Cie, Doanya Dijawab...



Mau tau gak rasanya dapet jawaban doa tuh kayak gimana?

Gak selalu enak, masbro, mbaksis πŸ˜‚πŸ‘

Pediiih, sakit, gak enak, gak nyaman, tapi sukacitanya warbyasah besar.

Bener deh.

Gini yah, kalo lo gak ready untuk merasakan hal-hal gak enak, mending jangan doain apapun deh πŸ˜‚

Tapiii...tentunya lo akan rugi besar ketika lo gak doain hal tersebut.

Jadi begini ceritanya:

Pulang Kamp Tahunan Alumni XIV kemarin, gue bikin list doa pribadi di notes smartphone gue.

Ni gue bocorin aja ya, beberapa hal yang gue doakan adalah:

1. Mendoakan "pikiran2 yg gampang bikin drama/skenario"--yg imbasnya bisa super luar biasa negatif

2. Berdoa untuk kebaperanku, bersyukur untuk melankolisku dan berdoa kiranya Tuhan pakai kebaperan dan melankolisku untuk kemuliaan-Nya; untuk membentuk aku, mengizinkan Dia menggunakan 2 hal itu untuk misi-Nya

Ini gue copas plek-plekan dari notes smartphone loh ya.

Gak ada yang diedit termasuk tanda bacanya.

Poin gue adalah ketika gue nulis hal yang mau didoain, itu mengalir dari hati aja.

Gak pake dipikir dulu tata bahasanya.

Senyablak itu.

Sama nyablaknya ketika gue lagi nulis di blog kayak sekarang ini.

Nah, alasan gue mulai mendoakan 2 hal tersebut, atau bisa dibilang mendoakan karakter diri sendiri, adalah karena memang 2 hal ini lagi jadi pergumulan pribadi di 2 tahun terakhir ini.

Dan gue akan mencoba bercerita lebih lengkap di sini.

Kalo kalian ilfeel atau jadi jijik sama karakter gue yang gue sebut di atas ya gausah lanjut baca ya, hahaha.

Udah biasa juga gue di-reject atau dijauhin gara-gara karakter ini πŸ˜•

Toh yang mau gue tulis di sini lagi-lagi bagaimana tentang proses yang Tuhan izinkan terjadi bener-bener luar biasa dalam menjawab doa gue.

Oke...kalian tau apa yang terjadi?

-----

1. Percaya sama gue, dianugerahi otak yang dominan kreatif itu rasanya...


Photo by Plush Design Studio on Unsplash

Gue terlahir di keluarga seniman.

Papa pemain piano, keyboard, electone, pianika juga, you name it lah alat-alat musik yang dipencet-pencet itu, dan beliau juga pengajar alat-alat musik tersebut di sebuah sekolah musik besar di Indonesia.

Mama dianugerahi suara yang merdu macem Ruth Sahanaya, tapi beliau dedikasikan untuk gereja (dan sekarang beliau juga aktif melatih paduan suara di gereja).

Almarhumah nenek dari papa adalah pelatih paduan suara gereja; almarhum kakek dari mama juga pelatih paduan suara umum, dan almarhumah nenek gue--yang baru meninggal beberapa pekan lalu--adalah penulis.

Bukan penulis terkenal cem Raditya Dika sih, tapi beliau memang punya hobi bikin cerita/storytelling gitu.

Sooo, ketika semua hal-hal genetika itu diturunkan, jadilah gue yang seperti ini.

Suka bermusik, suka nulis, suka menciptakan konten-konten dari fakta maupun yang dibuat-buat, suka bikin cerita, dll.

Tapi di sisi lain...

Ada masa-masa di mana otak gue "berkreasi" menciptakan cerita yang tidak pada tempatnya.

Berasa jadi cenayang, padahal mah bukan.

Misalnya gini: ketika gue lagi baru diterima di suatu pekerjaan, gue secara sadar atau tidak, pasti akan membuat "skenario" tentang apa aja hal yang akan terjadi di sana.

Mulai dari pertemanannya, pekerjaannya, dapet pacar, kesuksesannya, pokoknya hal-hal yang belum terjadi itu pasti sudah gue susun skenarionya dalam pikiran gue.

Parahnya, hal semacam ini terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan gue.

Bukan cuma pekerjaan aja, tapi di friendship, kehidupan sehari-hari, dan lain-lain.

Lama-lama, pikiran-pikiran yang mudah membuat skenario dan drama ini akan membangun sesuatu yang namanya: ekspektasi.

Ya mungkin kalian mikir: ya emang kenapa dengan berekspektasi? Itu wajar kali.

No, no. Ini ekspektasinya bener-bener berlebihan, guys.

Over-expectation kalo boleh gue bilang.

Dan ketika ada satu hal aja yang gak sesuai dengan ekspektasi gue, gue bisa se-stress itu.

Bahkan bisa sampai depresi.

Gue bisa terus-terusan berpikir sambil mengasihani diri: ini gue salah di mananya sih? Apa sih yang salah dengan gue? Ini gue kenapa sih?

Inilah hal yang selalu jadi topik utama di beberapa tulisan blog gue (kalian bisa baca selebihnya di sana).

Parah banget sih.

Gue semacam kayak menarik masa depan ke masa kini, padahal belum tentu apa yang terjadi di masa depan itu sesuai dengan yang gue bayangkan.

Akhirnya, gue capek sendiri dengan si pikiran gue ini.

Itulah mengapa, per pasca-KTA kemaren gue berkomitmen mendoakan hal ini; ngedoain pikiran-pikiran gue yang dengan mudahnya bikin skenario dan drama kehidupan.

Ya emang sih, justru kalo disuruh bikin ide cerita fiksi gue malah bisa ngebut banget.

Bagusnya di situ doang πŸ˜‚

Tapi kalo udah nyerempet ke kehidupan nyata...duh, capek banget!

Mau tobat deh gue.

Along with praying for my drama-thinking, I also praying for my over-expectation-thing.

Ini yang pertama.

---

2. Gue cewek, baperan, melankolis pula!


Photo by Artem Kovalev on Unsplash

Ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki.

Dari beberapa pengalaman yang gue denger sih, katanya memang perempuan itu lebih banyak yang mengandalkan perasaan, sedangkan laki-laki lebih banyak yang mengandalkan logika.

Ini gak ilmiah ya, gaes, jadi kalian boleh tepis statement gue di atas.

Cuma, untuk gue pribadi, statement itu ada benarnya.

Contoh yang paling kita temui sehari-hari adalah tentang relationship perempuan dan laki-laki.

Lo pernah nemuin gak (atau mungkin pernah ngalemin) punya teman laki-laki yang baik parah dan tiba-tiba lo langsung baper, suka, dan merasa cocok dengan orang itu?

Gue: pernah banget.

Ini terjadi sekitar tahun 2014-2015an.

Hanya karena temen gue ini baik sama gue, gue bisa langsung jatuh cinta waktu itu.

Ending-nya, ternyata dia gak ada perasaan apa-apa sama gue, hahaha πŸ˜‚

Kok lo bisa tau, Mei?

Iyalah, orang gue yang confess duluan.

Nekat gak tuh.

Bentar, gue ngaku gue suka sama dia itu bukan tanpa alasan, masbro mbaksis.

Gue terpaksa melakukan hal ini karena gue ngerasa udah sangat terganggu.

Gue terganggu dengan perasaan dan pikiran gue sendiri (aneh banget gak sih ini? πŸ˜‚)

Jadi, pertimbangan gue waktu itu daripada gue makin tersiksa dengan perasaan sendiri, daripada gue selalu bertanya-tanya: 'Ni orang baik banget gini maksudnya suka sama gue apa gimana sih?', akhirnya gue putuskan untuk mengaku--setelah memendam perasaan sambil mendoakan selama 1,5 tahun.

Ketika gue tau bahwa dia ternyata tak punya perasaan apapun terhadap gue, kalian harus tau betapa plongnya hati gueee, sumpaaaahhhhh πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Itu rasanya yang kayak legaaaaa banget banget banget, karena akhirnya gue gak harus berharap apa-apa lagi kan.

Apalagi dengan gue yang punya pikiran super drama kayak yang ada di poin pokok doa nomor 1 itu, wah mending disudahi sajalah.

Iya memang ada resikonya, tetep.

Resikonya ya dia menjauh dari gue, ilfeel mungkin...eh gaktau juga sih.

Kalian tanya aja orangnya langsung waktu itu dia gimana pas gue ngaku πŸ˜‚

Tapi gue gak peduli sih.

Anggaplah itu harga yang harus dibayar demi kesehatan psikis gue sendiri.

Puji Tuhan kami masih berteman baik kok sampai sekarang.

Ya enggak berkomunikasi secara intens sih, biasa aja lah pokoknya.

Toh kami memang punya kehidupan dan kesibukan masing-masing, jadi...yaudah apa adanya aja.

Biasa aja.

Nah, dari peristiwa ini, gue jadi sedikit memiliki skill baru dalam hal relationship, yaitu berpikir logis.

Meski memang masih dominan menggunakan perasaan, tapi di beberapa kesempatan gue bisa tetap berpikir logis juga untuk menghindari hal-hal berbau kebaperan ini.

Dan makin peka bahwa si baper + melankolis ini bisa menjadi hal yang berbahaya buat kehidupan relationship gue, gue berkomitmen untuk mendoakan hal ini lebih intens.

Gue tau kok bahwa sifat melankolis ini adalah anugerah dan wajar dimiliki oleh beberapa orang tertentu.

Juga si baper-baperan ini menurut gue pun sebenarnya wajar-wajar aja, as long as gak berlebihan.

Nah, berlebihannya itulah yang juga jadi pokok doa gue.

Dan ternyata...seru juga gitu ngedoain karakter diri sendiri 😍

Karena pas dijawab...jeng jeng jeng!

...ternyata begini rasanya.

---

Gue mendapat jawaban doa terkait 2 hal di atas melalui ujian karakter.

Awalnya sih gue ngga ngeh, karena bener-bener blurry.

Karakter gue diuji ketika menghadapi karakter orang lain yang bikin gue geleng kepala dan gak habis pikir.

Ketika berhadapan dengan karakter ini, perasaan dan logika sempat campur aduk.

Ada bapernya dikit, ada mikirnya juga, dan ada logisnya juga.

Melalui 'ups & downs' seiring berjalannya waktu, gue ends up dengan berpikir: ni orang kenapa sih? Aneh banget.

Turns out, gue menyadari bahwa: OH YAAMPUN! Ternyata melalui orang ini loh gue mendapat jawaban soal masalah karakter yang lagi gue doain secara intens akhir-akhir ini.

Ini permulaan dari pelajaran karakter yang lagi gue propose ke Tuhan untuk diuji.

...and it happened! πŸ˜±

Waaaaaahhhhh, aliiiiiiig dijawab, meeen! πŸ‘πŸ‘πŸ‘

Memang gak nyaman rasanya, tapi lama-lama gue bisa terima.

Karena baru nyadar gitu πŸ˜‚

Dan sekarang gue bersyukur untuk segala sesuatunya.

Iya betul, sudah ada skenario dan drama yang terbentuk; sudah ada beberapa ekspektasi yang terbangun, dan ketika itu semua runtuh, hati gue gak sehancur dulu.

Justru kali ini gue ngerasa kuat seiring dengan gue ngeh bahwa ini adalah jawaban doa.

Warbyasa gak sih wooooyyy~ πŸ’ƒπŸ’ƒπŸ’ƒ

Tuhan yang luar biasa, maksudnya, guenya mah tetap manusia berdosa πŸ˜…

-----


Photo by Zoey Tian on Unsplash

Hal-hal ini tentu bikin gue sadar bahwa gue sedang menjalani hidup ini bersama-Nya, bersama tuntunan-Nya.

Bukan gue yang mengatur-atur sendiri skenario hidup gue sesuai dengan apa maunya gue.

Biarlah kalo soal skenario dan drama gue tumpahkan dalam bentuk cerita fiksi di blog atau konten seru di Instagram 😁

Wkwkwk.

Menyadari ini baru permulaan, kiranya gue bisa tetap siap ketika Tuhan adakan lagi ujian karakter.

Bukan cuma soal relationship or friendship, tapi bisa aja terjadi di aspek kehidupan gue yang lain.

I don't know.

Just wait and see, and don't forget to enjoy πŸ˜ŽπŸ‘

---

Eeeee, btw...

Sharing sedikit dari Firman yang gue dapet dari ibadah Minggu gereja hari ini, gue sangat menikmati Mazmur 23:1-6.

Betapa Tuhan adalah Allah yang sangat baik, yang menjadi Gembala Agung buat kita.

Dan summary dari pendeta yang membawakan Firman hari ini adalah:

1. Jadikan Tuhan sebagai Gembala Agung kehidupan kita
2. Jadikan diri kita setia kepada Tuhan

Pertanyaannya: layakkah saya disebut orang yang setia kepada Tuhan?

Layakkah gue disebut setia kepada Tuhan ketika gue tengah mengalami ujian karakter yang cukup berat ini?

Eh terus gue bertanya-tanya dalam hati: Tuhan, apakah ini artinya kesabaranku juga lagi ikutan diuji ya? πŸ˜•

Apakah ini Engkau lagi mengujiku untuk setia berdoa dan berharap dan meminta kepada-Mu?

At the end, closing statement dari Firman yang dibagikan pendeta hari ini adalah:

Tuhan bisa menggunakan segala hal yang terjadi, termasuk yang terburuk sekalipun, untuk membuahkan hasil yang baik di masa depan.

Indah pada waktu-Nya yang sempurna.

MANTUL, GAN!!! πŸ˜πŸ‘

---

Jadiiii...kalian lagi ngedoain apah?

Selamat menunggu jawaban-Nya dengan sabar ya πŸ˜‰

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

Gapapa, Meistaaa, gapapaaa