Relasi. Adaptasi. Sebuah Refleksi.


Salah satu hal yang aku temukan dan yakini ada di dalam diriku sendiri adalah aku senang mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kerjasama tim, acara atau event, pokoknya segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan/persiapan - eksekusi - evaluasi - repeat. Itulah mengapa sejak sekolah hingga kuliah aku lebih sering terlibat sebagai tim acara dalam sebuah kepanitiaan maupun organisasi. Pernah sempat nyemplung jadi tim sponsor, tim danus, dan tim dekorasi namun semuanya terasa datar-datar aja. Peranku di bagian itu malah lebih sering menjadi tim hore saking membosankannya.

Hal yang sama terjadi di dunia karir. Sekali waktu pernah ingin menjajal bekerja di bagian redaksi media, namun ternyata aku cepat bosan. Mengerjakan hal yang ritmenya sama secara terus-menerus dalam 5 kali seminggu ternyata membuatku gak semangat. Akhirnya pilihan berkarir di dunia bisnis kuliner sebagai marketing, kreatif, tim hore media sosial, dan ruang lingkup yang serupa kembali aku tekuni hingga saat ini.

Kalau diperhatikan, aku menemukan ada kesamaan dari 2 hal yang aku paparkan di atas, yaitu target dan ekspektasi. Inget banget di beberapa event yang aku terlibat sebagai panitia bagian acara, aku dituntut untuk "berangan-angan" merancang sesuatu yang kita gak pernah bisa tau apa yang akan terjadi di hari-H nanti. Contohnya ketika aku menjadi panitia sebuah acara jurusan di kampus yang skalanya se-Indonesia. Skalanya nasional tentu enggak main-main yaa seriusnya. Saat itu aku bekerjasama dengan rekan-rekan satu kelas hingga satu jurusan Ilmu Komunikasi. Awalnya semua baik-baik dan menyenangkan buatku. Namun ketika di akhir acara, tim kami mengalami defisit. Wah, pengalaman buruk itu pastinya menjadi pukulan tersendiri untuk aku. Aku ngerasa gagal dalam hal mengatur keuangan. Bahkan ada bagian di sesi acara yang tidak sesuai dengan yang sudah kami rencanakan--di sini aku pun menyesali buruknya kemampuan komunikasi dan koordinasiku dengan tim divisi lain saat itu. Target peserta dan konsep acara sih tercapai. Namun sayang gara-gara kondisi defisit, ekspektasiku sebagai ketua acara justru hancur karena aku ingin (dan berharap) event tersebut berakhir bahagia.

Begitu juga dengan berkarir di dunia bisnis. Pasti ada target. Ekspektasi pemilik bisnis dan juga tim-tim yang bekerja di dalamnya juga pasti tercipta di benak masing-masing. Ekspektasi dalam dunia bisnis bisa jadi enggak jauh-jauh dari: perencanaan yang tereksekusi dengan lancar, kesuksesan yang tengah dirintis, profit bagus, seluruh anggota tim bersukacita, relasi antar karyawan makin erat dan kompak, dan lain-lain. Everything seems so much fun and challenging for me. Dan dalam perenungan beberapa waktu terakhir ini, aku makin menyadari bahwa ternyata aku punya jiwa event dan jiwa anak acara yang cukup besar. Planner, terstruktur, target yang terukur, dan tentu ekspektasi yang enggak mungkin dikubur.

Nah, lalu aku tiba pada pertanyaan ke diri sendiri: apakah ekspektasi itu adalah sesuatu hal yang salah? Atau wajar dan manusiawi aja?

Pertanyaan ini berkumandang di dalam hati lantaran aku sering sekali jatuh pada ekspektasi yang salah atau berlebihan. Ada beberapa kali momen di mana aku ngerasa hidupku hancur dan berantakan lantaran ekspektasiku yang pupus. Dan kali ini, sepertinya aku kembali mengalami 'kehancuran' itu gegara si ekspektasi-ekspektasi ini. Khususnya, dalam hal relasi.

Aku enggak lagi baca artikel atau buku khusus mengenai ekspektasi. Jadi aku gak akan mengupas tuntas perihal istilah 'ekspektasi' ini lebih dalam ya. Jujur aku cuma buka www.kbbi.kemdikbud.go.id, dan di sana istilah 'ekspektasi' diartikan sebagai 'pengharapan'. Sejauh yang aku tau dan pahami, berharap itu sah-sah aja. Sebuah respon reflek dan alamiah manusia dalam menjalani hidupnya. Kalo lagi sakit, kita berharap bisa cepat sembuh. Kalo kita lagi menunggu hasil wawancara kerja, kita berharap hasilnya kita bisa diterima bekerja. Kalo kita lagi masak mi instan, kita berharap airnya mendidih, mi-nya terebus dengan sempurna sesuai selera, dan kita bisa nikmati mi instan bersama dengan bumbu-bumbu mecin yang entah mengapa kok enak bikin nagih. Semuanya tergantung konteks kehidupan pribadi masing-masing dan pastinya persepsi individu kita pun turut berperan dalam hal ini.

Lalu untuk aku yang seringkali bertanya-tanya: "Apakah ini salah? Apakah itu salah?" membuat aku stres juga ketika aku bertanya pada diri sendiri kayak:

"Salah gak sih kalau aku berharap dia begini? Salah gak sih kalau aku ngerasa sedih dengan respon dia yang seperti itu? Salah gak sih kalau aku ngerasa kesal dengan kondisi dan keadaan yang seperti ini?"

...dan berbagai pertanyaan-pertanyaan serupa yang selalu diawali dengan "Salah gak sih...?". Terus, jadinya karena bingung menentukan salah-benarnya, aku jadi stres dan depresi sendiri menghadapi konflik dalam relasi, khususnya relasi dengan kerabat yang terbilang sangat dekat. Jujur aja, bawaannya ingin mencari subyek yang bisa disalahkan. Tapi kan aku juga paham enggak semudah itu untuk cepat menilai siapa yang salah atau siapa yang paling benar. Kalau aku dengan mudah dan cepatnya mengatakan "Ini salah dia!", aku rasa itu udah terlalu menghakimi. Namun kalau aku juga terlalu cepat mengatakan "Ini salahku!", wah bisa-bisa kadar minder dan rendah diri aku yang udah tinggi malah makin tinggi. Bisa-bisa apa-apa terus aja nyalahin diri sendiri. Dan dari apa yang pernah aku baca dan pelajari, terus-terusan sengaja menyalahkan diri sendiri dalam segala situasi itu bikin emosi dan self-esteem jadi gak sehat.

Nah, terus aku kudu piye? Apakah kita gak boleh berekspektasi dalam relasi? Atau...apakah kita gak boleh pasang target ketika berelasi?

Ini pertanyaan-pertanyaan yang juga terus berkumandang dalam benakku beberapa waktu terakhir ini. Dan memang jujur aja munculnya ketika aku lagi diboncengin babang ojek onlen. Menelusuri jalan raya saat pulang kantor di malam hari yang teduh, tenang, adem, pertanyaan-pertanyaan tersebut ikut menemani pikiran sepanjang perjalanan.

Lalu di dalam ke-soktau-anku, aku menemukan beberapa hal yang aku sadari dan ingin aku renungkan lebih lanjut...

---

Photo by Vonecia Carswell on Unsplash


Kalau bicara tentang relasi, atau hubungan antar manusia, aku rasa ada yang sifatnya terikat dan tidak terikat (e btw ini temen-temen yang lebih fasih teori tentang humaniora bisa koreksi ya, monmaap sebelumnya berhubung ini ranah blog pribadi jadi kadang memang penulisnya rada sotoy nulisin observasi pribadi doang 😝). Relasi terikat itu misalkan keluarga kandung--terikat hubungan darah karena kita dilahirkan oleh manusia juga. Sifatnya otomatis. Yang melahirkan aku otomatis namanya ibu, pasangannya namanya bapak. Jujur, belum pernah nemu kasus yang kebalikannya, misalkan yang melahirkan kita itu pihak laki-laki gitu, asli belum nemu. Terus ini sebatas konteks ke-otomatisan-nya aja ya. Dalam kasus dan kondisi keluarga tertentu ya belum tentu juga bapak-ibunya adalah yang sedarah dengan dia.

Terus ikatan lainnya adalah ikatan profesional, misalkan relasi di dalam perusahaan atau lembaga tempat kita bekerja. Relasi kita dengan bos, rekan, dan semua orang yang berada di dalam tempat kerja tersebut. Mungkin enggak selalu ada ikatan darah, tapi jelas ada ikatan profesional; di mana ketika kita melamar pekerjaan dengan motivasi apapun (cari uang lah, cari pengalaman lah, ngisi waktu luang lah, whatever it is) terus kita diterima untuk menjadi bagian dari komunitas/keluarga/struktur organisasi/apalah sebutannya itu, secara otomatis juga kita terikat dalam relasi profesional. Ada sebuah proses membangun relasi yang sadar-gak sadar sedang terjadi di sana. Nah, dalam banyak kasus, kalau udah gak menemukan kecocokan antar sesama, konflik yang gak bisa diselesaikan/gak mau diselesaikan, biasanya pilihan resign atau mengundurkan diri bisa diambil dengan mudahnya. Resign inilah yang "memutuskan" relasi profesional si pekerja dengan orang-orang sekitarnya dalam sistem/komunitas/struktur/organisasi atau apalah itu namanya. Setelah resign, meski relasi profesional sudah tak lagi terbentuk, namun biasanya masih ada yang namanya relasi pertemanan. Mungkin waktu ngantor punya rekan yang langganan jadi tempat curhat, tempat diutangin paling baik, rekan nongki, atau apapun. Jadinya pas resign, meski sudah tidak di bawah "payung" yang sama, mereka bisa aja jadi teman baik.

Dari kedua bentuk relasi yang aku temukan di dalam ke-sotoy-anku, aku enggak pernah mengalami yang namanya rekomitmen relasi. Gini-gini, ketika aku berada di lingkungan keluarga, misalnya, papa-mamaku gak pernah nanya: "Meista, apakah kamu bersedia untuk terus menjadi anak kami?". Nor I have ever been menanyakan hal sebaliknya: "Ma, Pa, apakah kalian akan selalu menjadi orang tuaku?". Gak ada tuh kayak gitu. Kocak keknya kalau terjadi, wkwkwk. Jadi ya semuanya mengalir aja gitu. Terbentuk dan terbangun dengan sendirinya melalui berbagai macam proses yang berjalan.

Begitu juga dalam relasi profesional. Mungkin aku pernah ditanya hal serupa tapi pasti konteksnya untuk perpanjangan kontrak. Di suatu tempat kerja, aku pernah ditanya oleh atasan seperti ini: "Meista, apakah kamu masih mau melanjutkan bekerja di sini?". Nah, beliau menanyakan hal itu karena memang sudah waktunya untuk perpanjang kontrak kerja. Jika aku memilih lanjut, ya aku akan tanda tangan kontrak. Tapi jika enggak, aku berarti memilih untuk resign sesuai dengan prosedural kantor yang sudah ditetapkan.

Lalu gimana dengan relasi di luar ini? Relasi-relasi yang terbangun dan terbentuk dengan sendirinya karena mungkin kita pernah mengerjakan hal bersama. Mungkin kita pernah saling tolong-menolong dalam sebuah peristiwa, terus jadi berteman. Yah menurutku banyak banget sih peristiwa-peristiwa yang bisa memunculkan sebuah relasi baru. Entah mungkin selama berelasi itu cuma yah sebatas 'gue tau elo, elo tau gue'. Atau memang malah makin dekeeet banget sampe berasa kayak keluarga sendiri. Atau malah ya yaudah biasa aja, sebatas "Oh, ya, oke. Kamu pernah hadir di hidup saya dan saya ingat kamu tapi mungkin bisa aja lupa dan pangling kalau bertemu di jalan." Atau bisa juga relasi yang tadinya terbentuk dan hangat kemudian berubah menjadi dingin dan suam-suam kuku karena berbagai macam faktor (visi dan mimpi pribadi yang berlainan seiring dengan makin dewasa--juga cara menggapainya yang pasti masing-masing orang punya metode dan 'helper' yang beda-beda; karakter yang sudah tidak lagi saling membangun, lingkungan sekitar kita yang mengubah pola tindakan dan pikiran kita, atau apapun).

Sebuah ke-sotoy-an lain tentang relasi yang dibangun dengan sengaja, yaitu pacaran--dari aku yang saat ini masih single dan memang belum menjalin relasi pacaran dengan siapapun. Menurutku relasi semacam ini pun butuh komitmen dan kesediaan hati dari kedua pribadi untuk mau sama-sama mengenal, sama-sama belajar, dan sama-sama nentuin tujuan "Mau di bawa kemana hubungan kita?" macem lirik lagunya Armada. Mungkin ada aja orang pacaran tujuannya untuk "icip-icip" gimana sih yang katanya enaknya punya pacar; gimana sih yang katanya kalo punya pacar itu kita gak bakal kesepian, dan lain-lain. Ada juga yang mungkin pacaran tujuannya benar-benar untuk menjalin relasi pertemanan dan serius mengarah ke pencarian teman hidup. Entahlah, kurasa macem-macem sih pandangan orang tentang pacaran. Tapi buatku, relasi pacaran itu sendiri adalah ya relasi berteman, di mana sepanjang prosesnya aku ingin mengenal si cowok beserta karakternya, dan aku juga bersedia dikenal si cowok dan diketahui karakternya, terus ya sama-sama cari tau kehendak Yang Maha Kuasa apakah Ia berkenan jika kami hidup bersama, dan selama prosesnya juga dilihat apakah kita cocok apa enggak jika jadi teman hidup, gitu-gitu lah. Jadi buatku pribadi, menjalin relasi dalam tahap pacaran bukan melulu soal kita punya pacar atau enggak punya. Kata-kata 'punya' itu aku ngeliatnya gimanaaa gitu. Kayak ngejadiin si pasangannya adalah sebuah objek, bukan manusia. Ya dia itu manusia woey, bukan barang yang bisa lu miliki atau kagak. Belum lagi soal stigma atau stereotipe mayoritas orang kalau ngeliat kerabatnya belum menikah atau bahkan masih jomblo, dibilangnya gak laku. Yasalam emangnya barang, pake segala laku-gak laku?! πŸ˜‚ Itu orang keleus, kenapa dipandangnya kayak barang gitu bisa laku apa kagak. Gak sekalian aja lo pajang tu orang di olshop. Pakein promo gratis ongkir. Biar laku kan katanya.

---

Ngalur ngidul panjang lebar ngomongin relasi sebenarnya Meista mau nulis apaan sih di postingan ini?

Dari 2 postingan aku yang sebelumnya, aku bilang bahwa aku tengah kembali menghadapi konflik di dalam relasi. Jujur aja rasanya enggak nyaman banget. Super enggak enak. Ya siapa sih memang yang mau terlibat dalam konflik? Apalagi ini konflik yang melibatkan relasi dengan orang-orang dekat. Mungkin kalau berkonflik dengan orang yang relasinya gak deket-deket amat kita bisa pilih jalan menghindar. Atau menjauh. Bahkan kita bisa aja menilai "Ya yaudah, gak ada ngaruhnya sama hidup gue kok. Lupain aja". Namun tentu berat banget ketika konflik sedang terjadi dalam sebuah relasi yang bagiku seberharga itu, sedekat itu. Rasanya ingin menghindar, menjauh, tapi ya susah juga, tapi ya bingung juga. Akhirnya aku sempat mengalami depresi ringan beberapa waktu yang lalu. Sepanjang proses aku mencerna apa yang tengah terjadi, inilah kesimpulan yang sebenarnya udah umum banget tapi kadang suka dilupain, apalagi kalo lagi emosi: manusia gak akan pernah lepas dari salah dan masalah.

Menyadari fakta tak terbantahkan ini, aku menemukan beberapa pelajaran berharga yang ingin banget aku ingat dan aplikasikan sepanjang hidup--semoga blog ini jadi pengingat pribadi juga yakhaaan:

---

1. Gak Perlu Pura-Pura Baik-Baik Saja


Aku ingin mengutip judul drakor yang sempat jadi perbincangan banyak orang: It's Okay to Not Be Okay. Aku sih gak pernah nonton dramanya yaa, netpliksnya belum bisa premium karena belum punya kartu kredit, wkwkwk. Tapi aku suka dengan judulnya yang seakan-akan mengingatkan aku bahwa ya memang se-engga apa-apa itu kok untuk merasa tidak baik-baik saja. Sejak peristiwa patah hati (lagi) di bulan April 2020 kemaren, aku mencoba belajar untuk tidak menyangkal apa yang sedang kurasakan. Aku belajar untuk tidak bohong sama diriku sendiri perihal emosiku yang lagi kenapa-kenapa. Jujur aja, sebagai anak pertama alias anak sulung, kecenderunganku untuk menjadi "wonder woman" itu ada banget. Aku harus kuat, aku gak boleh lemah, aku bisa melakukan segalanya, aku bisa membantu semua orang yang butuh bantuanku. But the fact is: I can't. Aku juga cuma manusia biasa yang punya kelemahan dan keterbatasan, termasuk dalam hal manajemen emosi dan konflik. Jadi ketika konflik melanda, aku mencoba untuk mengakui dan mencerna dulu apa yang tengah kurasakan. Dan tentunya aku stop untuk berpura-pura sedang baik-baik aja.


2. Adaptasi

Photo by KP Bodenstein on Unsplash


Ternyata beradaptasi itu gak cuma berlaku ketika kita masuk ke lingkungan baru, atau lagi membangun sebuah relasi yang baru. Tapi adaptasi juga diperlukan ketika kita sudah berada dalam sebuah komunitas atau sistem relasional yang memang akan terjalin selamanya--keluarga deh maksudnya.

Tinggal bersama orang tua dan adik membuat aku belajar bahwa seiring dengan berjalannya waktu, akupun harus beradaptasi dengan keadaan yang ternyata bisa aja berubah. Aku makin dewasa, begitu juga adikku. Mama papaku juga makin bertambah usianya. Kami yang ada di tahun 2000 pasti berbeda dengan kami yang kini ada di tahun 2020 penuh virus korona. Ketika aku merenungkan dan mencoba mencerna apa yang lagi kurasakan di rumah akhir-akhir ini, konsep adaptasi ini tiba-tiba keinget lagi. Seperti yang pernah aku tulis di postingan blog sebelumnya: mungkin saat ini akunya yang lagi berubah, entah jadi makin baik atau makin buruk (ya berharapnya sih jadi makin baik yaa). Tapi dengan aku yang lagi berubah ini, aku gak mungkin dan gak bisa memaksa kondisi lingkungan sekitarku untuk ikutan berubah juga. Atau sebaliknya, kondisi lingkungan sekitarku yang lagi berubah, dan akunya enggak. Nah makanya, aku rasa proses adaptasi pun sepertinya tetap perlu dilakukan sekalipun di lingkungan yang memang kayaknya udah biasa banget dan deket banget. Aku harus belajar menerima keadaan dan kenyataan, meski keadaan dan kenyataan itu gak aku sukai dan terasa pahit.

Oh ya, 1 lagi. Kenapa akhirnya adaptasi tetap perlu dilakukan, mungkin karena kita perlu ingat juga bahwa dalam setiap relasi itu pasti ada konflik. Tidak ada konflik dalam relasi itu mustahil. Se-mustahil ngerebus mi instan tapi gak pake air.


3. Jangan Ambil Beban Kebanyakan

Photo by Holly Mandarich on Unsplash


Bagiku hidup itu seperti menempuh sebuah perjalanan. Tadi malam aku tiba pada perenungan kayak: "Jangan-jangan gue terlalu banyak ngambil beban dan sekarang capek sendiri". Mungkin ini dipengaruhi rasa ingin menjadi wonder woman kayak yang tadi aku sebut di paragraf-paragraf sebelumnya. Yah, mungkin ini bawaan aku juga yang jadi anak pertama, bahwa sepertinya semua beban harus ikut aku bawa, harus ikut aku urusin, harus ikut aku pikul. Nyatanya, akupun punya keterbatasan. Ada batas 'muatan' di dalam diriku yang ternyata sudah overlimit. Layaknya kalau lagi bepergian, terus bawa ransel, ini aku ngisi ransel dengan benda-benda yang enggak aku perlukan dalam perjalanan itu. Akhirnya sekarang aku memutuskan untuk berhenti sebentar, beristirahat di 'pinggir jalan', dan mencoba keluarin benda-benda apa yang ada di 'ransel' aku itu, lalu pilih mana yang memang perlu aku bawa, mana yang enggak perlu dibawa. Apa-apa aja hal yang menjadi bagianku, mana yang mungkin bagianku tapi enggak perlu diurusin sekarang, dan mana yang sama sekali bukan bagian aku.

Tadi pagi aku menyampaikan ke papa bahwa aku sepertinya mulai kelelahan menghadapi persoalan di rumah ini (well yea, praise the Lord akhirnya kami berkomunikasi lagi selama 2 minggu terakhir aku cuma diem-diem aja). Mulai dari rumah yang rawan banjir, konflik mama dan papa, konflik mama dan adik-adiknya, belum lagi adik aku juga yang aku urusin karena dia masih muda--and because I love her as well. Terus ya belum lagi aku berurusan dengan diriku sendiri--karakter, pekerjaan, pelayanan, kehidupan sosial, relasi, dan lain-lain. Gilak, asli ruwet banget ternyata kalau diuraikan. Akhirnya aku sadar bahwa aku 'kelebihan muatan'. Dan aku bilang sama papa tadi pagi:

"Aku gak mau tua sebelum waktunya. Aku mau menikmati masa muda aku dengan segala kesempatan yang Tuhan kasih. Aku mau cari pacar. Aku mau cari teman hidup. Aku masih mau menikmati dan memperluas kehidupan sosial aku di masa muda ini."

Ini beneran aku ngomong kek gitu, wkwkwk. Terus papaku ngingetin lagi bahwa beliau memang pernah memperingati aku untuk tidak terlalu jauh mengurusi rumah/rumah tangga mereka. Bukannya enggak boleh, tapi memang akunya yang akan terbeban berat dengan rumah dan segala konflik yang terjadi di antara mereka. I pressume this is a true signal that I had to drop some of my burden, khususnya yang memang bukan menjadi bagianku.

Dengan tetap akan membuka diri membantu segala kondisi di rumah, membantu mama dan papaku juga dengan kemampuanku, akhirnya aku memutuskan untuk fokus dan bertanggungjawab pada hidupku sendiri. Ya sama adek juga karena adikku tergolong generasi muda juga kan. Kadang mikir gini juga: aku melayani banyak anak muda di luar sana, tapi masa adikku sendiri enggak dibantu? That's what I've thought.

Dan puji Tuhan ketika mendapat kejelasan ini, aku jadi enggak begitu terbeban karena aku fokus pada apa yang menjadi bagianku untuk terlibat. Aku belajar untuk makin peka mana hal yang memang harus menjadi perhatian dan tanggung jawabku, dan mana yang bukan. Sehingga pikiran dan hati ini bisa lebih fokus dan plong rasanya.


4. Ketahui Peranan dan Bagian Kita Dengan Baik

Photo by Fabian MΓΈller on Unsplash


Kita gak akan pernah bisa jadi wonder woman atau superman. Tanpa perlu menjadi manusia yang egois, kita tetap perlu tahu sampai mana batas kemampuan kita. Maka dari itu, mengenal diri sendiri dengan baik menjadi konsep pembelajaran untuk aku pribadi seumur hidup. Selalu pengen peka sejauh mana sih peran aku di sini? Sejauh mana sih peran aku di bagian sana? Dan seterusnya.

Lalu terkait soal relasi, aku belajar bahwa kita gak akan pernah bisa memaksakan orang lain untuk meresponi kita sesuai sama apa yang kita mau, sebesar apapun ekspektasi kita terhadap orang tersebut. Jadi daripada mumet dan ruwet mikirin karakter orang, mikirin kenapa dia begini, kenapa dia begitu, apa aku yang salah yaa, ya mending fokus aja ngurusin karakter diri kita. Kadang memang kesel juga gitu ya, ketika menghadapi orang yang karakternya dia memang begitu cuma ke kitanya enggak enak banget. Bahkan kadang-kadang bisa nyakitin. Ya mungkin itu memang sudah menjadi karakter asli dia. Bukan urusan dan bagian kita untuk mengubahnya. Yang perlu kita urusin gimana caranya ketika, misal, terjadi konflik, apa respon kita ketika menghadapi si karakter dia yang ngeselin, gitu-gitu. Aku sudah sampaikan di bagian atas tentang jenis-jenis relasi yang tengah kupelajari. Jika konflik terjadi di ruang lingkup relasi yang terikat (contohnya keluarga dan kantor), ya perlakuan manajemen konfliknya tentu berbeda dengan relasi antar temen biasa misalnya, atau temen deket, atau komunitas atau apalah yang sifatnya lebih enggak terikat.

Pokoknya dari apa yang aku pelajari tentang bagaimana mengelola emosi secara sehat, intinya kita jangan deh menyangkal emosi yang kita rasakan. Biar aja dikatain "Gitu aja baper lu!", "Apaan sik gitu doang ngambek", ya yaudah biarkan orang lain berkata seperti itu. Mereka gak tau dengan apa yang hati kita rasakan. Inget aja manusia itu juga punya hati. Kita diciptakan oleh Yang Maha Kuasa untuk punya hati dan perasaan. Kalau perkara hati dan emosi aja diabaikan atau disepelekan, ya lama-lama bisa sakit juga. Setidaknya diri kita deh yang peduli sama kesehatan hati dan mental kita sendiri. Orang lain belum tentu bisa peduli sama kita tentang hal-hal itu. Yakhan?

(And anyway I'm on learning progress to be more logical as well; mengingat akupun anaknya memang dominan melankolis, jadi apa-apa dirasain, apa-apa dipikirin 😼)


5. Selalu Ada Pilihan


Apa yang aku tulis dalam blog ini adalah tentang pilihan-pilihan yang aku buat. Frasa "hidup itu pilihan" tuh ternyata bener banget ya. Kita sebagai manusia punya kebebasan untuk memilih dan bertanggungjawab dengan pilihan yang kita ambil.

Meresponi konflik relasi yang terjadi akhir-akhir ini di hidup aku, aku memilih untuk tidak menyerah pada keadaan--seperti yang pernah aku share juga di tulisanku sebelumnya. Bersyukur pada Tuhan aku enggak memilih pilihan-pilihan bodoh yang sempat terpikirkan sebelumnya ketika depresi ringan kemaren. Salah satunya tentang mengakhiri hidup--kadang mikir juga: gini kali ya yang dirasain beberapa artis Korea ketika mereka depresi. Aku sih masih ringan dan waras dan sadar, tapi mereka mungkin udah se-enggak waras itu sampai akhirnya mereka memilih untuk mengakhiri hidup.

Aku memilih untuk bertahan, meski keadaan bener-bener sulit dan seakan-akan gak bisa dilawan. Terpikir gini juga sih: "anj*r, ngapain gue pake mikir kayak gitu. Napas berakhir mah pasti, tapi kan gak perlu dipercepat." Dengan kesadaran inilah aku pun memutuskan untuk tetap semangat menjalani hidup. Kembali semangat dengan Meista yang seperti ini; yang doyan makan mi instan, yang rada receh dan gesrek di beberapa kondisi, yang bisa serius juga kalau momennya lagi serius, yang suka belajar tentang kehidupan, yang sering penasaran dengan hal-hal kecil dan detil, dan tentunya yang punya kelebihan dan kekurangan tersendiri yang gak perlu dibandingin sama orang lain 🌺.


6. Keep going!

Photo by Heidi Fin on Unsplash


Bertahan dalam situasi sulit dan keep going menjadi keputusan aku pasca kembali menghadapi konflik relasi yang pelik ini. Ditambah lagi dengan sebuah kesadaran bahwa manusia gak akan pernah lepas dari salah dan masalah. Ketika kembali mengalami fase di mana banyak hal terjadi tidak sesuai sama apa yang kita mau atau harapkan, aku rasa yang tersisa tinggal iman dan kepercayaan kita pada Tuhan. Apakah aku masih beriman bahwa ada Pihak yang mengontrol segala hal di muka bumi ini? Apakah aku masih mau percaya kalau Tuhan akan nolongin aku dengan cara-Nya yang mungkin gak aku pahami?

So the choice is ours. And I stay to keep going, have faith, and trust God with all of my heart, mind, body, and soul.

I won't punish myself. I will keep learning, keep appreciate myself for the good and the bad things I have, won't be too harsh to myself, and keep learning. Always learning.

🌈

---

Sekilas kisah...

Saat ini aku tengah merasa lebih baik, puji syukur pada Tuhan! Sebenarnya ada 1 hal gila yang aku lakukan kemarin di tengah-tengah emosi dari konflik relasi. Aku itu di kantor harusnya 4:2 WFO:WFH. Tapi karena aku lagi mumet banget di rumah (seperti yang pernah aku ceritain di postingan blog sebelumnya), aku mengajukan untuk WFO selama 6 hari ini. Jadi dari hari Senin-Sabtu, aku bekerja di kantor. Dalam keadaan akhir bulan. Uang menipis. Belom gajian. Masih perlu ongkos untuk pulang-pergi rumah-kantor.

Ini bener-bener kurang logis ya kan, karena keputusan dibuat dalam keadaan emosional. Tapi aku percaya Tuhan se-baik itu. Melalui kebaikan bos, atasan, dan rekan-rekan kantor, 6 hari full bekerja di kantor menjadi salah satu bentuk recovery aku hingga saat ini. Awalnya aku khawatir ini cuma jadi pelarian atau pelampiasan--which is true--tapi ternyata ada proses pemulihan hati yang terjadi di lingkungan kantor. Belum lagi kesempatan aku untuk melakukan konseling dengan salah satu kakak yang sangat baik hati bersedia membuka konseling dengan aku (ini juga karena saran dari beberapa teman, thank you guys! πŸŒ»).

Mau banget berterima kasih buat kakak-abang, mbak-mas, teman-teman, adek-adek yang menolongku dan memberi aku kekuatan lagi ketika menghadapi fase ini. Sangat bersyukur dengan apa yang kalian bagikan ke aku, dan itu bikin aku makin belajar lagi untuk tidak menaruh ekspektasi terlalu tinggi di dalam relasi. Mungkin kalau aku coba ajukan pertanyaan ini lagi ke diriku: "Apakah kita gak boleh berekspektasi dalam relasi?", aku bisa jawab: "Ya tentu boleh. Kenapa harus gak boleh? Yang harus jadi perhatian kan ketika ekspektasi itu enggak terjadi, atau malah yang terjadi kebalikannya. Kecewa, sakit hati, sedih, itu pasti ada, nah urusin deh hal-hal itu di diri kita sendiri. Karena ya balik lagi, kita gak bisa maksain orang lain untuk meresponi kita sesuai dengan apa yang kita mau atau harapkan. Bahkan bisa aja orang yang kita pikir dia cuek-cuek aja sama kita, ternyata dia yang paling merhatiin kita. We never know."

Self-talking yakhaaan.

Oh, sama ya mungkin jangan terlalu menggenggam erat si ekspektasi itu juga kali ya. Since hidup kita ini berjalan dinamis dan mengalir, aku rasa fleksibilitas dalam relasi itu juga diperlukan sih keknya. Seperti yang aku singgung beberapa kali di bagian atas, ketika aku atau lingkungan sedang berubah, ya coba terima aja dulu. Coba adaptasi aja dulu, tanpa perlu kehilangan identitas atau jati diri sendiri.

Since people come and go in this life, aku sekarang mencoba untuk fokus pada relasi yang memang terikat atau sedang dibangun. Ya relasi dengan keluarga inti, relasi dengan orang-orang yang berada di tempat kerja, relasi dengan rekan pelayanan, ya sekitar itu aja dulu deh fokusnya. Termasuk relasi dengan diriku sendiri. Selebihnya ya mungkin aku dan mereka yang tidak terlalu terikat akan menjadi 'come and go'-people.

---

Waw, thanks loh buat kalian yang udah baca sampai siniiii 😍. Ini aku gak nyangka juga bisa nulis sepanjang ini. Tau gak sih, apa yang aku tulis kali ini merupakan hasil perenungan sepanjang perjalanan pulang-pergi rumah-kantor di pekan ini; sambil diboncengin babang ojol ya kan, diterpa semilir-semilir angin malam dan tetesan air hujan, juga sambil mendengar deru mesin mobil dan klakson.

Seru juga ternyata mencari ketenangan sambil merenung dan sambil disupirin babang ojol. Wkwkwk 😁

Thank you, anyway! Hope you'll get a lesson for yourself through my story πŸŒˆ

See you on the next post. God bless!

***

CERITA LAINNYAAA~:

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN