Mempertahankan Relasi Pertemanan -- Sepaket Komplit Antara Kasih dan Penderitaan

Betha-Raisa-Meista. 3 dari 5 anggota pertemanan yang diberkati Tuhan.


Jalan bareng. Makan bareng. Sharing kondisi. Diakhiri dengan berdoa bersama.

Sebuah rangkaian kegiatan yang dikangenin banget dari masa-masa kuliah dulu, khususnya dengan rekan-rekan sepelayanan di persekutuan mahasiswa kampus (PMK) yang sekarang udah jadi...apa ya namanya...sahabat? Teman dekat? Ya pokoknya itulah, you name it. Terserah.

And that's happened again last night (Tuesday, 27/4)! Yaaaaayyyy!!! πŸŽ‰πŸŽŠ

---

aROMA Gelato Experience, Grand Indonesia -- Straciatella + Thai Tea + Rum Raisins flavors


Berawal dari ke-random-an seorang Meista yang pengen makan es krim untuk melepas stres akibat kelelahan jasmani dan rohani. Abis sakit kaki berpincang-pincang di akhir pekan yang lalu, akhirnya ada beberapa kegiatan yang terpaksa harus cancel dan cukup membuat jadwal hidup gue juga berantakan.

Singkat cerita, hari Sabtu dan Minggu kemarin akhirnya gue bener-bener istirahat, gak terlalu banyak main gadget (hape & laptop), dan lebih banyak makan - tidur - minum obat - olesin kaki pake salep krim panas. Nah, puji Tuhan hari Senin makin membaik dan udah bisa jalan lancar pake dua kaki tanpa perlu dipegangin. Cuman emang belum bisa lari, sprint, loncat-loncat atau jumpalitan kayak biasanya. Masih kudu pelan-pelan membiasakan si kaki ini berjalan dengan postur yang benar.

Teruuus, karena pengen reducing stress, gue tiba-tiba ngidam es krim. Es krim/gelato/makanan dingin sejenisnya bagi gue adalah salah satu makanan yang gue perlukan ketika pikiran dan hati lagi rada turbulens. Gatau kenapa, enak aja rasanya dingin-dingin manis gimanaaa gitu, wkwkwk. Akhirnya gue ajak salah dua teman terbaik gue, Raisa dan Betha, untuk nemenin gue ngemil es krim di salah satu mall area Jakarta Pusat.

Bagi gue pribadi, ketika lagi jalan sama temen-temen gue, sesungguhnya bukan tempat ataupun makanannya yang bikin gue bahagia, tapi bersama siapa gue menghabiskan waktu di hari ituIn short, bahkan kalopun nongkrongnya di tukang nasi goreng pinggir jalan atau warmindo yang jual burkajo gitu atau cuma random jalan-jalan di mana gitu sambil ngemil cilok dan kentang krispi (tetep ye sama Meista kudu ada kulinerannya πŸ˜†), selama orang yang pergi bareng guenya menyenangkan, I'll be happy that day.

And that's what I felt a few days ago. Menghabiskan hari bersama Rai dan Bet rasanya seperti mengulang masa-masa kuliah dulu. The joy is unspeakable. I feel secure and comfort karena gue jalan sama orang-orang yang...udahlah, tau banget busuk-busuknya kehidupan gue but they still accept me. I left them many times but they never leave. So do my other best friends in this circle, Kis and Nid.

Okay, let me tell you a story...

---

Gue pernah ada di fase-fase 'aneh'. Kenapa gue bilang aneh, karena kayaknya harusnya enggak perlu ada masalah tapi malah jadi ada masalah. Harusnya enggak ada konflik, tapi malah berkonflik. Ya tapi mungkin keanehan itu adalah sebuah fase buat gue bertumbuh sih. I mean, in that dark times, gue malah belajar banyak banget tentang diri gue sendiri, tentang karakter gue, juga tentang temen-temen gue di circle ini. Finally I've found myself. Gila sih tapi prosesnya. 'Berdarah-darah', cuy.

Dari 4 kawan yang ada di circle ini (Rai, Kis, Bet, Nid), salah satu yang paling dekat sama gue adalah Rai. Tahun lalu kami sempat saling pahit satu sama lain hanya gara-gara bahasa komunikasi via Whatsapp. Maksud gue apa, ditangkepnya dia apa. Responnya dia apa, yang ketangkep sama guenya apa. Wah gila sih waktu itu pokoknya drama banget sampe nangis-nangis bombay saking sedihnya. Hampir hopeless gue untuk bisa berteman baik lagi sama dia.

Gak cuma itu. Bahkan dengan temen-temen yang lain pun tiba-tiba gue emosi. Gue ngerasa gak didengar, gak dianggep dalam grup, ngerasa dikacangin, ngerasa mereka gak ngerti kondisi gue, sampe akhirnya gue memutuskan left group akibat 'kecewa dengan teman-teman Kelompok Tumbuh Bersama (KTB)'. Once I've thought like:

Kek gini nih temen KTB?

Sumpah ya beda banget sama waktu kuliah dulu.

Semua udah jalan masing-masing dan udah gak ada kepeduliannya satu sama lain.

...daaaan rentetan marah-marah lainnya yang berkecamuk di hati dan pikiran waktu itu.

Singkat cerita, they reached me out personally. Mereka menyampaikan ungkapan hati masing-masing, dan meminta gue untuk balik lagi masuk grup. Beberapa malah pada minta maaf. Waktu itu yang gue rasakan sebenarnya cukup turbulens. Gini, waktu itu gue gak minta untuk dibujuk-bujuk atau dirayu-rayu gitu loh. Bahkan ketika mereka minta maaf aja gue yang ngerasa gak enak. Gue gak pengen mereka jadi yang gimana-gimana sama gue. Because deep in my heart, gue sayang sama mereka, tapi kecewa dalam waktu yang sama. Ini sungguh emosi yang membingungkan ya, sodara-sodara, wkwkwk. Jadi saat itu gue super duper bingung harus melakukan apa.

And then the depression hits me. Gue ngerasa kehilangan sesuatu yang disebabkan oleh kebegoan gue sendiri. Namun terpujilah Tuhan yang pertolongan-Nya selalu ada dan tersedia, akhirnya gue mencari pertolongan dari beberapa kakak-kakak senior yang gue percaya untuk gue ceritakan masalah ini. Dari hasil obrolan-obrolan tersebut, gue memang tidak mendapat "tips & trik" yang saklek tentang bagaimana menyelesaikan konflik dengan sahabat-sahabat sendiri. Tapi gue dapet pelajaran tentang bagaimana gue harus mengelola diri gue sendiri; ngeh sama respon diri sendiri kalo lagi kecewa, bagaimana harusnya kita gak menyangkal emosi kita tapi tetep self-control-nya di tangan kita, dan lain-lain. Oke, singkat cerita, gue membuka hati untuk mau berdamai dengan mereka satu-satu, dan gue kembali masuk grup.

Beberapa waktu kemudian, lupa jangka waktunya selama apa, gue mengalami turbulens yang sama. Cuma yang kedua ini masalahnya apa gitu gue lupa. Kalo gak salah sih nyerempet-nyerempet kekecewaan lagi. Pokoknya sampe gue left group untuk yang kedua kalinya (yasalam!). Di situ gue kembali ngerasa: Ih, apaan sih Meista! Lu ngapa dah woey! Gue se-engga ngerti itu sama diri sendiri. Maunya gue apa sih? Kenapa harus keulang lagi sih? Setelah marah-marah sendiri, bego sendiri, dan nangis sendiri, gue mencoba mengambil sedikit komitmen bahwa gue ingin memperbaiki relasi personal dengan mereka satu-satu. Personally, not in a group. Sejak saat itu gue akhirnya sadar bahwa gue memberi value lebih pada relasi. Gue menghargai relasi-relasi yang sudah terbentuk sejak lama, dan akan sangat sedih kalau relasi ini harus dibubarin gitu aja. Apalagi ini gara-gara gue yang kecewa secara personal dengan mereka.

Seiring dengan berjalannya waktu, ketika gue tetap menjalin komunikasi personal dengan mereka masing-masing, gue makin paham bahwa pertemanan makin deket memang makin ada badainya. Mungkin paling enak kalo gak ada badai ya, tapi bisa jadi jika tidak ada badai, maka tidak ada kedekatan hati. Karena ya bisa aja lo cuma temenan sekadar permukaan doang, atau sekadar 'lo punya apa, gue punya apa, ayo senang-senang bareng'. No.

Meski tidak ada di dalam grup, gue sempat bertemu lengkap dengan mereka di salah satu lokasi kekinian area Kemang, Jakarta Selatan. Sebenarnya sempat enggan untuk meng-iya-kan, karena kek awkward gitu gak sih. Lo udah lama gak nimbrung obrolan tiba-tiba ketemu gitu. Tapi di hari itu gue berusaha menurunkan ego gue, dan memberi diri untuk belajar bahwa berkomunikasi secara tatap muka jauh lebih membantu untuk memperbaiki dan mempertahankan relasi pertemanan, ketimbang cuma sekadar lewat layar.

Here we are! Maapin gelap, kita anaknya suka gelap-gelapan(?)

---

Bersama mereka gue belajar bahwa semakin erat relasi pertemanan, semakin besar juga ujian karakternya.

Bersama mereka gue belajar bahwa mungkin idealnya teman itu 'selalu' ada buat kita. But no. Even friendship or relationship can be our own idolatry. Yang bisa selalu ada buat kita itu cuma Tuhan. Teman adalah salah satu anugerah-Nya yang Dia sediakan untuk kita. Dan gara-gara masa turbulens itu, gue belajar untuk enggak terlalu bergantung/clingy sama mereka berempat. Kenapa itu why? Karena Tuhan bisa kasih pertolongan sama gue dari siapapun yang Dia mau. Gue beberapa kali dapet pertolongan dari orang-orang tak terduga yang hitungannya bukan dari circle pertemanan terdekat. Gue juga gak ngerti kenapa bisa gini. Cuma gue tetep mau belajar untuk terus terbuka sama keadaan dan kondisi yang gak selamanya sesuai sama apa yang gue mau.

Bersama mereka gue belajar bahwa mengasihi itu sepaket komplit sama penderitaan. Lo gak bisa temenan sama orang lalu cuma ngarepin yang baek-baeknya doang. Enggak, gaes. Srsly. Mungkin kita cenderung menghindari konflik karena memang berkonflik itu malesin ya. Gue juga gitu kok. Tapi kali ini gue belajar bahwa kadang konflik itu bisa membuat kita bertumbuh; secara pribadi, maupun relasi. Gue juga awalnya mikir: "Wah, kelar dah ini udah. Selesai sudah pertemanan." But, no. Puji syukur pada Allah karena ternyata kami sama-sama enggak kemana-mana.

Beberapa minggu lalu akhirnya gue bilang sama Rai bahwa gue bersedia masuk ke grup lagi. And I said this to them as my very first chat:

"Dear gaes, it's good to see you virtually again πŸ‘‹

But 1st let me share what I want to share (since I'm a writer pls be patient to read the long true-story):

1. Thank you for being patient to me personally; menghadapi Meista yg ups & downs banget idup dan hatinya, until I realize that I put more value on personal friendship/any relationship. Including to each of you, Rarai Chris Nida Betha.

2. I'll keep trying my best to deepen the personal relationship, namun per Minggu kemarin (11 April 2021), I told Rarai that it's okay for me to re-join the group utk yg ke-100 kalinya.

3. Since I have more awareness with myself, my value, passion, vision, etc etc etc, I'll just keep being as honest as I can be AND won't push nor expect each one of you to do the same things toward me.
Gue sadar manusia diciptakan unik dan berbeda2 satu sama lain utk saling melengkapi. Bukan utk saling menyamakan.

4. The more I have conflict with you, as a group or personally, the more I realize that maybe God wants our relationship raise to the next level: berawal dari teman pelayanan-teman dekat-sobat-sister (keluarga). Knp gue bilang gini krn ya klean makin tau lha busu2nya awak :") And even I have more peer group out there, blm ada jg yg sampe se-tahu kalian2 dimari.
So yea, I thank God for you all πŸ™Œ

5. Actually I hate conflict, but....let's embrace the conflicts that maybe occurs someday :") πŸ˜… Maybe it's a sign that our relationship will become deeper and deeper.

6. Again, thanks for giving me another opportunity to learn about relationship. Thankyou for being patient to me--si Meista yg ngeyel, rebel, keras kepala, (masih) baperan, tapi yg sejujurnya gue sayang sm klean, cmn dengan cara yg aneh kadang menyampaikan kasihnya :") πŸ™

7. Demikian."

---

Jadiiii, sebuah relasi pertemanan bisa bertahan ternyata bukan karena gue memenuhi apa yang lo mau atau lo memenuhi apa yang gue mau, melainkan karena kasih. Dan ketika mengasihi, enggak berarti semuanya terasa enyak dan selalu menyenangkan. Ada penderitaan yang harus dipikul, karena kita semua sama-sama orang berdosa. Punya kelemahan, kekurangan, kerapuhan, dan kebusukan masing-masing. Belum lagi kalo bersinggungan sama ego...beugh! 

Sama iniii, komunikasi itu juga penting sih dalam berelasi. Jujur-jujuran itu jauh lebih baik, meskipun akan menimbulkan konflik, daripada diem-dieman mendem-mendeman terus nanti jadi muka dua atau fake. Ya memang balik lagi ke karakter kita masing-masing sih, mau gimana menghadapinya. Karena tiap orang juga pasti punya preferensi dan kemampuan menghadapi konflik yang beda-beda juga kan.

Terus jangan lupa kenali juga bahasa kasih/love language dari teman-teman kita dan diri kita sendiri. Seru lho belajar mengenal bahasa kasih tuh 😊 Jadi kita sedikitnya bisa paham bagaimana mengasihi teman-teman kita sesuai bahasa kasihnya dia πŸ’“

GITUUUU 😍

Thank You, Lord, because You brings me Rai, Kis, Bet, and Nid into my life πŸŒΈ

Throwback 2015 dulu, gaes! HAHAHA (Ki-Ka: Nid - Rai - Kis - Bet - Mei)

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN