Tantrum: Si Paling Bikin Kenyang dan Menguras Energi


Hari ini gue janjian sama tukang jahit untuk bikin baju bridesmaid buat acara nikahan temen nanti. Ditemenin nyokap.

Long story short, rencananya setelah selesai ngukur dan nentuin model gue bakal nongkrong di mal tempat biasa gue 'me time'. Sedangkan nyokap balik.

Turns out pas udah selesai, nyokap bilang mau ikut gue ke mal. Alasannya karena mau ikut numpang nge-charge hape. Batrenya kritis.

Akhirnya gue coba pesan mobol (mobil online). 2-3x gue cancel karena mitra pengemudinya pada gak bisa. Ada yg lagi mau isi bensin, ada yang gak gerak, ada yang gak bisa dikontak.

Emosi.

Batre hape gue juga ikut kritis.

Terus nyokap ngasih saran kita naik ojol aja masing-masing.

Oke.

Ketika nyokap bilang (sambil coba pesen ojol dari hapenya sendiri yg batrenya kritis itu): "Ke mana tadi, ke Puri ya...", gue sadar emosi gue langsung naik saat itu.

"Bentar, bentar. Mama ikut ke Puri mau ngapain?"

"Nge-charge hape."

"Lah, kenapa gak langsung balik aja ke rumah? Tadi kan mama bilang mau ikut karena mau nge-charge hape biar bisa pesen ojol ke rumah kan? Nah, sekarang udah bisa pesen ojol kenapa gak langsung pulang aja? Kecuali kalo mama ada perlu juga di Puri. Kalo aku kan memang mau kerja."

Ngegas berakhir dengan akhirnya nyokap mengarahkan tujuan ojolnya untuk pulang ke rumah (karena emang dari awal gaada rencana dia ikut ke mal).

Jadi ribet. Pusing. Panas. Emosi.

At that time, gue sadar bahwa gue lagi di tengah "pengobatan" atau terapi dengan diri sendiri terkait manajemen emosi, khususnya ketika berhadapan dengan trigger-trigger yang bikin gue: tantrum.

-----

Marahin Bocah, Menangis, Menyesal, Resign Kemudian

Apa yang terjadi antara nyokap dan gue adalah sesederhana kasus yang baru terjadi hari ini. Barusan banget.

Apa yang terjadi selama beberapa pekan belakangan kemarin menjadi sebuah milestone yang beda lagi.

Siapa yang sangka ketika gue memutuskan untuk switching-career menjadi pendidik anak usia dini, gue akhiri dalam waktu 5 bulan saja.

Trigger-nya tak lain tak bukan adalah: karena gue marahin anak. Sisi lain: ke-trigger karena denger teriakan mereka yang bikin sesuatu dalam otak gue bereaksi sehingga gue meresponinya dengan marah, bentak, nada tinggi, dan menyesal kemudian.

Tantrum. Tantrumnya kumat.

Gue gaakan cerita detil terlalu banyak di sini (karena jujur mengingat hal itu masih bikin gue sakit kepala dan pengen nangis terus), tapi intinya gue menyerah.

Bahkan ketika rekan-rekan kerja sudah berusaha meyakinkan gue bahwa gue masih tetap diterima dan diizinkan untuk bekerja, gue gak bisa terima itu semua.

I'm too scared to keep going on. I decided to give up.

-----

Sense of Self - Another Milestone of Understanding Ourselves Better



Setelah memikirkan dan merenungkan apa yang sedang terjadi sama diri gue, gue memutuskan untuk kembali meminta pertolongan melalui sesi konseling.

Bersyukur banget kali ini tempat langganan konseling gue menyediakan layanan tatap muka (gue biasa konseling di Lifespring, btw. Kebetulan ketemu terapis yang cocok sejak jaman pandemi, jadi yaudah tiap gue ada di fase clueless, gue pasti ke sana).

Setelah gue menceritakan berbagai hal yang menjadi trigger belakangan ini, singkat cerita ada beberapa asesmen yang diberikan terapis pada gue untuk gue kerjakan dalam kurun waktu 2 minggu atau lebih:

Pertama, gue diminta mengerjakan "The ABC of CBT (Cognitive Behavioral Therapy)". Asesmen ini bertujuan untuk melatih cara kita berpikir agar lebih bijak. Belajar untuk mendengar diri sendiri dan apa yang terjadi di sekitar secara realistis, bukan emosional/asumtif.

Gue masih on progress, tapi pas ngerjain asesmen ini gue ngerasa: "Gila ya, pikiran tuh bisa se-berbisa itu efeknya. Belum lagi kalo nyampur sama emosi."

Gatau, gue jadi makin takut aja sama yang ada di pikiran gue, sebenarnya. But anyway, my mental health is much more important. Jadi ini memang harus terus dikerjakan biar terbentuk pola atau habit yang lebih sehat dalam cara berpikir.

Kedua, gue diminta untuk pelan-pelan belajar memisahkan antara:
Siapa saya secara emosional?, dan
Siapa saya secara identitas

Jujur, bagian ini gue juga masih ngablu sih. Masih gak ngerti gimana cara "mengerjakannya". Yang gue inget kata terapis gue adalah:

"Kedua hal itu gak bisa di-blend. Selama ini kamu terlalu terfokus pada narasi diri sendiri bahwa 'Meista itu orang yang perasa, emosional, kalo marah langsung nangis'. Itu benar, tapi jangan abaikan juga fakta lainnya bahwa identitas Meista juga ada."

Kalo yang gue tangkep sih, gue perlu belajar untuk membawa awareness diri secara utuh tentang 'siapa saya' secara lebih obyektif. Misal: gue itu punya kemampuan menulis yang oke, punya kemampuan dan sense desain yang lumayan, tertarik sama media digital untuk ngasih knowledge, awareness, atau persuasi orang-orang, dan lain-lain.

Memang, hal-hal itu  kayak kependam terlalu dalam di benak gue. Gak heran, setiap kali wawancara kerja dulu, gue pasti paling susah ngejawab pertanyaan "Apa kelebihan kamu?". Dan sangat susah juga bagi gue untuk menyusun portofolio dari pekerjaan-pekerjaan dan karya-karya yang udah pernah gue lakukan karena sesusah itu bagi gue untuk me-recall hal-hal baik yang pernah dilakukan.

Yang selalu jadi top of mind ketika gue ditanya tentang diri sendiri adalah pasti jajaran kelemahan dan emosional. Tentang skill, kemampuan, talenta itu bisa jadi cuma kelihatan 5% dari dalam benak gue sendiri.

Ketiga, tentang "Sense of Self". Gue diajak untuk merasa nyaman dengan diri sendiri. Katanya, "...kalo kamu aja udah gak nyaman sama diri kamu, ya orang lain mau bilang hal-hal positif tentang kamu juga kamu ga akan percaya."

Gue terdiam ketika beliau ngomong itu. Kayak...GILA SEMUANYA BENER COY!

Gue gak pernah memvalidasi diri gue sendiri secara positif. Kenapa?
Karena takut pamer.
Karena takut tinggi hati.
Karena katanya kita itu kan harus rendah hati, gabole sombong gabole pamer.

Berbagai pengajaran tentang kerendahan hati sepertinya gue salah pahami dan itu membuat gue malah menjadi orang yang gak bisa percaya diri dan gak bisa memvalidasi diri sendiri, terlebih tentang potensi positif yang ada.

Semua poin tersebut dibantu dengan alat "The ABC of CBT" itu tadi.

-----

Well, sesi 1 jam konseling ternyata membukakan banyak hal terkait diri sendiri. Beliau juga bilang bahwa gue saat ini lagi bingung mendefinisikan 'siapa saya?' karena semuanya lagi blur.

Untuk itu, beliau memberikan asesmen-asesmen ini buat gue kerjakan secara intentional, maksudnya gak nunggu ada masalah hidup dulu baru inget buat ngerjain, tapi bener-bener disiapin waktunya setiap hari, secara rutin.

Oh iya, buat yang mungkin bertanya-tanya "Emang gimana sih ngerjain PR-PR dari psikolog gitu? Duduk diam merenung gitu?"

Kalo dari pengalaman, betul, tentu ada melibatkan duduk diam merenung, tapi pasti ada kegiatan menulis-nya. Karena menulis itu membantu menguraikan kekusutan yang ada dalam pikiran, dan itu menolong kita menjadi lebih sadar bahwa: "oh kayaknya gak seburuk yang dipikirkan deh", "kayaknya masih bisa dipikirkan dengan cara lain deh", "mungkin ini pikiran yang asumtif deh", dan lain-lain.

Gue gatau deh mungkin selain nulis bisa juga ngegambar. Pokoknya pasti ada hal-hal yang secara konkrit dilakukan (berdasarkan saran praktis dari terapisnya ya). Biasanya sih ini gak keliatan kayak tugas/PR/kerjaan gitu. Ini lebih kepada biar kita makin ngerti kita ini lagi kenapa.

Gitu.

Cuman ya memang prosesnya gak bisa instan. Gue pribadi sih gak tau pasti ya kira-kira butuh matokin/targetin berapa lama supaya problematika bareng diri sendiri ini bisa "beres", tapi ya along the way coba dinikmati aja pembelajaran-pembelajarannya, sambil terus jalanin hidup yang serba satset dan cukup bising ini.

-----

Di penutup sesi, gue berterima kasih pada kakak terapis yang masih mau nolongin gue secara profesional hingga saat ini. Ada sedikit hal yang gue tambahkan yang gue bagikan ke beliau, di 10 menit terakhir, dan sesi konseling kemarin diakhiri dengan:

"...luka emosional. Kalau aku trace back nanti lebih panjang, mungkin fokusnya bisa ke arah inner-child wounds. Tapi gak bisa ngomong hari ini karena inner-child itu gak sesimpel itu konteksnya.

Kamu harus attached dengan diri kamu dulu nih. Kamu sadar kamu 'ada' di sini, tapi kamu sadar kamu punya luka masa kecil. Kalo masa kecilnya diutak-utik tapi kamu 'gak ada' di sini, wah itu gak akan selesai. Jadi Sense of Self-nya dinaikin dulu, apapun konteksnya."

So, my job right now is: training my brain how to make an objective narrative about myself, out of realistically and not emotionally.



Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN