The Useless Thing




Selasa, 9 Agustus 2022

Semua masih terasa cukup "jetlag" ketika mengalami atau melihat banyak hal terjadi dalam waktu bersamaan.

Belum genap sepekan adaptasi di tempat hidup yang baru.

Baru aja membuka diri untuk rekonsiliasi dengan beberapa teman dekat.

Menyesuaikan ritme hidup untuk masing-masing aspek (pekerjaan, aktivitas pelayanan, berelasi sama keluarga, berproses dalam sebuah pergumulan, dan lain-lain).

Semuanya kadang bikin sakit kepala karena pertanyaan yang sering muncul adalah:

"Ini yang mana dulu dah yang harus gue kerjain? Mana yang harus diprioritaskan?"

...karena semuanya terlihat penting dan harus dinomorsatukan.

Respon apa yang muncul pertama kali? Khawatir.

---

Hari Selasa kemarin seperti biasa tiap bangun pagi di kepala gue sudah satsetsatset memikirkan rancangan life flow apa-apa aja yang perlu gue kerjakan dan urus di hari itu. Salah satu agendanya adalah meeting rutin dwi-mingguan dengan pimpinan gue jam 10 pagi. Sejak malam sebelumnya, si Meista yang ambis ini udah kepikiran mau menyampaikan laporan statistik performa digital channels yang beberapa ada yang grow, beberapa ada yang stagnan karena masih belum nemu best practice strategy-nya kayak gimana. Udah ambis bahkan sejak satu hari sebelumnya. Sampai pada realitanya, laporan gue belum selesai hingga di hari Selasa. Selesai sih untuk digital channels yang memang rutin jadi tempat publikasi kita, tapi untuk channels lain yang menurut gue tetap perlu dimonitoring, itu gak sempat terpegang sama sekali.

Seperti biasa akhirnya gue malah dilanda kecemasan. Cemas karena laporan tidak sesuai dengan apa yang gue ekspektasikan. Perlu dicatat di sini bahwa bahkan pimpinan gue tidak menyuruh gue melakukan itu, lol πŸ˜‚. Ini sebuah pola yang akhirnya gue ngeh bahwa seringkali kecemasan dan kekhawatiran dalam diri muncul akibat inisiatif diri sendiri. I know initiative is good, but somehow, when it mixed with ambitions and perfectionism, kecemasan dan kekhawatiran yang jadi buahnya.

Akhirnya pagi itu alih-alih ngerasa segar, yang ada malah capek karena kepikiran terus "Ini gimana laporan belum kelar." Bahkan ada di satu momen yang gue literally ngomong sendiri di kamar sambil doa: "Tuhan, ini nanti meeting mau ngomongin apa sama Ko *****..." Dah, sesingkat itu doa random gue.

Akhirnya dengan mengumpulkan segenap kewarasan dan fokus, gue lakukan apa yang bisa dan harus gue lakukan saat itu: mandi, sarapan, otw kantor. Menyadari betapa terbatasnya diri gue, akhirnya gue cuma bisa nulisin aja poin-poin update & progress dari apa yang sudah gue kerjakan, dan membiarkan si laporan itu apa adanya.

Gue akan menutup tulisan ini dengan: se-useless itu memang rasa cemas dan khawatir ketika kita menerima diri bahwa kita terbatas.

1. Sekian menit sebelum gue otw kantor, tiba-tiba gue dapet chat dari pimpinan: "Mei meeting kita jam 1 bisa?"
2. Gue punya waktu untuk lanjut ngerjain laporan versi apa adanya dan no ambis-ambis club.
3. Ketika meeting, slide laporan gue gak jadi dipresentasiin karena ternyata kita lebih banyak diskusi strategi.

Super LOL kalo inget dari malam sampe pagi pikiran udah cemas "Mau nyampein apa di meeting nanti", padahal ternyata yang perlu disampaikan ya sesederhana itu.

Di sini gue belajar bahwa mengenal pimpinan dalam pekerjaan pun menjadi hal yang penting. Terus yang kedua, bukannya kita gak boleh inisiatif. Tentu dalam bekerja inisiatif dari pegawai level manapun itu diperlukan. Hanya gak usah terlalu ambis atau perfeksionis banget. I just realize that my leader isn't a "ribet-person". Sekian bulan ada dalam kepemimpinannya, kerja bareng beliau itu memerlukan:
a) Kejujuran
b) Komunikasi yang baik
c) Lakukan apa yang beliau bilang di meeting sebelumnya, dan jangan lakukan apa yang memang tidak di-approve
d) Boleh ngide, tapi gausah yang gimana-gimana banget. Mengingat kondisi kerja di start-up itu budayanya kejar-kejaran sama waktu dan sumber daya kan.

Gue rasa ini proses yang manis untuk mengenal lebih jauh pimpinan gue, pekerjaan gue, diri gue sendiri, dan yang terpenting makin mengenal Dia, Tuhan yang selama ini gue sembah dan percaya memelihara hidup gue tapi gue suka lupa. Suka lupa karena seakan-akan kegagalan gue lebih besar daripada kasih karunia-Nya. Jadinya ketika ada hal yang berjalan tidak sesuai ekspektasi atau rencana, kecemasan dan kekhawatiran benar-benar "menutupi pandangan" dan bikin gue lupa untuk "menyerahkan segala kekuatiran kepada Tuhan, sebab Ia yang memelihara kita".

🌱

Comments

  1. Curhatan yang punya nilai, semangat terus memberkati lewat tulisan, KakπŸ˜ŠπŸ™

    ReplyDelete

Post a Comment

Thank you for your comment! :D

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN