Be Still. Just Be Still.



Be still for the presence of the Lord, the Holy one is here
Come bow before Him now with reverence and fear
In Him no sin is found
We stand on Holy ground
Be still for the presence of the Lord, the Holy one is here

Be still for the glory of the Lord, is shining all around
He burns with Holy fire, in splendor He is crowned
How awesome is the sight
Our radiant King of light
Be still for the glory of the Lord, is shining all around

Be still for the power of the Lord, is moving in this place
He comes to cleanse and heal, to minister His grace
No work too hard for Him
In faith receive from Him
Be still for the power of the Lord, is moving in this place

=====

Discourage. Fear. Panic. Anxious. Totally clueless. Depression.

Yah, sebuah siklus yang kembali terulang tiap kali menjelang Natal dan memulai tahun yang baru. Kenapa bisa begini, ya karena menghadapi permasalahan yang sama lagi dan lagi setiap akhir tahun: banjir. A.k.a. air masuk ke dalam rumah, sedikit ataupun banyak volume airnya.

Kata-kata "muak" menjadi "trending topic" di kepala gue akhir-akhir ini. Udah capek, frustasi, sampe gak pengen hidup rasanya. Ya muak aja. Cape gitu.

Bertanya-tanya banyak tentang: "Ini salahnya di mana? Apa yang kurang? Apa yang salah? Apa yang mesti gue perbaiki? Apakah ini memang permasalahan uang aja atau sebenarnya ada isu yang lain?". Dan ini pertanyaan yang muteeeeeeeeer terus di kepala gue belakangan ini. Sampe lagi-lagi depresi. Gak fokus dan (boro-boro) nikmatin hidup. Sampe bener-bener gak pengen cerita ke siapa-siapa selain temen-temen deket sendiri. Itu juga gak semua. Bukannya gak mau cerita, tapi udah cape aja nyeritain cerita yang sama. Terus malu (shame) juga gitu di guenya karena keknya gue gak berprogres, gue gak ada usaha, gue gagal...well, it's just some thoughts of self-blaming.

Kemudian gue tulislah apa-apa aja sih yang sebenarnya jadi masalah? Ternyata gak cuma 1. Banyak. Bukan cuma soal banjir dan penanggulangannya yang......ya begini, tapi ternyata ada masalah-masalah lain yang menambah bumbu-bumbu depresi gue jadi kumat lagi.

"OKE! INI GAK BISA DIBIARININ!" kataku dalam hati.

Well, sebagai manusia normal pada umumnya, tentu gak kuat banget jika masalah dan beban hidup ditanggung sendiri. Apalagi yang bersinggungan sama hal-hal yang di luar ranah pengetahuan kita, seperti mental health ini.

So, I encourage myself to seek professional help on my own conscience. Gue tiba pada kesadaran bahwa: hidupku, adalah tanggung jawabku. Bukan berarti orang lain gak boleh bantuin, bukan. Tapi orang lain pun punya batasan untuk menolong dan membantu gue. Dan orang lain pun tentu punya masalah hidupnya masing-masing yang gak perlu dicampur sama masalah gue. Pemahaman inilah yang terus-menerus gue coba katakan ke diri sendiri supaya gue engga self-pity. Jadi alih-alih berjalan ke arah self-pity, berkonsultasi dengan orang yang memang ahli di bidangnya adalah jalan terbaik, menurut gue, untuk saat ini.

Berikutnya, gue juga kembali sadar soal respon. Terkait mental health issue ini, terkait problematika banjir dan urusan rumah yang gue udah gak ngerti mesti gimana ini, gue ngeh bahwa ujung-ujungnya ini soal respon gue mau kayak gimana. Ada banyak sekali opsi namun seorang Meista hanya bisa mengambil satu keputusan. Well, now I realize what I'm learning right now:

1. Ketahui peran dan batasan Meista seperti apa dan sejauh mana limitasinya
2. Gunakan logika dan perasaan secara seimbang ketika mengambil keputusan
3. Beranilah. Karena takut mengambil keputusan tak akan membawa perubahan pada kondisi dan situasi apapun. Berani konsultasi lagi ke konselor/psikolog. Berani bikin rencana baru untuk manage waktu, keuangan, dan hidup. Berani minta tolong sama orang yang dipercaya memang bisa menolong. Berani berdoa dan minta sama Tuhan apa yang gue butuhkan, se-gamblang dan se-polos itu. I know God listening to me all the time.

=====

Dengan banyaknya masalah hidup yang muter-muter di kepala gue sampe gue pusing banget dan jadinya ekstrem (lebih banyak tidur di siang hari dan insomnia di malam hari), I decided to solve it one by one, by progress.

Jujur, pernyataan iman seperti "Tuhan pasti menolongku" itu somehow malah bikin gue malas. Don't get me wrong, ini konteksnya terjadi pada diri gue sendiri aja. Bahwa pernyataan itu malah bikin gue leyeh-leyeh di zona nyaman, padahal udah jelas-jelas ada sebuah kondisi dan situasi yang memang mengharuskan gue untuk berbuat sesuatu. Yet at the same time, gue sangat percaya dan mengimani dalam hati gue bahwa Tuhan pasti menolong gue. Dan saat ini, yang bisa gue lakukan adalah bangkit dan mengerahkan segala usaha lagi untuk hal yang lebih baik. Jika gagal, atau jika hasilnya gak sesuai dengan apa yang gue ekspektasikan, setidaknya gue puas karena gue sudah berusaha semaksimal yang gue bisa.

Segenap hidup berusaha, hati tetap tenang.

Berusaha, tapi tetap berserah.

Berserah, tapi tetap berusaha.

Be still.

Keep surrendering my life to God.

Do my best effort, do my best work.

Hang in there, Meista. Brace yourself. It's another phase. Another level.

=====

Photo credit on this post: Photo by David Gylland on Unsplash

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

A Deep Grief, A Great Bless (part 1)