The Story Behind "Cuan"-Life Management




Pulang sekolah bareng papa diajak mampir sebentar ke ATM. Tiba-tiba ketika kelihatannya beliau mau tarik tunai, yang gue lihat dia cuma bengong. Terdiam, terpaku depan mesin ATM. Frozen ("let it gooo~" hee...bukan yaa, saudara πŸ₯²). 

Saat itu gue gak ngerti apa-apa. Bahkan memori yang tersisa ya cuma peristiwa di depan mesin ATM itu. Pas pulang ke rumah gue tetep gak ngerti apa-apa.

-----

Itu memori yang masih diingat sampe sekarang, ketika itu gue masih duduk di bangku SMA.

Sekian tahun berikutnya, akhirnya gue ngerti apa yang terjadi.

Tahun 2021 merupakan masa awal gue menyadari bahwa "gue hidup". Lha emang selama ini mati? Bukan, bukan, wkwk πŸ˜…. Gue akhirnya menyadari bahwa gue punya kehidupan yang harus gue urusin dan pertanggungjawabkan. Means, (harusnya) no longer under my parents' control, harus mulai belajar mandiri, belajar mempertimbangkan dan membuat keputusan.

Ya intinya bertanggung jawab lah sama hidup.

Pemikiran ini datang ketika gue lagi tantrum-tantrumnya menghadapi fenomena banjir di rumah untuk yang keeeeeee-sekian kalinya. Waktu itu gue lagi ngungsi ke sebuah kontrakan di komplek yang sama, dan entah kenapa gelisah aja sepanjang waktu. Gue gak konsen kerja, gak tenang ngapa-ngapain, mau berpikir positif aja gak bisa, dan jangan coba-coba suruh gue "bersyukur" saat itu karena gue bakal ngamuk parah (means...gue udah gak bisa bersyukur menghadapi banjir dalam skala apapun. Udah marah aja pokoknya bawaannya)

Di dalam kontrakan yang gue coba terima apa adanya kondisinya dan berusaha belonging to that small room, gue merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini:

What's going on?

What happened to me right now?

Is there anything I should do? ...or break?

Intinya gue mulai jengah sama keadaan dan ngerasa saat itu gue harus melakukan sesuatu.

Gue mulai dari pertanyaan: Monmaap bentar, ini banjir memang skalanya se-provinsi (itu tuh yang istana merdeka juga kebanjiran, guys), but the thing is...kenapa rumah kami jauh lebih sering kebanjiran lokal? While orang-orang sepertinya hidup baik-baik saja, tapi rumah (bapak) gue tiap hujan gede air ngerembes. Bikin kesel karena harus nguras air berkali-kali ampe capek, ampe bosen, ampe gue udah ogah beresin air banjir di rumah saking muaknya.

Kemudian pemikiran dan analisis berlanjut ke bagian:

Semiskin itukah keluarga kami?

Harusnya engga kok. Bokap penghasilannya gak kecil-kecil banget. Gue at that time memang lagi "kurang beruntung" karena memilih kerja di bisnis start up yang belum bisa memberi apresiasi lebih bagi karyawannya (jadi iya, gaji gue saat itu kecil untuk level pengalaman 5 tahun bekerja).

Jadi apa akar masalahnya?

Ketika lagi merenungkan hal ini, gue tiba-tiba terpikir ide untuk ngajak ketemuan sepupunya bokap, yang adalah mama baptis gue (it's like...orang tua mereka kakak adek, gitulah. Jadi mereka bersaudara). Beliau bukan konsultan keuangan sih, tapi gue tau dia punya manajemen hidup yang baik.

...dan tentunya tante ini pasti tahu cerita masa lalu orang tua gue...

Gue sekalian mau konsultasi dan minta saran harus melakukan apa. Plus, di saat itu gue juga udah kepikiran pengen coba ngekos dan tinggal sendiri a.k.a. gak serumah sama orang tua.

---

Bertemulah kami di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Selatan. Si tante ngajak gue makan siang bareng sambil ngobrol.

Di awal-awal sharing, gue ditutor tentang cara mengatur pendapatan dan pengeluaran. Skalanya, berapa besar harus nabung sebelum resign, gitu-gitu dah. Nah, setelah itu barulah dia cerita beberapa hal terkait bagaimana orang tua gue me-manage keuangan, yang ternyataaaa ada hubungannya sama cerita gue di awal tadi.

Demi bertahan hidup dan membiayai keluarga, papa menggunakan kartu kredit. Beberapa kartu kredit, to be honest. Salah satu fasilitas kartu kredit itu adalah pinjaman tunai. I don't know maybe they haven't read the whooole instructions or term & conditions, singkat cerita intinya papa sempat ada di masa terlilit hutang yang sampe rekeningnya di-autodebet sama pihak kartu kredit.

They don't know kalau ternyata pengembalian dana itu kena bunga yang gede banget dan kalo telat dikit dibawelinnya ampun-ampunan.

Ketika si tante cerita gitu, tiba-tiba gue inget flashback di mana gue pernah ngerasain ada 1 fase di hidup gue yang: kok orang tua gue hidupnya kelihatan gak tenang ya.

Gini-gini, gue harus akui bahwa gue dikaruniakan kepekaan yang cukup tinggi dalam membaca situasi. I don't know how & why...gue bisa ngerasain emosi orang-orang yang ada di sekitar gue. Tadinya gue gak peduliin dan ignorant sama hal ini; gak gue anggep penting juga. Tapi setelah merunut berbagai kejadian dalam hidup, dan pernah akhirnya gue doakan juga si "kepekaan" ini, akhirnya daripada gue mengelak terus ya gue ngaku aja kalau gue bisa peka ngerasain emosinya orang lain, khususnya mereka dalam circle terdekat.

Orang tua gue gak pernah cerita detil tentang permasalahan kartu kredit karena ya mungkin saat itu gue juga gak bakal ngerti apa-apaan kan. Tapi gue notice bahwa ada masa di mana tiba-tiba:
  1. Yang tadinya sering main/jalan-jalan bareng tiap weekend, jadi hilang.
  2. Ada 1 waktu orang tua gue "disidang" sama orang tua baptis gue (dua-duanya sepupunya papa). Gue sempat lihat mama nangis-nangis dan gue masih tetep gak ngerti karena jobdesc gue saat itu cuman jagain Nanda yang masih kecil di ruangan lain.

    Ow, papa baptis gue itu kerja di Kementerian Keuangan. Sekarang gue baru paham, mungkin emang pada saat itu orang tua gue dimarahin abis-abisan karena manajemen hidup yang kurang bijak. Entahlah πŸ₯²
  3. Setiap acara keluarga besar bulanan, gue dan Nanda yang selalu diajak kesana-kesini sama para om dan tante, tanpa ngajak orang tua gue. Ya waktu itu gue sempat bingung kan biasanya kami dateng berempat, ini sekarang cuma berdua yang diajak jalan-jalan.

    Tapi karena gue anaknya penurut ya gue iya-iya aja sambil tetap mikir: ini ada apa?
Intinya saat itu ternyata orang tua gue lagi irit hidup abis-abisan. Sebisa mungkin yang penting kebutuhan makan dan keperluan anak-anak jadi prioritas utama. Urusan ketemuan keluarga besar: nanti dulu.

Denger banyak cerita flashback dari si tante (mama baptis gue) jadi bikin gue merenung, like:

"Wow...hold on. Kayaknya ini harus berhenti di gue. Kayaknya harus stop di gue. Dan kayaknya gue harus mulai melakukan sesuatu, bodo amat nanti mau dilarang-larang atau dikhawatirin yang gimana-gimana sama mereka."

Jadilah sejak saat itu gue memang sudah punya tekad untuk mengatur penghasilan gue sebaik mungkin. Dimulai dari mengenali cara gue menggunakan gaji pribadi. Terus berlanjut ke bikin rekap keuangan di GSheets untuk monitoring seberapa besar spending gue per bulan dan hal apa yang paling banyak menghabiskan gaji gue tiap bulannya.

Plus...sudah mulai mendoakan untuk tinggal pisah sama orang tua—yang sudah terealisasi sekarang, tapi nanti ya gue akan ceritakan prosesnya di blogpost terpisah. Di sini mari kita fokus ke per-cuan-an duniawi πŸ˜‚

***

Beberapa waktu terakhir ini gue lagi belajar banyak soal manajemen keuangan. Gue makin ditajamkan dan makin paham bahwa segala sumber daya kita, termasuk uang, itu sebenarnya pemberian dari Tuhan dan kita itu bukan pemilik utama.

All our resources are belong to God Himself.

Jadi kita itu cuma managing aja (semalem gue denger bahasa lainnya: stewardship/penatalayanan).

Merenungi dan mempelajari hal itu bikin gue jadi makin greget juga untuk menggunakan penghasilan gue dengan sebaik mungkin. Apalagi mengingat orang tua pernah mengalami struggling yang luar biasa terkait manajemen uang.

Oh iya, I'll let you know another things:
  1. Setelah gue ketemuan sama si tante, selain ngatur keuangan pribadi gue juga sempet jadi kayak financial manager-nya papa. Gue coba monitoring dan kalkulasiin gaji dia berapa dalam sebulan (gaji yang gak stabil itu karena beliau kan kerjanya berdasarkan ada-tidaknya murid yang belajar sama dia). Gue yang monitoring juga pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.

    Sampaaaaiiii...gue tiba pada pertanyaan: ini bukannya harusnya emak gue yang ngerjain ya? Gue kayak berasa jadi istrinya si papa πŸ€”

    Gue burn out. Di situ gue pertama kalinya sadar identitas sebagai 'generasi sandwich'.

    Akhirnya setelah sekian bulan gue mengelola keuangan keluarga, bantu papa kelarin cicilan-cicilannya, gue stop. Terlebih ketika gue juga jadi tampungan curhatan suami-istri yang...I don't know, susah banget terbuka satu sama lain karena males berantem (another story lah ini ya menghadapi orang tua yang pernikahannya kurang dewasa, menurut gue). 

    Intinya gue capek banget waktu itu, gue stop semuanya, dan gue mulai rekalibrasi fokus hidup gue dan makin membulatkan tekad untuk tinggal terpisah dari mereka.

  2. Rumah masih banjir, butuh biaya besar, gue sakit mental, dan hal-hal lainnya bikin gue harus memilih mau prioritaskan pengeluaran ke mana.

    Singkat cerita, akhirnya gue memilih untuk "egois" menyelamatkan diri gue sendiri dulu, dan gak bantuin upaya nabung untuk renovasi rumah.

    You know why?

    One day
    pernah lagi di sesi ngobrol sama papa, dan beliau curhat seperti biasanya. 1 pernyataan beliau yang bikin gue sampe sekarang jadi "malas" membantu keuangan mereka adalah:

    "Ya papa cuma bisa segini-segini aja. Gak bisa berkembang. Mau berusaha cari tambahan, mama kamu selalu ngelarang. Jadi ya susah..."

    He blame my mom.

    Di situ gue mulai ngeh bahwa gue gak bisa nolong apa-apa lagi karena inti permasalahannya ada di relasi pernikahan mereka.

    Kadang mikir juga...kenapa ya nyokap suka banget membatasi ruang gerak orang lain.

    Apa beliau juga takut kehilangan atau takut ditinggal?

    Dan kenapasih papa sebagai pemimpin rumah tangga kagak ada jiwa-jiwa leadershipnya sama sekali? Kek manuuuut banget gitu sama istri. Padahal dia tahu harus melakukan sesuatu.

    Kenapa gue bisa mikir gini? Karena beberapa saat setelah papa ngomong kayak gitu, dia minta maaf sama gue:

    "Satu hal yang papa sesali adalah papa gak bisa kasih kalian jaminan asuransi."

    ...and that's true. Sekarang gue berjuang sendiri untuk asuransi diri gue pribadi. Buat Nanda masih gue gumulkan alokasi ngeluarinnya berapa dan pake jasa perbankan yang mana.

  3. Baru aware soal manajemen keuangan di tahun 2021, padahal udah kerja dapet cuan sejak 2015. Kok bisa?

    Karena...mindset gue sebagai anak yang ex-dikekang sama orang tua membuat gue berpikir bahwa tiap dapet gaji tuh harus didedikasikan untuk mereka, untuk sosial, gitu-gitu.

    No room for my personal spending.

    Gue selalu ngerasa guilty kalo menggunakan uang untuk kesenangan diri sendiri; kek jadi dosaaa banget gitu. Jadilah gue "sangat rajin memberi", wkwkwk. Ekstrim, karena kebanyakan memberi sampai kebutuhan diri sendiri gak diperhatiin.

    Tapi setelah paham situasi dan kondisi yang terjadi, di 2021 gue malah melakukan ekstrim yang sebaliknya. Gue kayak "balas dendam" bersenang-senang melakukan semua hal yang gue mau, nongki sana nongki sini, self-reward tiada henti, tapi ya tetep aja memang gak memberi gue kepuasan yang gimana-gimana.

    Baru sekarang nih pas memutuskan untuk ngekos jadinya makin aware sama banyak banget hal terkait manajemen hidup. Plus, pertanyaan yang gue renungkan akhir-akhir ini ke diri gue sendiri adalah:

    "Mei, udah yuk. Mau sampai kapan balas dendamnya?"
Itulah mengapa gue memutuskan untuk hidup mandiri, urus diri sendiri dulu, dan berharap mungkin suatu hari gue yang akan bisa bantu orang tua gue gatau gimana caranya.

***

That's my long story.

Itulah mengapa gue sempat kesulitan dalam mengatur keuangan karena ada ketakutan di dalamnya. Gue takut ketidakbijaksanaan gue dalam mengatur penghasilan akan membawa gue pada nasib yang sama dengan orang tua (gak sih...konteksnya aja waktu itu orang tua gue udah punya 2 anak.

Jadi ya segala cara-cara coba ditempuh untuk keluarga, while gue sampai sekarang cuma punya 1 kartu kredit itupun asli gak pernah dipake. Yang paling sering pakai paylater, itu juga puji Tuhan sampai sekarang terkontrol pemakaiannya).

Itulah mengapa gue juga sempat takut menikah kan. Gue takut gue kayak mama, yang gak bisa peka sama kondisi suaminya, terus suaminya malah curhat yang jelek-jelek ke anak. Yah...world is so cruel, baby.

Sekarang gue bersyukur Tuhan jawab doa gue untuk tinggal pisah dengan orang tua. Tujuannya adalah gue mau menyembuhkan sakit mental gue akibat beberapa trauma, gue mau melatih diri gue untuk bisa punya manajemen hidup yang baik, dan...berharap gue gak takut untuk menikah jika Tuhan ngarahin gue ke fase itu.

...and...I give myself a space to grow and learn. Karena abis dapet doa yang terjawab doesn't mean hidup kemudian baik-baik saja kan? πŸ˜†

There will always be another adventure...πŸƒ

I will tell you more about my new life, my progress, at this new phase of life!
Stay tuned, hehe 😊

Thanks for reading! 🌞

πŸƒ

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN