Tidak Mau Menyerah pada Keadaan

Photo by Oliver Hihn on Unsplash


Rasanya ingin sekali berkata:

"Itu kan pasangan hidupmu, Pa! Papa yang milih dia untuk menjadi istri, terimalah semua baik-buruknya."

Sebuah ujaran yang ingin sekali aku lontarkan setiap kali beliau curhat tentang sikap mama yang begini dan begitu.

Well, awalnya aku masih setia mendengar dan memberi masukan. Lama-lama, aku mulai kelelahan dan mencapai batas maksimalku sebagai seorang anak yang memberi nasehat pada orang tua terkait relasi rumah tangga suami-istri.

Wait...ini gak kebalik??

Bukannya harusnya orang tua yang memberi contoh pada anak bagaimana harusnya menjalani kehidupan berumah tangga? Hey, aku masih single. Lajang. Pacaran aja belum, apalagi menikah. Terus kenapa harus aku yang terus-menerus menjadi "konselor" buat rumah tangga mereka?! Pada kesadaran inilah aku mulai merasa capek dan lelah.

Beberapa waktu yang lalu akhirnya aku menyadari bahwa sepertinya aku terlalu dalam dan larut mencampuri masalah rumah tangga mereka. Bahkan memori masa laluku malah makin besar dan jelas menghantuiku, ketika aku mengingat bagaimana mengerikannya setiap mereka bertengkar hingga akupun ikut tersulut emosinya. Menangis dan ngamuk menjadi respon yang sepertinya sudah biasa aku lakukan. Namun makin ke sini, sepertinya aku sudah memiliki opsi yang lain. Aku gak mau berlama-lama memberi respon yang sama. Biarlah, mungkin bertengkar menjadi hal yang lazim di kalangan kehidupan suami-istri, dan aku gak seharusnya terus-terusan ikut campur. Aku masih muda. Aku punya kehidupan yang harus aku jalani dan pertanggungjawabkan. Aku masih ingin belajar banyak tentang dunia ini. Aku masih ingin berelasi dengan sebanyak mungkin orang tanpa dikuasai rasa takut karena aku memiliki keyakinan Tuhan menopang hidupku.

Berangkat dari pemilihan opsi ini, sedikit-sedikit aku mulai lebih diam dan cuek di rumah. Meski aku tak menyangkal bahwa aku tahu isu apa yang sedang terjadi di antara orang tuaku. Mamaku sangat amat minder dan rendah diri, dan ia pernah menyampaikan bahwa ia butuh pengakuan dari orang lain bahwa dia pun memiliki kelebihan. Tapi ketika ia pernah diapresiasi orang lain, responnya malah merendahkan diri sendiri, like: "Ah, enggak. Saya mah engga ada apa-apanya."

APAAN SIH?! Belum selesai sampai di situ. Saking minder, rendah diri, dan terlalu lama berenang-renang dalam judgment benar atau salah, sadar-gak sadar beliau seringkali gak mau kalah ketika sedang berargumen dengan papa. Udah tau salah, tetep gak bisa dibilangin. Gak mau belajar. Ketika sadar dirinya salah, nanti beliau nangis-nangis drama bombay yang lebaynya beneran gak ketolongan. Padahal niat kami hanya ingin menyelesaikan masalah tanpa ingin melukai hatinya. Cuma ya itu, saking mindernya, rendah dirinya, mungkin pride-nya juga yang teeeerlalu tinggi, jadi ketika ditegur tuh beliau gak pernah bisa terima. Apa yang ada di dalam pandangan dan pikirannya saja itulah yang benar menurut dia. Yaudalah, capek kan ya.

Hal ini yang sering jadi bahan curhatan papa padaku dan adikku. Papa pun di sisi lain seperti tidak memiliki daya kepemimpinan ketika menghadapi konflik. Aduh, asli deh aku tuh gak ngerti ya. Aku kan belum menikah ya, gak paham ini tuh harus gimana kalo suami-istri lagi konflik, wkwkwk. Aku gak melihat papa pun mengambil peran pemimpin di rumah. Mamaku pun juga somehow malah lebih dominan dan suka gak mau denger apa kata suaminya. Jadi kayak mama yang memimpin, bukan papa. Ini gimana sih woey harusnyaaaa?!

---

So now I just want to focus with my own life and my sister's. We both in our young and productive age. Aku gak mau kami berdua terlalu terlibat dengan konflik orang tua terlalu dalam, while kami aja masih perlu belajar soal relasi yang sehat, emosi yang sehat, menumbuhkan karakter, dan manajemen konflik yang baik. Dan dari apa yang kualami akhir-akhir ini, untuk saat ini aku melihat rumah dan keluarga sedang menjadi tempat yang tidak terlalu baik untuk pertumbuhan karakter kami, untuk kesehatan mental dan emosi kami.

Aku tahu dan paham bahwa kami berdua tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga yang seperti apa, tapi seiring dengan kami yang makin dewasa, usiapun bertambah nominalnya, aku yakin kami punya pilihan ingin menjadi pribadi yang seperti apa. Mama dan papa bagaimanapun juga tetap menjadi orang tua kami. Tidak ada yang bisa mengubah dan membantah fakta itu. Namun terkait hidup kami, karakter, kesehatan fisik-mental-hati-jiwa-pikiran, kehidupan relasi kami dengan sesama, aku rasa itu menjadi tanggung jawab pribadi kami.

Ya setidaknya hal itu yang aku rasakan dan sadari akhir-akhir ini. Tentu aku tidak mau menyangkali apa yang sedang aku rasakan, tidak mau menyangkali emosiku sendiri, namun aku juga memutuskan untuk tidak mau berlarut-larut terlalu lama dalam situasi depresi ringan ini. Aku yakin Tuhan akan dan sedang menolongku dengan cara yang mungkin belum aku sadari atau ketahui. Aku tidak mau menyerah pada keadaan.

---

Thanks for reading my story πŸŒˆ

Enaknya curcol di blog pribadi gini adalah aku gak akan mendengar atau melihat respon macem:

"Kamu mah masih mending. Aku lebih parah, blablabla..."

"Yah, mungkin kamu harus tahu bahwa kamu gak sendirian. Banyak orang di luar sana juga yang merasakan penderitaan yang sama, malah lebih parah, blablabla..."

"Sudahlah, kamu lagi sensitif mungkin. Gak cuma kamu yang mengalami hal itu, blablabla..."

Some responses that hurting me deeply.

Entah lah ya, aku pun paham bahwa aku bukan satu-satunya manusia yang hidup di muka bumi ini. Tapi bukan berarti aku ndak punya masalah dong? Curhat ke manusia dan malah ditimpalin masalahnya si manusia itu sampai pake bilang "...kamu masih mending, aku lebih parah" itu tuh kayak berarti masalah yang kuceritakan enggak ada artinya. Enggak ada harganya. Sepele.

Wow. Keren banget, ingin rasanya jadi manusia super yang kalo ada masalah semuanya dinilai sepele aja kalo gitu. Hey aku juga tau kalau semua orang di dunia punya masalah masing-masing, tapi bisa gak sih hargai dikit kalo aku cerita? Tolong hargai kalo aku juga manusia yang bisa punya masalah.

Aku tau betul orang-orang yang seperti ini dan sepertinya makin dewasa aku makin ingin menentukan mana-mana orang yang lebih bisa kupercaya untuk berbagi kisah hidup, mana yang udah gak trusted lagi. Aku pun paham kok bahwa aku gak bisa membatasi atau menghalangi bagaimana orang akan merespon terhadap ceritaku. Tapi aku tentu punya pilihan untuk percaya pada siapa-siapa saja aku bisa berbagi cerita hidup.

That's it.

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

A Deep Grief, A Great Bless (part 1)