Takut Ditinggal dan Takut Kehilangan




Takut kehilangan relasi.

Takut kehilangan kasih sayang dari orang-orang terdekat.

Takut kehilangan kepercayaan dari orang-orang di tempat kerja.

Takut kehilangan pekerjaan.

Takut kehilangan diri sendiri.

Takut kehilangan komunikasi dengan orang-orang yang dikasihi.

Takut kehilangan momen bersama orang-orang yang dikasihi.

Takut ditinggalkan.

Takut dijauhkan.

Semuanya dimulai dengan kata: "takut".

-----

Rabu, 10 Agustus 2022

Hari ini lagi minta izin WFC (Work From Cafe) karena mau ketemu temen dekat yang dalam pekan ini akan berangkat ke negeri Paman Sam untuk studi lanjut. Dia adalah salah satu orang yang "gue pilih" untuk menunjukkan sisi ter-rapuh dan terlemah gue, and thank God kita berdua sama-sama memilih untuk tumbuh bersama sebagai saudara dalam Kristus (terima kasih pemuridan kampus yang mempertemukan kami! Bertemu dengan Christiani Sagala dan Kak Masniar Elysabahtini menjadi salah satu warna terindah dalam hidup gue karena lewat kelompok kecil ini gue diizinkan untuk kenal Kristus dan merasakan kasih-Nya lewat mereka berdua. This is why gue akan selalu punya "utang budi" sama persekutuan kampus yang Tuhan pakai untuk membentuk gue menjadi gue yang sekarang--yang brengsek tapi dikasihi sama Owner).

As usual, setiap ketemuan sama dia kami tidak pernah tidak melakukan deep talk yang sangat amat super natural. We both know our strengths and weaknesses each other, jadi kayak...obrolan juga udah kek ngalir aja gitu. Macem jodoh, cuman ini dia cewek, wkwkwk. Sister ❤️

Singkat cerita, kami menceritakan masing-masing apa yang lagi terjadi pada hidup kami. Hingga pada suatu titik di mana Chris mengajukan pertanyaan yang selalu bikin gue jawabnya lama:

"Hey...what happened to you? Overwhelm-kah dengan begitu banyak hal terjadi dalam waktu bersamaan?"

Perlu diingat bahwa pertanyaan "what happened to you" itu bukan mengarah pada konteks sekadar kabar, kondisi emosi, no. Tapi maknanya lebih kepada "Apakah ada hal yang pernah terjadi di masa lalu yang membuat lo merasakan apa yang lo rasakan sekarang?"

Merenung dan mengingat ke belakang dalam sekian menit...apa yang terjadi akhir-akhir ini ternyata berakar dari segala ketakutan yang gue list di atas. Implikasinya, gue jadi orang yang sangat mudah melakukan pelarian diri. Gue sudah berkali-kali "kabur" atau "melarikan diri" dari banyak hal, termasuk relasi, yang seringkali bikin orang-orang terdekat gue heran dan bingung. Even some of them asked me like: "Are you punishing us by left us?". Yang lain ada juga yang mengatakan: "Gue sedih ketika lo ninggalin kami, tapi entah kenapa dalam hati gue ada keyakinan lo akan balik ke kami."

Hal serupa baru saja terjadi akhir-akhir ini dengan komunitas kecil lain yang Tuhan anugerahkan. Dan pertanyaan Chris hit me right on the spot: "What happened to you?"

When I left people, percayalah tendensinya bukan karena gue benar-benar ingin tidak berada di sana. Pertama, ketika lagi berada dalam emosi marah, gue merasa memang tidak ingin bertemu/berkomunikasi dengan orang yang berkonflik dengan gue. Why? Gue sedih dan kesel sama diri gue sendiri kalo gue marah sama orang. Self-blaming-nya gede banget, jujur aja. Like: "What have you done, Meista? Why did you do that to them?". Kedua, ketika akhirnya pikirannya campur aduk gitu, pilihan untuk kabur menjadi paling memungkinkan karena gue takut gue yang ditinggalkan karena gue berkonflik sama mereka.

Well, ini sebuah logika yang aneh dan terbalik memang. I left people because I do worry they will left me when I'm on bad condition (for example: angry, upset, disappoint).

Thank God ini sebuah penemuan yang sepertinya memang perlu gue urusin. Chris sempet nanya: "Lu tuh gak pernah ya kalo marah sama orang tuh ya langsung marah-marah aja gitu di depan dia? Langsung konfrontasi, adu mulut di tempat gitu, pernah gak?"

Gue jawab: "Gak pernah, Chris. Cara gue konfrontasi biasanya diawali dengan merenung dan mengajukan pertanyaan "Kenapa" ke diri sendiri. Kenapa gue kesal? Kenapa gue marah? Dan reaksi pertama ketika emosi itu muncul adalah: nangis." That's why kalo gue marah, gue pasti akan cari tempat di mana gue bisa sendirian dulu. Kalo marahnya di tempat umum atau di tempat kerja, toilet akan menjadi pelarianku, wkwkwk. Gue sampe bilang ke Chris tadi kalo aja ada jasa penjualan air mata, kayanya gue bakal jadi seller terbaik dan terlaris karena punya stok banyak pasti πŸ˜‚

Awalnya gue ngerasa bodoh banget punya sifat kayak gini. Ngerasa gak dewasa lah, cengeng, kurang tough, kurang tangguh, kurang resiliens. Tapi...gue aware bahwa mungkin memang diri gue seperti ini, khususnya dalam aspek kelemahannya.

Kembali ke soal ketakutan-ketakutan itu, gue jadi inget lagi dan lagi nasehat dari psikolog gue waktu sesi konseling beberapa waktu lalu: 

"Segala hal yang kamu lakukan berlandaskan rasa takut itu gak baik, Meista."

Ini berarti, takut kehilangan banyak hal yang gue sebut di atas bisa jadi menjadi pemicu kenapa gue restless banget akhir-akhir ini. Kenapa gue jadi self-pity & self-centered banget akhir-akhir ini. Kenapa gue jadi insecure, over-worry, anxious, depression, dan gak semangat mengerjakan hal yang bahkan gue suka (kayak jadi beneran gak semangat ngapa-ngapain gitu). Gue udah lupa gue sukanya apa, hobinya apa. Gue udah lupa rasanya senyam-senyum bego pas ngerjain/mengalami hal yang disuka tuh kayak gimana.

Yah, begitulah.
Akhirnya setelah merunut ke masa-masa kecil gue, sepertinya akarnya masih ada dan masih "menempel" sampai gue di usia dewasa gini, yang bikin gue "takut ditinggal" dan "takut kehilangan".

BELOM BISA CERITA SEKARANG, HEHEHE PENASARAN GAAK *ngeselin ni anak 🀣🀣🀣

Nanti yhaaa. Jujurly belom siap πŸ™ƒ Tapi memang "ada yang terjadi" di masa lalu, yang jadi trigger kenapa gue "takut ditinggal" dan "takut kehilangan".

πŸƒ

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN