A Weekend True Story




Minggu, 7 Agustus 2022 21:48

Menikmati punggung yang panas abis dikerok mama lantaran gaenak bodi gegara sakit kepala akibat nangis semaleman dan tidur gak nyenyak.

Kenapa sih lo? Ada apa sebenarnya?

-----

Masing-masing orang punya caranya sendiri dalam berekspektasi. Masing-masing orang, juga punya caranya sendiri dalam meresponi ekspektasi yang tidak terealisasi. Hal-hal yang "dipasangkan" ekspektasi pun bisa beragam, tergantung dari apa value yang dianut oleh masing-masing orang.

As for me, relationship and friendship become my top/highest value in my life. Ketika diberi kesempatan untuk berelasi dengan orang lain, mungkin ini dalam konteks pertemanan, gue akan masukkan itu ke dalam skala prioritas kehidupan gue. Apalagi, jika gue menilai bahwa relasi tersebut layak gue perjuangkan (emang ada relasi yang gak layak diperjuangkan? Ya ada. Relasi yang taken for granted gitu; yang datang dan pergi gitu aja).

I thought...the relationship that I will tell in this story ada dalam kategori pertama. Sampai...ternyata hatinya dapet ujian lagi.

***

Sabtu, 6 Agustus 2022

Memulai hari dengan passionately-leyeh-leyeh (bahasa apa ini πŸ˜‚), karena hari ini udah ada agenda ketemu temen-temen (dalam tulisan ini sebut saja "The Sisters"). Masih dalam rangka adaptasi kehidupan baru a.k.a. ngekos, planning bepergian dan persiapan energi pun dibuat matang sedemikian rupa karena jarak yang ditempuh lumayan jauh. Gue berada di area Tangerang, dan lokasi pertemuan hari itu ada di mal area Jakarta Selatan. Setelah menentukan rencana rute perjalanan beserta hitung-hitungan biaya transportasi yang dibutuhkan, gue menjalani rutinitas pagi seperti biasa. Sarapan bersama roti sobek Sari Roti favorit + susu Energen cokelat, bales-balesin WA, plus jawab-jawabin pertanyaan materi diskusi yang akan gue lakukan bersama The Sisters nanti.

Sekitar jam setengah 1 siang, gue mulai menempuh perjalanan sesuai yang udah gue rencanakan. Karena ini agendanya bakal senang-senang, gue cenderung lebih santai ketika otw dan gak terlalu sat-set-sat-set kek mo ke kantor. I enjoy sit in the bus—yang sarat dengan pengamen dan bangabang cangcimen but I don't mind at all karena gue menyadari inilah kehidupan gue sekarang; menjadi warga Tangerang yang kalo berurusan ke Jakarta ya bis itu andalannya.

Berencana turun di Blok M (karena gue pikir itu bis jurusan Poris Plawad-Blok M), ternyata bisnya cuma sampe Slipi. LOL banget 🀣 Inilah ya, resiko naik bis kagak liat bagian depannya dulu itu jurusan apa. Udah terlalu yakin ternyata salah. Untung gak fatal-fatal banget. Not bad lah turun di Slipi. Abis itu karena udah nanggung, gue langsung pesen ojol buat otw ke tempat tujuan.

Sesampainya di tujuan jam 2 tenggo, tempat yang gue cari pertama adalah toilet. Byasalah ya, abis nempuh perjalanan rambut lepek, keringetan, jadi kudu elap-elap dikit biar make up tetep cetar (ga dengg, gue gak se-cetar itu juga. Minimal kagak bare face banget lah karena biasanya abis ketemuan suka nyetok foto bersama buat profile picture grup wasap baru, wkwkwk).

Setelah dari toilet, gue cek grup chat belum ada info terbaru. Gue asumsikan mungkin masih pada dalam perjalanan. Akhirnya gue memutuskan untuk keliling-keliling sambil nyari tempat yang oke untuk kami bertemu nanti. Beberapa waktu sebelumnya gue sempat memberikan beberapa suggestion tempat bertemu di mal tersebut cuman mungkin masih pada bingung menentukan. Jadi sampai hari-H, gue ngerasa masih ngegantung aja lokasi tujuan ketemunya mau di mana.

That's why gue inisiatif lah untuk cari-cari lokasi sambil keliling-keliling cuci mata sambil nungguin anggota The Sisters nyampe. Perut udah agak laper, tapi mata gue kepincut sama eskrim mekdi, wkwkwkw! Jadilah gue melipir beli eskrim buat nemenin gue jalan-jalan sendirian.

I found my mistake here. Bener ya, komunikasi itu ternyata krusial banget dalam segala aspek kehidupan. Pertama, gue gak ngabarin ke grup kalau udah sampe. Kedua, gue juga gak langsung bilang hasil hunting gue keliling mal itu nemu tempat yang kayak gimana aja. Ketiga, gue gak menyampaikan unek-unek gue juga bahwa "Please jangan gue yang ambil keputusan ya. Tolong tentukan ini mau ketemu di mana." Kalimat ini hanya tercetus dalam hati dan di blog ini. Will anyone notice? Of course not. Mereka bukan lumba-lumba yang bisa mendengar suara berfrekuensi 20-150 KHz atau 7x lebih sensitif dari telinga manusia (Sumber: cnnindonesia.com)—masi sempet-sempetnya yak curhat sambil sharing knowledge, lol πŸ€£πŸ˜‚. Mereka juga bukan cenayang yang bisa denger suara isi hati gue. Nanti gue akan ceritakan apa implikasi dari 3 poin tersebut.

Setelah berhasil mengelilingi seantero mal dan ngeliatin tempat-tempat makan, akhirnya gue memutuskan untuk nangkring di area customer service dekat panggung karena saat itu lagi ada pertunjukkan kwartet biola gitu; sambil ngabisin eskrim mekdi. Gue cek grup masih belum ada info; karena mungkin belum pada sampai. Gue masih tunggu dan gue pun juga gak info apa-apa. Another mistake points: gue gak ngeh saat itu gue udah capek banget secara fisik. Gue gak ngeh kalau ternyata perjalanan gue hari itu udah bikin capek, ransel bawaan gue juga berat dan itu bikin capek—hari itu gue memang berencana balik ke rumah jadi bawa keperluan nginep juga. Keliling mal dengan kondisi belum makan siang sambil bawa ransel berat itu juga capek. Kesalahan lain: apakah ada yang nyuruh gue melakukan itu? Tidak ada. Itu sepenuhnya inisiatif pribadi karena gue notice grup kami kalo nyari tempat biasanya super ribet.

Setelah beberapa teman datang, gue akhirnya menyampaikan pertanyaan mendasar: "Jadi ini kita mau di mana?". Gue juga cerita gue udah keliling dan menemukan beberapa suggestion tempat yang berharap bisa mengakomodir kebutuhan kita semua, baik dari segi kondusivitas, maupun dompetisitas (budget maksudnya, wk). Singkat cerita, gue disarankan untuk share ke grup rekomendasi tempat yang udah sempat gue temukan.

Lesson for us all: never put the expectation on the chat-communication. Anything can happen.

Gue gak mau melakukan pembenaran atau menyangkal. Hanya dalam hitungan menit ketika gue menyadari bahwa chat gue tidak direspon oleh siapapun di grup tersebut ternyata memicu adrenalin tersendiri. Menyadari bahwa ketika saat itu chat-chat lain muncul setelah chatnya si Meista ini (di luar dari soal berita kedukaan yang ikut membuat suasana hati makin terguncang) membuat gue ngerasa gak meaningful ada di grup itu. Mungkin suara hati yang muncul saat itu kayak: "Well...hello? Anybody listen to me? Or not? Am I being shadow here?". Gue emosi tapi ga tau harus gimana. Gue bukan tipe orang yang mudah marah-marah atau ngamuk-ngamuk di tempat sampe bikin malu gitu. Yang gue rasakan saat itu nafas gue cukup terengah-engah, mau nangis, dan di situ gue ngeh kalau gue mulai kesal.

Gak mau membuat keruh suasana, gue coba kabur sebentar dengan alibi mau ke toilet. Ya emang ke toilet sih, cuman bukan mau pipis, tapi buat nangis. Bukan buat buang air, tapi buang air mata #eaaa 🀣. Sungguh tipikal dari seorang Meista kalau kesal yang kena ke hati itu pasti nangis dulu. Akhirnya nangis lah gue di dalem toilet. Pengennya nangis kejer tapi thank God gue masih punya rasa malu. Jadilah nangisnya sunyi-sunyi senyap.

Cukup lama gue di toilet karena entah kenapa gue ngerasanya kayak lagi perang sama pikiran sendiri. Di situ gue berdoa dan self-talking juga like: "Please, please, jangan prasangka dulu. They mean no harm to you, Mei." Tapi...rasa lelah jauh lebih menguasai daripada perasaan senang ingin ketemu mereka yang gue bawa sejak dari kosan. Bergulat dengan pikiran pengen pulang atau lanjut ketemu mereka, pulang-engga-pulang-engga. Akhirnya gue memutuskan untuk tetap ketemu mereka meski gue harus siap jawab pertanyaan karena mata gue udah sembap saat itu.

Keluar toilet, gue dapet chat pertanyaan terkait ada ngga lokasi tempat yang sepi di lantai tempat gue ke toilet. Gue cukup bingung karena sebelumnya gue dapet info mereka udah ngumpul di satu tempat makan. In my head: mo pindah lagi? Terus gak jauh dari toilet tempat gue nangis itu, ada satu tempat makan yang menurut gue cukup family-friendly dan saat itu gak terlalu rame. Gue ajukan tempat itu, dan gue foto tempatnya.

"Mau di sini aja?", tanya gue.

Setelah gue kasih suggestion itu, gue malah ditanya-tanya hal lain lagi yang seakan-akan gue adalah pemilik mal; seakan-akan gue yang paling tau seluk-beluk mal dan tau mana tempat yang sepi, kondusif, bisa buat duduk sekian orang, dll dsb dst. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kekesalan gue memuncak dan akhirnya emosi marah yang muncul. It feels like: "CAN'T YOU READ MY PREVIOUS MESSAGE ON THAT GROUP? CAN'T YOU RESPOND TO IT BEFORE?"

Karena marah, biasanya merembet kemana-mana kan pikirannya. Jadilah pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran yang muncul berikutnya di beberapa detik setelahnya adalah:

Don't you guys know I'm tired?

Don't you guys know I came from far away?

Don't you guys realize I made my effort here?

Am I being outsider here?

Am I not important to you all?

Yah...you guys can say I'm self-pity-ing, but I don't care. Maybe it's true. Kayak ngerasa out of the tribe aja jadinya. Ngerasa...bahwa keberadaan gue di sana tidak diinginkan atau yaa taken for granted aja. Padahal gue pikir ini sebuah relasi yang bisa gue perjuangkan. Seperti yang sempet gue tulis di bagian atas, gue pikir ini relasi yang bisa dua arah. Tapi melihat dari perspektif emosi gue kemaren, at that time gue ngerasa ini melelahkan.

Setelah gue bales chat pertanyaan-pertanyaan tersebut seadanya, gue langsung pesan ojol menuju mal lain dengan motivasi nyari makan siang (kondisi udah jam setengah 4 sore padahal janjian entah harusnya jam berapa). Gue agak setengah lari sambil nahan nangis (udah kayak di drama-drama aje entar gue nangis lari-lari di mal ditinggal ayang), dan sangat bersyukur babang ojek udah standby di tempat pick up. Di perjalanan, barulah gue infokan bahwa gue gak bisa ikut pertemuan hari itu. Gue gak bisa chat yang panjang gimana-gimana, intinya gue to the point aja kalo gue laper, lelah, capek, mulainya ngaret banget, dan inti dari masalah: chat WA gue gak ada yang respon.

Dari situ gak ada chat yang gue bales dan gak ada telepon yang gue angkat. Rasa capek, lelah, dan lapar memfokuskan gue untuk fokus ke tempat tujuan baru, cari makan, terus pulang. Gak kepikir sama sekali untuk kembali membuka komunikasi apapun di saat itu karena pikiran gue juga lagi gak bener.

Sesampainya di rumah, gue ketemu mama dan izin untuk langsung tidur dulu. Mama tanya "Kok tumben cepet? Biasanya sampai malem?", dan gue jawab: "Iya, lagi cepet hari ini." Gatau mau jawab kayak gimana karena lagi gaada energi banget. Sampe kasur, yaudah...tidur sambil nangis-nangis dah tuh. Nangis karena marah, nangis karena bertanya-tanya bener gak sih ini yang gue lakukan? Nangis karena kok gak sesuai sama ekspektasi dan planning gue ya. Nangis karena apakah gue jadi penghancur weekend semua orang?

Long story short, hari Sabtu itu hanya berakhir dengan tidur dan nangis (oh, gue akhirnya dengan tegas mengeluarkan unek-unek gue ke grup apa yang gue rasakan dan pikirkan saat itu). Ditambah bumbu-bumbu anxiety yang parah banget, suara-suara di kepala yang mengafirmasi bahwa gue memang tidak disayang, tidak diinginkan, tidak ada yang ingin peduli sama kamu—ini memperparah keadaan hati sampai gak bisa tidur, dan paginya pas bangun bagian belakang kepala gue sakit sampe ke punggung. Ini gatau apa karena kebanyakan nangis, stres, atau telat makan di hari Sabtunya. Kayak udah mix aja jadi satu.

That's what happened.

-----

Minggu, 7 Agustus 23:37

Harusnya gue pindahan siang tadi. Tapi berhubung mood, hati, pikiran lagi kacau banget, gue undur ke besok pagi subuh sebelum jam ngantor. Masalahnya sampai detik ini gue nulis aja gue belum packing sama sekali. Padahal besok berangkat jam 6 pagi ke Tangerang. Entahlah, masih badmood banget ini rasanya sampe mau ngapa-ngapain juga udah gak ada semangatnya. 

So, yah...that's life sis, bro. Saat ini gue tengah merenung juga kayak...actually no one asked me to be initiative. Ini emang guenya aja yang kerajinan dan terlalu inisiatif, padahal gak ada yang nyuruh juga buat keliling mal nyari tempat. Cuman gegara gue tahu aja kebutuhan kelompok tuh gimana, jadi gue....yah udahlah. Semangat baik hanya ada dalam kontrol kita, tapi respon orang lain dan bagaimana situasi selanjutnya terjadi itu benar-benar di luar kendali kita. Gue cuma nyesel aja jadinya. Mungkin kalo gue gak se-effort itu, gue gaakan secapek dan selelah dan selaper itu kemarin dan maybe momen ketemuan pun bisa berjalan manis-manis aja seperti biasa.

Tapi yah...udahlah.

-----

P.S.: ngapa dah gambar covernya bunga Lavender? Soalnya lagi suka banget sama segala aroma bunga Lavender. Wangi, menenangkan, ya enak aja gitu di idung wkwk. Semua aroma di kosan gue mule dari pengharum ruangan, pengharum kamar mandi, sampe semprotan nyamuk baunya Lavender semua 🀣🀣🀣 (sebuah penutup yang gaada kaitannya dengan cerita sama sekali, LOL!)

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN