Aku Ingin Seperti Dia, Dia, dan Dia

Photo by Ella Jardim on Unsplash


Enak kayaknya yah kalau jadi artis K-Pop gitu. Banyak penggemar, udah pasti uangnya banyak, cantik, multitalenta, keren deh...

Seru kayaknya kalau udah punya pasangan ya. Ada yang nemenin ngobrol terus, ada yang nemenin jalan-jalan, kalo bosen tinggal WA-an atau teleponan atau ledek-ledekan di Instagram. Ini...pacar aja gak punya, gimana mau punya pasangan hidup...

Kayaknya kerja di tempat kerjanya dia enak yah. Banyak temennya, gajinya juga pasti gede--soalnya dia sering banget pamerin momen jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri gitu. Gaya hidupnya high-class banget, apa-apa kafe, ketemuan sama temen di resto mahal, hangout tiap weekend minimal di mal ibukota yang di wilayah pusat deket bunderan itu. Hidupnya dia kok enak yah...

Kayaknya, kayaknya, dan kayaknya...

Sebuah kespontanan dalam mengungkapkan isi hati setelah melihat hidup orang lain. Tapi melihatnya bukan karena kenal secara dekat/personal, melainkan karena melihat berbagai postingan di Instagram (Feed maupun Story)--sebuah aktivitas yang menjadi rutinitas barunya sejak virus korona mampir ke negeri ibu pertiwi.

Ya, scrolling media sosial menjadi salah satu aktivitas seru bagi Kiki untuk mengurangi rasa bosan saat berada di rumah. Hidupnya banyak berubah sejak berlakunya berbagai macam pembatasan demi mencegah penyebaran virus berbahaya tersebut. Dia harus beradaptasi dengan 'keadaan barunya'. Setiap akhir pekan, biasanya dia menghabiskan waktu untuk bertemu teman-temannya. Namun sekarang yang bisa dia lakukan hanyalah video call atau hanya sekadar telepon biasa. Saat mengerjakan pekerjaan kantornya, biasanya dia bisa sangat leluasa untuk berdiskusi dengan rekan dan bosnya. Namun kondisi saat ini membuat dia terpaksa harus terus terkoneksi dengan jaringan internet agar bisa meeting online dan menyelesaikan project-projectnya. Meski banyak adaptasi yang harus dilakukan, Kiki seringkali tetap merasa bosan dan jenuh. Tidak sabar menunggu kapan pandemi ini akan berakhir supaya ia bisa kembali ke kehidupannya yang 'normal'.

"Boseeeennn...kerjaan udah kelar, udah mandi, udah nyuci, udah scrolling IG sampe ngantuk udah ngeliatin story orang-orang, udah beresin kamar, udah bersihin kolam renang, ngapain lagi yaaaah", jeritnya dalam hati.

Oh iya, ngobrol sama Fano aja deh. Tu anak apa kabar ye...

Kiki mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Fano melalui video call. Dia kecanduan video call lantaran aktivitas tersebut kian menjadi tren. Dia sudah berniat akan screen capture percakapan video callnya untuk dia posting di media sosial, sama seperti yang dilakukan kebanyakan orang pada musim ini.

"Hai, Nooo. Apa kabar?" sapa Kiki.

"Halo, Kiii. Baik gue baik. Lo apa kabar?" balas Fano.

"Baik jugaaa. Ehee sori ganggu bro. Gue bosen banget nih parah. Trus gue kepikir buat nelfon lo deh."

"Owalah, santai sih. Gak ganggu kok. Ni cuman lagi ngedesain portofolio sama CV aja. Nyambi ngemil mi goreng nih lo liat." Fano mengarahkan kamera depan ponselnya ke mangkuk berisi mi goreng.

"Buset ngemil lo berat juga ye", balas Kiki sambil tertawa. "Eh, bentar...lu ngedesain porto sama CV...lu resign, No?"

"Ng...bukan resign. Gue dirumahkan sama tempat kerja gue karena mereka udah ngga sanggup nanggung biaya karyawannya."

"Hah...serius lo? Per kapan?"

"Baru 2 hari yang lalu gue dikirimin pengumumannya. Ya gue ngerti sih kondisi lagi kayak gini kan bikin banyak bisnis langsung collapse. Apesnya ternyata tempat kerja gue juga kebagian ngerasain hal ini. Dan gue ngerasain bagian pengurangan SDM-nya."

"Yaampun, No...sori sori. Gue ikut sedih dengernya...Gue bisa bantu apa, No?"

"Bantu cariin jodoh. Bisa?" ledek Fano sambil tertawa.

"Yee gue serius bambang!"

"Ya serius itu", canda Fano masih sambil tertawa terbahak-bahak. "Canda, canda. Mmm apa yah. Bingung gue juga kalo lu nanya mau dibantu apa. Nanti deh ya gue infoin kalo perlu bantuan lo. Thank you loh, Ki."

Kiki terdiam sejenak mendengar kata-kata Fano. Dia berusaha mencerna informasi yang diberikan sahabat baiknya sejak kuliah tersebut.

"No...terus gimana lo buat sehari-hari di rumah? Nyokap sama adek lo sehat-sehat kan?"

"Sehat kok sehat. Yah...gue bersyukur sih masih ada tabungan. Lumayan kok itu buat sehari-hari di rumah. Terus nyokap juga masih suka dibantu sama kakak-kakaknya, pokoknya kami serba cukup kok di sini. Dan gue juga lagi ngusahain cari kerjaan baru kan. Mayan buat nambah-nambah tabungan."

Kiki kembali diam dan hanya bisa memandangi layar ponselnya yang menampilkan wajah Fano saat sesekali menyantap mi goreng. Pikirannya hilir mudik masih mencerna cerita Fano barusan. Sahabat baiknya sedang dalam kondisi sulit, tapi dia tidak terlihat mengeluh ataupun mengasihani diri. Dalam sekejap ia mengingat kehidupannya sendiri. Ia dan Fano mengalami musim yang sama. Mereka tinggal di kota yang sama. Namun ternyata Kiki menyadari bahwa bukan cuma dirinya yang menderita--apalagi yang ia derita saat itu baru sebatas kebosanan. Ada seseorang yang dekat sekali dengan dirinya justru mengalami hal yang jauh lebih sulit daripada sekadar rasa bosan. Kiki juga kembali mengingat bahwa ia dan keluarganya di rumah masih sangat lebih dari cukup dalam hal keuangan. Papanya masih produktif bekerja--meski mengalami pemotongan gaji dan hal ini sempat membuat Kiki khawatir setengah mati. Kiki sendiri masih dipercaya oleh bosnya untuk bekerja dan mendapat upah penuh tanpa ada potongan sepeser pun.

"Woy, kok lo bengong gitu. Ngiler ya?"

"Ng..ngga kok." Kiki tersadar dari lamunannya.

"Lu pasti tersentuh sama cerita gue tadi", ledek Fano.

"Ya...gue gak nyangka ternyata lo jadi salah satu orang yang kena dampak si virus-virusan ini", balas Kiki mengekspresikan kesedihannya.

Fano tersenyum.

"Tau gak, kita bertiga serumah sehat aja udah bikin gue puas, Ki. Sebelum gue dapet pengumuman dirumahkan itu, gue emak sama Panda ikutan rapid test gratis yang dari aplikasi gitu. Ketika kami bertiga hasilnya negatif, gue sih girang parah! Emang sih katanya kudu cek lagi 7-10 hari ke depan, cuma gapapalah ya. Minimal di tengah pandemi ini, gue tau kalau kami bertiga sehat-sehat aja. Kami jadi lebih aware sama kesehatan, rajin cuci tangan, rajin bersih-bersih rumah. Itu aja udah cukup banget buat gue. Lu tau gue lebih sedih kalo liat berita tuh pas ngeliat dokter perawat gitu pada kagak bisa pulang cuy. Takut orang rumahnya pada ketularan. Gila gue sih gak kebayang gimana kangennya sama keluarga. Mana yang mereka hadapin ini kan orang-orang sakit yang berpotensi bawa virus. Lu tau beritanya kan? Gak sedikit yang gugur loh."

Kiki lagi-lagi cuma bisa diam mendengarkan Fano.

"Intinya sih emang bersyukur dulu, Ki. Bohong kalo gue gak khawatir, gak cemas sama masa depan gue sama adek gue. Gue tulang punggung keluarga lagi kan. Cuman yaudalah, dijalanin aja. Gue gapapa kok, lu gausah nangis gitu", lagi-lagi Fano meledek sambil tertawa.

Secara refleks Kiki langsung mengusap air matanya yang ternyata daritadi sudah membasahi wajahnya.

"No, semangat ya. Klise gue sumpah cuma bisa nyemangatin doang. Tapi ini beneran, hubungin gue kalo lu butuh bantuan!"

"Woles. Dibilangin bantu cariin jodoh."

"Iya oke tar gue cariin. Kirim kriterianya ke gue ya. Nanti gue bikin kontennya buat diposting di lambeturah."

"Bodo amat!" balas Fano sambil tertawa dan menghabiskan mi goreng pada suapan terakhir.

"Eh yaudah deh No, lu lanjut deh ngelarin porto sama CV-nya. Ini gue juga mau lanjut ngerjain kerj...eh maksudnya ngelarin setrikaan gue yang numpuk."

"Okeoke. Oh lu jadi bosen gara-gara nyetrika seharian gak kelar-kelar?" ledek Fano lagi sambil cengar-cengir.

"Au ah elap. Bye, Noo! Tar gue kontak lu lagi yaaa."

"Okeeey, daaah~"

Setelah menutup video call-nya, Kiki membuka aplikasi pesan antar makanan di ponselnya. Ia terlihat sedang mengingat-ingat sesuatu sambil melakukan pemesanan. Tak berapa lama kemudian, ia mendapat telepon dari kurir yang akan memesankan makanan.

"Halo, Pak. Pesanan saya sesuai aplikasi ya, Pak."

"Oke baik, Kak. Ini alamatnya juga sudah sesuai ya, Kak?"

"Sudah sesuai, Pak. Oya, itu bukan ke rumah saya ya, Pak. Nanti ada penerimanya atas nama Fano."

"Ooh, baik Kak. Terima kasih ya, Kak."

"Makasih, Pak."

Kira-kira 30 menit kemudian, ada pesan masuk ke ponsel Kiki. Fano mengirimkan sebuah pesan yang disertai dengan sebuah foto.

FANO:
Buat gue?

Kiki pun langsung membalas chat tersebut.

Buat Tante Ana, Panda, sama Fano. Pertolongan pertama. Jangan dibuang. Kalo gak mau kasih tetangga lo aja.

FANO:
Kan gue minta jodoh T_T
Wkwkw canda2. Thank you yah Kii..Lo kirim ini gue jadi inget tiap kita makan nasi goreng sate pas pulang kuliah dulu.

KIKI:
Acarnya dipisah, telornya diceplok dan pedes 2 sendok :))

FANO:
Fix kita harus makan bareng lagi di sana. Kapan ya enaknya?

KIKI:
Bebas, asal pake masker dan bawa sabun cuci tangan. Airnya bawa di botol

Mereka pun melanjutkan perbincangan melalui chat. Sambil membalas chat dari Fano, Kiki merenung. Ia belajar hal baru di hari itu: mungkin dia ingin menjadi orang lain karena ia merasa hidup orang tersebut jauh lebih baik atau tidak lebih membosankan dari hidupnya; meski yang ia lihat hanyalah kehidupan berdasarkan konten media sosial semata. Tapi ternyata ia juga bisa memilih untuk menjadi dirinya sendiri dan bisa memilih untuk berkontribusi dalam memberi sukacita bagi orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN