Suka dan Luka Mengenal Diri Sendiri

Photo by Zuzana on Unsplash


(Tulisan ini telah tayang pertama kali di situs WARUNGSATEKAMU.ORG dan telah melewati proses penyuntingan oleh tim editorial).

Ooohh iyaaah, btw tulisan ini sebenarnya lanjutan dari tulisan yang ini...😁

---

Pada bulan April lalu, aku mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa patah hati yang kualami. Aku belajar bahwa berharap diterima oleh manusia saja tidak akan pernah bisa membuatku merasa cukup atau memperoleh kepuasan sejati (aku sempat menuliskan prosesnya di sini). Aku pikir peristiwa penolakan itu sudah cukup membuatku sadar akan pentingnya berelasi dengan Tuhan dengan motivasi hati yang murni; bukan hanya rutinitas keagamaan belaka. Namun ternyata Tuhan masih ingin membentuk aku dan menyingkapkan hal-hal baru tentang diriku sendiri, meski rasanya sakit dan aku harus terluka secara emosi dalam prosesnya.


Menyadari Masalah di Dalam Diri dari Konflik Relasi

Salah satu hal yang tidak aku sukai dari masa-masa pandemi ini--aku rasa banyak orang bisa merasakan hal yang sama--adalah menurunnya intensitas pertemuan tatap muka. Sehingga semua alur komunikasi diusahakan sebisa mungkin dilakukan melalui media elektronik dan aplikasi pesan singkat. Sayangnya, bahasa chat yang menjadi fitur utama aplikasi tersebut benar-benar terbatas dalam menyampaikan makna pesan ketika berkomunikasi. Tidak ada bahasa tubuh, ekspresi dan intonasi nada bicara yang sebenarnya bisa makin melengkapi makna dari pesan yang ingin disampaikan. Sehingga, salah paham kerap kali terjadi.

Ceritanya begini. Aku berselisih paham dengan salah satu teman kelompok tumbuh bersama (KTB). Di suatu pagi, kami sedang mengobrol santai melalui grup WhatsApp. Ketika sedang membicarakan sebuah topik, aku merasa ada perubahan gaya bahasa chat dari temanku itu. "Terdengar" lebih cuek dan jutek, menurutku. Lalu aku klarifikasi saja di sana apakah dia memang sedang kesal padaku, atau mungkin aku telah menyampaikan hal yang menyinggung perasaannya. Aku meminta dia untuk jujur saja. Ternyata benar. Dia merasa direndahkan oleh kata-kataku. Padahal, aku mengatakan hal yang dimaksudkan untuk kesehatan mentalnya sendiri (saat itu kami tengah membicarakan topik tentang bermain media sosial). Ironisnya, aku meminta dia jujur tapi aku sendiri ternyata tidak siap untuk menerima kejujuran itu. Aku ikut tersinggung, karena motivasiku sama sekali tidak ingin merendahkan atau menggurui dia. Sakit hati karena merasa dihakimi, aku pun meluapkan emosiku di grup tersebut dan berjanji untuk tidak akan berbagi hal baik apapun lagi di sana.

Aku sedih sekali. Tangis air mata tidak dapat kubendung, padahal saat itu aku sedang berada di kantor (bersyukur sekali aku sedang mendapat shift sendirian jadi tidak akan ada yang melihat). Konsentrasiku hilang saat bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di dalam pikiran: aku mengasihi dia, kenapa dia malah menilaiku begitu? Aku sudah biasa dihakimi orang lain, tapi mengapa dia, yang adalah teman baikku, ikut menghakimiku juga?

Aku berdoa dengan air mata dan tanpa kata-kata. Saat itu hanya kebingungan dan kesedihan yang melanda. Ketika tangisanku sudah mereda, barulah aku bertanya: Tuhan, aku kenapa ya? Aku arahkan pikiranku sejenak untuk merenung, lalu aku mengontak beberapa orang yang kupercaya untuk mencurahkan isi hati. Dari beberapa orang yang kuceritakan masalah ini, ada benang merah yang kuperoleh untuk "pertolongan pertama pada konflik": tenangkan diri terlebih dahulu. Akhirnya aku putuskan untuk tidak melanjutkan pertengkaran di grup WhatsApp, bahkan temanku itu pun sudah mengontakku secara personal tapi aku putuskan untuk tidak membuka chat darinya. Pertimbangannya karena emosiku masih belum stabil dan aku belum tenang.

Beberapa hari setelahnya, temanku yang lain--masih satu grup KTB yang sama--mengajakku berbincang-bincang lewat telepon. Kondisinya saat itu aku sudah lebih tenang, tapi aku memang masih belum mau berkomunikasi dengan si teman yang berkonflik. Dalam percakapan di telepon, dia mengatakan bahwa ini bukan soal siapa yang paling benar, tapi apa isu pribadi yang ada di dalam diri kami masing-masing? Lalu ia memulai dengan mengajukan dua pertanyaan yang membuatku merenung:

1. Apa yang kamu rasakan saat ini?
2. Apa yang kamu pikirkan saat ini?

Dalam merenungkan dua pertanyaan ini, aku akhirnya menemukan bahwa aku bergumul dengan rasa takut dihakimi, rasa takut ditolak, sehingga aku sering jatuh pada overthinkingdan akibatnya aku menjadi orang yang sangat minder dan rendah diri di segala situasi.

Menarik sejarah hidupku ke belakang, aku menyadari ternyata memang ada beberapa peristiwa di masa lalu yang membuatku merasa dihakimi dan ditolak sampai rasa minder juga rendah diri menguasai. Salah satunya adalah waktu SD aku sering sekali dibandingkan tinggi badannya dengan teman-temanku yang lebih tinggi. Mereka mengejekku karena memang tubuhku pendek. Posturku yang kecil memang sering menjadi bahan olok-olok beberapa teman atau kerabat pada masa itu. Ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh seperti ini ternyata menjadi akar minder dan rendah diri yang tertanam kuat sampai aku dewasa--ini pun baru aku sadari akhir-akhir ini saat masa pandemi. Dan masih ada beberapa peristiwa 'traumatik' lainnya yang tidak dapat aku ceritakan secara rinci di tulisan ini. Intinya, secara tidak sadar aku masih membawa luka-luka di masa lalu yang membuatku penuh dengan ketakutan, rasa minder, rendah diri, dan--parahnya--aku mengonfirmasikan hal-hal itu menjadi identitas sejatiku; bahwa Meista memang perempuan yang penakut, layak untuk minder, dan tidak patut dihargai meskipun memiliki prestasi atau talenta positif. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Meista karena hidupnya hanya penuh dengan kesalahan--itu pemikiranku.


Menolak Diri Sendiri, Berpura-pura Menjadi Orang Lain

Merenungkan hasil perbincangan kami di telepon, aku tiba-tiba teringat sebuah lirik lagu tentang menjadi diri sendiri. Judulnya: "Reflectionyang dipopulerkan oleh Christina Aguilera. Lirik lagu original soundtrack dari film "Mulan" ini cukup membantuku untuk merenung: apakah selama ini aku kurang menjadi diri sendiri demi supaya selalu bisa diterima oleh orang lain? Izinkan aku mengutip beberapa penggalan lirik yang aku nikmati dari lagu tersebut:

"Now I see, if I wear a mask, I can fool the world. But I cannot fool my heart."
(Sekarang aku paham, jika aku menggunakan topeng, aku bisa menipu dunia. Tapi aku tak bisa menipu hatiku sendiri.)

"Who is that girl I see staring straight back at me?"
(Siapakah perempuan yang kulihat sedang menatap langsung ke arahku?)

"Must I pretend that I'm someone else for all time?"
(Haruskah aku berpura-pura menjadi orang lain sepanjang waktu?)

"Why must we all conceal what we think, how we feel?"
(Mengapa kita harus menyembunyikan apa yang kita pikirkan dan rasakan?)

"I won't pretend that I'm someone else for all time."
(Aku tak akan berpura-pura menjadi orang lain sepanjang waktu.)

"When will my reflection show who I am inside?"
(Kapan bayanganku akan menunjukkan siapakah diriku yang sesungguhnya?)

Baris terakhir pada lirik lagu tersebut merupakan pertanyaan refleksi untukku pribadi. Sambil berkaca--dalam arti sesungguhnya, berdiri di depan kaca/cermin--aku merenung: apakah aku menaruh identitasku pada penerimaan orang lain? Siapa role model yang ingin kujadikan identitas sehingga aku bisa diterima orang lain dan tidak ditolak lagi? Sebenarnya siapakah perempuan yang sedang aku lihat di cermin ini? Dalam merenungkan hal ini, aku teringat 3 bagian Firman Tuhan yang sebenarnya telah menyatakan identitasku sebagai manusia:

  1. Kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah Sang Pencipta (Kejadian 1:27)
  2. Karena dosa, gambaran tersebut akhirnya rusak dan diri ini sudah kehilangan kemuliaan Allah. Bahkan relasi kita dengan-Nya pun rusak akibat dosa (Roma 3:23)
  3. Yesus Kristus datang ke dalam dunia karena kasih Allah yang begitu besar kepada kita, sehingga relasi antara kita dengan Tuhan kembali dipulihkan oleh karena karya Kristus di kayu salib (Yohanes 3:16)
Mungkin selama ini aku ingin menjadi si A yang, menurutku, parasnya lebih cantik, tubuhnya lebih langsing dan lebih tinggi. Atau aku ingin menjadi si B yang, lagi-lagi menurutku, lebih berprestasi di sekolah atau kampus, lebih jago main musiknya, lebih banyak teman-temannya, lebih besar gaji di kantornya, lebih sukses dan mapan kelihatannya. Dari keinginan-keinginan yang berakar pada hasrat 'ingin diterima' tersebut, aku sebenarnya sedang jatuh pada penolakan diri sendiri. Aku merasa diriku tidak berharga--sangat bertolak belakang dengan apa yang tertulis pada kitab Yesaya 43:4a.

"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau...".

Aku malah cenderung melukai mental diriku sendiri (seorang psikolog bernama Guy Winch--pada sebuah artikel tentang bagaimana menghadapi penolakan--memberi istilah self-inflicted: melukai emosi dan harga diri sendiri, merasa jijik pada diri sendiri, dan berdampak pada emosi yang tidak sehat). Sadar bahwa menolak diri sendiri itu tidak baik, pelan-pelan aku mengizinkan diriku untuk belajar mengenal diriku sendiri. Belajar peka tentang bagaimana responku ketika menghadapi konflik dan masalah, apa yang kurasakan jika aku mengalami hal ini dan itu, bagaimana responku saat ada orang-orang yang ternyata menerimaku apa adanya dengan tulus, juga bagaimana responku ketika lagi-lagi dihakimi atau ditolak. Dan yang terpenting: mengizinkan diri untuk ditolong Tuhan dan menjadi rentan (vulnerable). Curt Thompson dalam bukunya yang berjudul "The Soul of Shame" menuliskan:

"Bagian-bagian dari kita yang terasa paling rusak dan yang paling kita sembunyikan adalah bagian-bagian yang paling butuh dikenal oleh Allah, agar bisa dikasihi dan disembuhkan."

Dari sini, pelan-pelan aku mengizinkan diriku untuk berproses dalam mengenal diri sendiri. Mengakui kerapuhanku, luka masa lalu, dan akar pahit yang mengganggu ke hadapan Tuhan. Memberi diriku untuk dikasihi dan disembuhkan oleh-Nya--kadang aku hanya tahu secara teoretis bahwa Tuhan mengasihiku, tapi terlalu takut dan mengerikan jika aku harus melakukan penyerahan diri secara total, termasuk menyerahkan luka-luka dan akar pahit hidup ini ke dalam tangan-Nya. Butuh perenungan yang tidak sebentar sampai aku benar-benar siap untuk percaya dan merasa dikasihi oleh-Nya.


Lega dan Bebas Menjadi Diri Sendiri dalam Yesus

Akhirnya aku tidak lagi menjadikan manusia manapun sebagai role model identitasku, karena aku paham satu-satunya Manusia yang sempurna hanyalah Yesus Kristus. Dialah role model identitasku. Benar, bahwa aku hanya manusia berdosa dan bukan Juruselamat seperti Dia. Tapi menyadari dan menghayati hal ini membuatku menikmati fakta bahwa aku akan selalu berhadapan dengan sesama orang berdosa, termasuk menghadapi diriku sendiri yang juga berdosa. Oh iya, namun bukan berarti kita tidak boleh meneladani sesama manusia ya. Tetap boleh, kok. Maksudku, aku yakin Tuhan hadirkan orang-orang di sekitar kita untuk menjadi teladan, panutan, dan inspirasi bagi sesama. Semisal kita mengagumi seorang artis karena talentanya, atau pendeta di gereja karena kebijaksanaannya, atau bahkan teman sepersekutuan kita karena teladannya yang lemah lembut, menurutku itu tidak masalah jika kekaguman tersebut mendorong kita untuk semakin bertumbuh. Yang bisa membuat kita 'tergelincir' adalah ketika kita sudah menancapkan identitas kita harus semakin serupa dengan orang yang kita idolakan tersebut. Padahal kita sama-sama orang berdosa, dan padahal seharusnya kita semakin serupa dengan Yesus Kristus (Roma 8:29).

Mengenal diri sendiri dengan baik merupakan proses yang akan berlangsung terus-menerus seumur hidup. Sekarang, dengan kasih karunia Allah, aku bersukacita dan bebas mengenal diriku sendiri lebih dalam. Dulu aku stres memikirkan dan mengharapkan apa yang orang lain pandang tentang diriku. Setelah itu merasa terluka dan kecewa karena ternyata pandangan mereka berbeda dengan apa yang aku pikir dan harapkan. Sekarang aku 'stres' kalau tidak menjadi diriku yang apa adanya, karena aku merasa palsu jika tidak jujur dengan diri sendiri. Dan aku percaya: Tuhan pasti menolong kita masing-masing untuk mengenal diri kita yang sebenarnya, lalu di saat yang sama menolong kita juga untuk mengenal dan berelasi dengan Dia di dalam kasih-Nya yang tak terbatas. Maukah kita bersukacita dengan diri sendiri dan menyerahkan luka-luka kita kepada-Nya? (Ngomong-ngomong, aku sudah baikan dengan teman KTB-ku itu, dan konflik tersebut membuat kami justru jadi makin mengenal lebih dalam satu sama lain. Tuhan memperbaiki relasi kami dan menolong kami untuk berdamai melalui kasih dari teman-teman lain dalam grup itu. Terpujilah Tuhan!).

---

Updated from writer...

Haiii, Friendtizen! πŸ™‹

Menulis untuk sebuah media pelayanan yang pembacanya kebanyakan anak muda menjadi sebuah sukacita tersendiri untuk aku. Seperti yang pernah aku ceritakan di beberapa kesempatan, bahwa menulis untuk WarungSaTeKaMu.org (WSK) pertama kali benar-benar motivasinya hanya untuk sharing. Gak deng, curcol lebih tepatnya πŸ˜‚. Ada sebuah dorongan kuat dari dalam diri bahwa aku ingin membagikan sebuah pengalaman berharga terkait ekspektasi dalam relasi, yang membawa aku pada pengertian akan pentingnya hubungan pribadi dengan Tuhan--atau kalau bahasa di persekutuan kampus dulu itu: HPDT. Enggak pernah terpikirkan bahwa apakah tulisanku bakal ada yang baca apa enggak, di-approve apa enggak, pokoknya semua berdasarkan 'lakukan aja dulu'.

Sampai pada beberapa waktu terakhir ini aku dikontak oleh beberapa teman-teman pembaca, dan mereka membagikan kisah mereka sambil meminta saran dariku.

Wow.

Jujur, kaget sih ketika dapet pesan singkat dari mereka via Instagram (Direct Message/DM). Karena aku ini siapa yakhaaan πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚. Psikolog bukan, motivator bukan, pendeta apalagi. Karena sempat bingung, waktu itu aku sempat mengontak Bang Alex untuk sedikit konsultasi bagaimana meresponi teman-teman pembaca, khususnya mereka yang sepertinya nyaman menceritakan kisah hidup/permasalahannya ke aku, si penulis yang bahkan mereka sendiri tidak mengenalku secara personal. Akhirnya dari perbincangan aku dan Bang Alex, aku belajar untuk mencoba meresponi semampu yang aku bisa. Mencoba berbagi kisahku sejujur-jujurnya, bagaimana Tuhan menolong hidupku, dan berharap kesaksian personalku bisa menolong mereka untuk makin beriman dan bertumbuh dalam Kristus juga.

So, yaahh aku pribadi enggak bisa menghalangi siapapun untuk tiba-tiba curcol ke aku. Aku berterima kasih jika kalian mempercayakan kisah hidup/pergumulan kalian sama aku, baik yang udah kenal aku secara personal maupun kenal karena tulisan di jagat maya ini. Tapi sekali lagi aku ingatkan bahwa aku pun cuma manusia biasa yang gak sempurna. Penuh dosa dan kelemahan. Jangan berekspektasi lebih yaa. Aku senang mendengar cerita kalian dan akan berusaha meresponi dengan baik semaksimal kemampuan aku 😊

Terima kasiiiihh~ 🌈

Oh iyaaa, bisa baca juga nih tulisan-tulisan aku yang lain yang pernah aku kirim ke WSK πŸ˜‰:




Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN