Udah Lama Enggak Nulis Blog

Photo by Liana Mikah on Unsplash

Haaaiii!!!

Udah lama enggak mencurahkan isi hati dan pikiran dalam sebuah blog tak terkenal yang berjudul: LOVE. LIFE. RAINBOW.

Sebuah judul blog alay pilihan gue tapi gue suka 😁

Okeh, anyway...

Mungkin ada yang udah pernah baca tulisan gue yang...ini --> "WELCOME, DUA PULUH ENAM!" ?

Itu adalah tulisan gue di hari ulang tahun gue yang ke-26 tahun.

Kalo kalian ngeh, di situ juga tertulis beberapa kekecewaan yang gue alami dalam beberapa waktu tahun terakhir.

And then gue berefleksi dan mengambil kesimpulan bahwa kekecewaan gue berakar dari ekspektasi gue yang berlebihan.

Singkatnya: over-expecting.

Dan ini terjadi di beberapa aspek kehidupan gue, seperti pekerjaan, pelayanan, dan kegiatan yang menyalurkan hobi.

Belum ada aspek relasi sosial kan?

Ternyata over-expecting dalam relasi sosial di kehidupan gue terjadi baru-baru ini.

Eh...gak baru-baru ini juga sih, maksudnya terjadi setelah gue nulis tulisan yang gue ulang tahun ke-26 ituh.

Gue baru ngeh ternyata kali ini pelajaran yang Tuhan kasih buat gue tentang mereduksi over-expecting terjadi dalam aspek relasi sosial.

Mmmm...tapi mungkin enggak parah sampai kecewa sih (belum dan jangan sampe kecewa deh wkwkwk πŸ˜…).

Cuma memang berasa banget kali ini gue kembali merasakan over-expecting yang dulu pernah gue rasain di dunia kerja, pelayanan, dan kegiatan hobi.

Bedanya sekarang gue ngerasain hal ini dalam relasi sosial.

Cieee...sama siapa tuh?

Hahaha, ini gak seperti yang kalian bayangin, gaes.

Di sini gue bukan mau nyeritain love story atau sejenisnya.

Gue cuma mau numpahin betapa susahnya jadi orang yang punya pemikiran over-expecting.

Betapa bergumulnya gue menghadapi diri gue sendiri yang seperti ini.

Bahkan berkali-kali gue berdoa sama Tuhan untuk "menghilangkan" si pemikiran-pemikiran over-expecting ini...

...karena nyatanya melelahkan dan bikin capek.

-----

Sebenarnya apa sih yang dirasain / dialami sama orang-orang dengan sifat/pemikiran yang over-expecting?

Kami adalah tipe orang yang cukup sering mengandalkan intuisi dibanding logika.

Lebih banyak pake feeling daripada berpikir logis.

Khusus karakter gue, yang super-well-prepared, hidup terstruktur, penuh dengan perencanaan, si pemikiran over-expecting ini sungguh menyiksa.

Kenapa?

Karena kalau ada 1 hal aja yang enggak sejalan atau segaris dengan apa yang sudah gue rencanakan, gue ngerasa hidup gue langsung berantakan saat itu juga.

Misal: gue punya perencanaan untuk bekerja di sebuah perusahaan selama minimal 3 tahun.

Targetnya 3 tahun.

Alasannya, karena gue mau mengasah diri gue biar lebih skillful, biar mental gue makin kuat menghadapi karakter rekan-rekan sekerja, biar bagus juga kredibilitasnya di CV--yayaya gue akui hal berbau "pride" ini masih kepikiran sama gue.

Nah, ketika gue punya perencanaan kayak gini, di dalam otak gue yang super-imajinatif ini langsung tuh terbentuk "skenario-skenario" kehidupan di dunia kerja.

Langsung kebayang punya temen-temen yang kayak gimana, kebayang pekerjaan gue bakal gimana, kebayang capek-capeknya gue pulang-pergi kerja, kebayang senang-senangnya kerja di tempat tersebut...

...padahal itu semua belum terjadi.

Dan ketika hal-hal yang udah kebayang itu gak terjadi, gue sering banget jadi "jetlag".

Seseringnya jadi rada kaget karena apa yang terjadi di dunia nyata gak sesuai dengan apa yang gue bayangkan secara detil.

Gue juga jadi gak menikmati apa yang sebenarnya terjadi di dunia nyata.

Tentu hal itu penyebabnya gara-gara gue yang sudah memasang "skenario-skenario" khusus yang pastinya menyenangkan diri gue semata, meskipun sifatnya sementara dan semu.

Alias gak nyata.

Sampai taraf tertentu, "skenario" tersebut bisa terbayang secara detil dan akhirnya sampai pada level over-expectation.

Itu kalo dari segi pekerjaan.

Kalo dari segi relasi sosial?

Hmmm...tentu saja sama melelahkannya.

Gimana ya ngomongnya...

Ketika berelasi dengan orang lain, siapapun itu, cewek maupun cowok, jauh maupun dekat, di dalam otak gue terpikir beberapa judgmental-judgmental terkait sifat dan karakter mereka.

Padahal gue memang belum kenal mereka banget, misalnya.

Singkatnya: gue tuh terlalu sotoy karena menilai orang lain terlalu cepat.

Terlalu cepat menentukan sifat dan karakter orang lain tuh begini, begini, begini dalam sekali pertemuan.

Hmmmm...

Lalu ketika gue mulai mengenal sifat dan karakter aslinya satu-satu, gue kembali "jetlag".

Biasanya gue ngomong gini nih dalam hati: "Owalah, ternyata dia orangnya gini toh. Gak nyangka."

YAIYALAH GAK NYANGKA...

Kenapa perlu disangka-sangka sih, Meista??? πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Sampai pada taraf tertentu, gue bahkan bisa sampai punya keinginan untuk merubah sifat/karakter seseorang karena gue gak suka sama si sifat/karakter tertentunya si orang itu πŸ˜₯

Kacau gak tuh.

Menyadari hal ini, sebetulnya hal yang gue butuhkan adalah: kaca.

Ngapain gue berusaha mengubah sifat/karakter seseorang capek-capek sedangkan diri sendiri juga masih perlu banyak bebenah?

Ngapain gue berekspektasi sifat/karakter seseorang harus sesuai sama keinginan gue di saat gue pun punya banyak kekurangan dan kelemahan?

(...kemudian self-talking pun kembali terjadi πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚)

Gue teringat dengan kata-kata salah satu abang gue ketika kami ngobrol di Whatsapp (ijin ngutip ya, abang baik hati 😁):

"...emang sulit kalo tujuan buka relasi adalah untuk merubah karakter seseorang. Jangan pernah expect demikian dah. Habisin energi. Makan ati. Serba kzl. Berteman mah berteman ajaa dulu. Justru yang harus kita maksimalin adalah perubahan yang terbaik dari versi kita (kedewasaan spiritual, karakter, dkk). Nah dari situu harusnya siapa pun yang ada di sekeliling kita akhirnya ngelihat dan ngerasain perubahan itu sih. Impactnya buat mereka juga ✌πŸ˜€"

Butuh waktu tak sebentar untuk mencerna kata-katanya ini.

Antara guenya yang emang belum langsung paham--yayaya kalian harus tahu bahwa gue cukup telmi alias telat mikir, lemot, dan kurang peka dalam beberapa hal--, atau emang gue belum bisa menikmati yang namanya proses, kata-kata abang ini pun gue telen-telen aja dulu ketika gue curhat sama dia tentang seseorang beberapa waktu yang lalu.

Lalu ketika waktu berganti dan gue makin dibukakan dengan banyak hal, gue bisa paham dan menerima sedikit-sedikit juga bahwa gue memang harus menikmati proses tanpa harus berekspektasi yang berlebihan.

Apalagi sampai harus punya keinginan untuk mengubah sifat/karakter orang lain.

Enggak perlu.

-----

So, sampai detik ini gue nulis, gue pun masih bergumul dengan si over-expecting ini.

Puji Tuhan, gue makin menyadari juga bahwa gue sedang berada dalam fase ini.

Dan gue yakin dan percaya, Tuhan akan menolong gue mengatasi over-expecting ini ketika gue berserah diri penuh pada kasih-Nya.

Tolong bantu doakan ya, gaes.

Hehe πŸ™

Terimaaciii :))

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN