At Home, But Not Feeling At Home

I'm trying to be logic here.

Menjadi jujur bukanlah sesuatu hal yang mudah. Mungkin kitanya jujur, tapi orang lain tidak bisa terima. Sebaliknya, ketika orang lain jujur, tapi kitanya yang tidak bisa terima. Sehingga seringkali kita terjebak pada ketidakjujuran karena takut menimbulkan konflik antar sesama.

Cuman, pertanyaan yang mucul dalam kepalaku adalah: sampai sejauh mana kita harus sejujur itu? Dan kepada siapa kita harus jujur? Apakah mengemukakan kejujuran juga perlu hikmat dan kebijaksanaan?

Bagiku pribadi, dalam fase hidupku saat ini aku lebih memilih untuk jujur pada Tuhan dan diriku sendiri. Well, ya mencoba jujur juga pada orang-orang terdekatku tapi sepertinya lingkungan dan diri ini belum siap untuk menerima segala kejujuran satu sama lain. Jadilah aku mengambil waktu dulu untuk lebih melatih jujur pada Ilahi dan juga diri ini.

Termasuk mencoba jujur di ranah publik macem blog seperti ini. Yah, ini memang butuh keberanian in the next level sih ketika mencoba belajar jujur di ranah publik.

---

Berada di dalam keluarga yang terlihat harmonis dan baik-baik saja tidak berarti lepas dari masalah. Tentu, semua orang pasti memikul masalahnya masing-masing. Termasuk aku di dalam lingkungan sosial terkecil yang sudah dua puluh tujuh tahun bersama ini.

Salah satu pengalaman masa lalu yang sepertinya masih berdampak secara emosional hingga saat ini adalah melihat orang tuaku berseteru. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali. Mendengar intonasi suara yang tinggi dari kedua belah pihak seringkali membuatku ngeri, menangis, takut, dan bahkan aku pernah sampai melempar ponselku sampai hancur berkeping-keping. Dalam satu kesempatan, aku yang masih kecil itu pernah sampai berdoa sendiri memohon pada Sesuatu yang katanya namanya Tuhan, untuk menghentikan pertengkaran mereka. Ini asli sih entah kepikiran dari mana lah ya, tapi benar terjadi.

Dua puluh sekian tahun berlalu, dan aku masih terus bersama-sama mereka (plus adik kecil yang sekarang udah gede dan menjadi temanku). Makin tumbuh dewasa, sejujurnya aku sudah semakin bodo amat ketika melihat peristiwa yang sama. Jujur, aku merasa lelah dan capek sendiri kalau selalu ikut-ikutan terlibat di dalam pertengkaran mereka yang bahkan kadang-kadang cuma mendebatkan hal sepele (well, sepele di mataku, tapi mungkin besar di mata mereka). Seiring dengan aku juga yang mulai belajar tentang dunia relasi laki-laki & perempuan, dunia pernikahan, karakter, emosi yang sehat, dan lain-lain, aku semakin merasa ternyata banyak juga yang tidak beres dalam rumah ini. Aku tidak ingin menjadi orang yang sok tahu dan sok pintar, tentunya. Namun menghadapi karakter orang tuaku sendiri dikala aku yang sudah berusia 27 tahun ini ternyata cukup menantang. Emosi dan karakterku sendiri seringkali diuji dan mengalami ups & downs. Tak bohong juga bahwa ketakutan-ketakutan di masa lalu akibat melihat orang tuaku bertengkar sering terbawa hingga saat ini. Aku sering bertanya-tanya di dalam diriku sendiri: "Apakah mentalku terluka? Apakah emosiku terganggu?".

Aku tengah mengalami depresi ringan saat ini. Aku berhadapan dengan kondisi rumah di mana ada 2 anggota keluarga yang merasa selalu di-gas oleh yang 1, sedangkan aku tidak pernah di-gas oleh yang 1 itu. Lalu timbullah sejenis kecemburuan sosial kecil yang aku pun gak tau ini harus diapakan. Karena jujur saja aku pun tidak ingin di-anak emas-kan oleh yang 1 itu. Aku bisa mengurus hidupku sendiri. Aku bisa mengatur hidup beserta segala yang kupunya. Tapi memang entah mengapa yang 1 itu seperti lebih sering memarahi 2 anggota keluarga yang lain daripada aku sendiri. Ini menjadi perenungan dan pemikiran sendiri bagiku akhir-akhir ini, sampai terlalu kerasnya berpikir aku jadi depresi. Aku bingung harus gimana, karena aku pun tidak ingin diperlakukan "spesial". Lantas aku tiba pada pemikiran: "Apa aku seharusnya tidak berada di rumah ini ya? Mungkin keadaan bisa menjadi lebih baik." Opsi-opsi gila yang tidak logis dan digerakkan oleh emosi kebingungan pun sempat menghampiri pikiranku, mulai dari keinginan untuk kabur dari rumah, ingin tinggal sendiri di tempat lain, sampai ingin mengakhiri hidup. Namun karena tidak ingin menjadi bodoh, akhirnya responku hanya sebatas lebih banyak tidur, menangis, tidur sambil menangis, dan tidur sambil mendengarkan lagu-lagu yang menenangkanku.

---

Sore tadi, saat sedang mandi, tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu yang lain. Oh ya, sebelumnya aku sempat mengobrol dengan adikku dan ia juga tengah merasakan hal yang sama. Aku hanya bisa meng-encourage dia untuk tetap fokus mengembangkan karakter dia sendiri, instead of lebih fokus mengurusi orang tua yang sering berantem karena entah hal apa. Aku mendorong adikku untuk mencari dan mengembangkan potensi diri selagi masih muda; memperlengkapi diri untuk terus mencari jati diri yang sesungguhnya, dan enggak membebani diri dengan masalah orang tua yang bukan bagian kita sebagai anak. Jujur, aku kasihan sekali dengan dia. Aku paham dia pasti se-menderita itu terlalu lama berada di rumah. Tidak kuliah, tidak kerja, les bahasa Jepang sempat terhenti karena faktor keuangan. Inilah yang memicuku secara pribadi untuk kembali membawa adikku dalam lingkungan pendidikan di awal tahun 2021. Mungkin diawali dengan kembali melanjutkan les bahasa Jepang, kemudian aku pun berencana memasukkan dia di perkuliahan pada pertengahan tahun, sambil siapa tahu dia juga bisa ikut nyebur di persekutuan mahasiswa Kristen seperti yang pernah aku nikmati sebelumnya.

Kembali ke pikiranku saat mandi tadi sore, aku merenungkan bahwa mungkin saat ini aku tengah berubah. Entah berubah menjadi semakin baik atau semakin buruk. Berbagai hal di sekitarku yang akhir-akhir ini menyakitkan hati tentu tidak aku sangkali. Bukan cuma soal rumah yang menjadi inti cerita postinganku kali ini, aku pun kembali berkonflik batin dengan teman-temanku dalam komunitas kecil yang aku ikuti hingga saat ini. Trust issue menjadi hal yang membuatku jatuh terjerembap sampai aku secara terpaksa memutuskan hubungan komunikasi dengan mereka di segala platform. Ada unsur ketakutan juga bahwa jika aku berelasi dengan mereka, aku yang akan menyakiti mereka karena aku ini jahat. Jadi sepertinya lebih baik aku menarik diri terlebih dahulu dan mencoba mencari tahu sebenarnya aku ini lagi kenapa. Aku sudah menghubungi salah seorang kakak konselor, dan mudah-mudahan pertemuan konseling kami bisa berjalan lancar selama beberapa minggu ke depan.

Oh ya, kembali ke soal berubah-ubah tadi, aku menyadari sepertinya ini memang akunya yang lagi berubah. Dan masalahnya, aku nggak bisa memaksakan lingkunganku untuk ikutan berubah juga. Maybe they will stay the same. Mungkin keluargaku tidak akan berubah. Mungkin teman-temanku juga tidak akan berubah. Atau mungkin kita semua sama-sama berubah tapi ketika bersama kami tidak saling membawa pertumbuhan yang baik. Mungkin. Jadi di sini aku merenungkan bahwa aku harus mencoba untuk makin kenal diriku sendiri, dan makin belajar menerima hal-hal di luar diriku yang sebelumnya tidak bisa kuterima.

Kadang aku juga berpikir: "Apa mungkin ini fase training untuk masa-masa sebelum berelasi/pacaran/menikah ya?". Fase di mana aku diuji sedemikian rupa dari segi karakter, mental, masa lalu yang mungkin masih belum beres, dan lain-lain. Ternyata adikku juga memiliki pemikiran yang sama. Dia tadi bilang gini: "Kak, apa jangan-jangan aku juga lagi ada di fase training sebelum mulai masuk kuliah/kerja beneran ya?" Karena jujur aja, kami berdua merasakan dan mengalami hal yang sama dalam jenis pergumulan yang berbeda. Aku yang masih aja jomblo sampai sekarang--pacaran terakhir kelas 2 SMA di tahun 2009; sedangkan adikku yang masih juga nganggur tidak ada kegiatan rutin. Apakah kami malas mencari dan berusaha? Eits, siapa bilang. Kami telah melakukan bagian kami masing-masing. Adikku 3 tahun berturut-turut ikut tes universitas negeri, enggak ada yang lolos. Terus apply kerja di sana-sini juga enggak ada yang lolos. Aku membuka diri dan hati berelasi dengan teman-teman pria, bahkan sampai patah hati lagi di bulan April kemarin, menurutku itu sudah menjadi sebuah usaha. Tapi hasilnya nihil, kan. Jadi yah, kami anggap fase-fase ini menjadi fase pembelajaran buat kami di usia muda kami masing-masing, sambil terus berusaha melakukan bagian kami; bagian yang bisa kami lakukan dan kerjakan semaksimal yang kami mampu. Terus belajar, that's the point.

---

Sampai aku tiba pada fase yang lebih baik-baik saja, aku memutuskan untuk meng-inkubasi diriku dengan cara tidak bermain media sosial pribadi, dan tidak banyak berkomunikasi dengan mereka-mereka yang berpotensi aku lukai (keluarga dan teman-teman dekatku).

If you read until this part, please help me by praying for me. Please pray so that I can still believe that God is in control. Tolong doakan supaya pikiranku gak macem-macem sehingga menimbulkan rencana-rencana bodoh di masa-masa depresi ringan ini, dan di saat yang sama supaya aku tidak menyangkali apa emosi yang tengah kurasakan. I know I have a responsibility with my own life. So in this case, I won't blame anyone. Not at all. I'm just trying to figuring out about this phase of my life.

Thanks a bunch! πŸŒˆ

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

A Deep Grief, A Great Bless (part 1)