah gue alami di masa lalu.

Entah ya, gue mungkin lebay kalo suka atau mengasihi seorang teman laki-laki.

Entah mungkin jadi ganggu, annoying, apa gimana gue gak ngerti.

Padahal gue udah berusaha jadi diri gue apa adanya.

Padahal gue hanya ingin memberi apa yang bisa gue berikan.

Gue juga gak sampe yang berjuang begimana-begimana kok, biasa aja.

Dan fakta lainnya adalah: ya memang gue nyaman berteman sama dia.

Tapi ketika fakta berbicara lain, ketika yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan, ya gue bisa apa.

Ketika harapan mulai bertambah, apa daya jika ternyata gue memang tidak se-spesial itu.

Kegeeran aja guenya.

Ketika harapan makin bertambah, ternyata gue salah.

Ya keulang lagi deh apa yang pernah gue alami di masa lalu.

Hancur.

Gara-gara ekspektasi dan harapan hati yang (mungkin) terlalu tinggi.

Yaudalah, mau diapain.

Hati orang gak bisa dipaksakan.

Dan gue sempet lupa lagi bahwa dia sedang menyukai dan mengasihi orang lain.

Salut sih sama kegigihannya.

Beruntunglah kamu wahai perempuan yang entah kukenal atau tidak.

Di sinilah gue kudu mulai melepaskan dan melupakan.

Gue pernah cerita sama temen gue, bahwa somehow yang bikin gue sedih atau nangis, bahkan sampai saat ini, adalah bukan karena gue "ditolak" (tolong jangan salah paham, posisi gue tidak sampai yang menyatakan ya. Gue hanya bertanya, dan jawaban dia gue simpulkan sebagai "penolakan").

Gue udah pernah ngalemin penolakan kek gini kok, udah tau juga rasanya.

Tapi yang bikin gue sedih atau kadang nangis lagi adalah gue harus melepaskan dan melupakan bahwa gue pernah mengasihi dia.

Mungkin kalo gue di posisi orang lain yang melihat kondisi gue ini, gue bisa aja menasehati diri sendiri like:

"Yaudah sih Mei move on aja. Belum pacaran ini kan. Jangan sedih-sedih amat lah."

Ya ya, gue tau jawabannya harus move on, tapi untuk karakter diri gue yang seperti ini, move on bukanlah perkara mudah.

Iya gue tau gue belum memasuki tahap pacaran, gue pun sadar kok akan hal ini.

But it doesn't mean gue juga dengan segampang itu menghilangkan, melupakan, dan melepaskan apa yang pernah gue rasakan, yang pernah gue lakukan buat teman gue ini.

Kalo gue pikir-pikir lagi, kadang gue ngerasa bodoh sendiri sih kenapa gue harus sebegitunya.

Tapi di sisi lain, gak bohong gue beberapa kali tetiba terdorong untuk mendoakan si teman ini.

Kalo udah kayak gitu gue bisa apa?

Sering kok gue denying diri gue sendiri.

Tapi ya gak bisa.

Dan sekarang ya akhirnya gue membodoh-bodohi diri gue sendiri.

Mungkin gue salah bergumul.

Mungkin gue salah berdoa.

Mungkin gue salah motivasi.

-----

Well, 2 hal tersebut terjadi hampir bersamaan dalam beberapa pekan terakhir ini.

Sedih.

Sedih banget.

Kadang pengen banget mencoba tegar dengan menguatkan diri sendiri kayak:

Yaelah Mei baru gini doang udah segitu galaunya.

Biasa aja kali.

Apa yang lo alemin belum berat-berat banget tau.

Jangan lebay kalo dapet masalah.

Yah begitulah, terjadi peperangan batin.

Tapi gue gak bisa bohong kalo kesedihan ini emang berasa banget.

Bersyukurnya adalah, gue sadar gue harus lari ke mana ketika semua ini terjadi.

TUHAN.

No other way.

Gue nangis-nangis pas ngedoain kondisi ini.

Gue minta Tuhan menolong gue untuk bisa menghadapi situasi dan kondisi yang menyedihkan ini.

Gue ngaku ke Tuhan kalo kecenderungan gue untuk self-pity dan membandingkan diri sendiri dengan kehidupan orang lain sangat besar.

Gue ngaku kalo gue suka iri sama temen-temen gue yang udah nikah, berkeluarga, punya anak, sedangkan gue sendiri masih gini-gini aja.

Punya temen cowok yang nyaman, tapi ternyata ya begitu.

Enggak, gue gak mau nyalahin dia apa gimana.

Gak paham juga gue letak salahnya dia di mana.

Ini persoalan hati aja.

Dan persoalan ekspektasi gue pribadi yang kadang emang masih bermasalah.

Sedangkan hati orang kan ya memang gak bisa dipaksakan.

Bersyukurnya lagi, selama gue gegalauan beberapa hari terakhir ini, gue ditemani beberapa lagu yang bisa mewakili hati gue untuk menyampaikan penyembahan gue ke Tuhan dalam kondisi hati yang lagi hancur.

Entahlah ya, mungkin kondisi hati hancur kayak gue sekarang ini malah bikin gue bisa makin menyembah Tuhan lebih sungguh-sungguh lagi.

Ada 4 lagu yang gue nikmati sampai saat ini:

  • "Imanuel" - JPCC Worship
  • "Dengan Apa Kan Kubalas" - Symphony Worship
  • "Engkaulah Kekuatanku" - Robert & Lea
  • "Still" - Hillsong Worship
Gue masih gak ngerti Tuhan sedang ingin menyampaikan apa di fase hidup gue yang sekarang ini.

Mana ini lagi mau menyambut Natal ya kan.

Tapi satu hal yang gue sadari adalah: gue sedang diajar untuk berserah.

Sama seperti yang ada di lirik lagu "Still", bunyinya kayak gini:

I will be still, and know You are God.

Mungkin selama ini gue masih "maksain" kehendak-kehendak gue ke Tuhan biar terjadi di hidup gue.

Baik itu soal karir/pekerjaan, dan soal cowok juga.

So, sekarang ya gue lagi coba terapkan gimana sih yang namanya berserah itu.

Berusaha untuk mengandalkan Tuhan lebih lagi dalam menjalankan kegiatan apapun itu.

Meminta pertolongan Tuhan untuk peka sama apa yang Dia mau gue kerjakan.

-----

Seperti itu, gaes.

Terima kasih sudah mau membaca sampai sini :")

Oh ya, mungkin buat Friendtizen yang belum tau, gue tipe orang yang makin jujur mencurahkan isi hati dan pikiran itu melalui tulisan.

Apalagi gue orangnya melankolis begini ya kan.

Bahkan, berdoa aja gue sambil nulis, lho (ya tapi gak di blog atau IGStory juga sih, wkwkwk. Nulisnya di note smartphone yang bisa digembok).

Beneran.

Ni kalo gue mau gue bisa loh nulis nama orang yang gue ceritain di tulisan gue kali ini.

Tapi enggaklah.

Gue menghargai privasi dia.

Beberapa dari kalian pasti udah tau siapa yang gue maksud.

Diem-diem aja ya.

Jangan dicengin.

Dia gak suka dicengin.

-----

"Dengan apa kan kubalas segala kebaikan-Mu?
Segenap hatiku menyembah-Mu, Yesus
Ku bersyukur pada-Mu
Selamanya..."

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN