Ketika "Mendoakan Seseorang" Menjadi Boomerang Menyesakkan Bagi Diri Sendiri




Bertahun-tahun menjadi anak muda yang dibina dan ditumbuhkan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus melalui wadah persekutuan ternyata membentuk sebuah pola dan standar idealisme terhadap diri sendiri.

Ada beberapa konsep yang gue temukan dan pelajari selama gue menjadi anak binaan persekutuan, salah satunya adalah tentang "mendoakan pasangan hidup".

Sering banget gue dapet cerita, atau bahkan gue mengalaminya sendiri gitu ya, ketika ada orang yang melontarkan pernyataan:

"Iya, udah umur segitu dek. Udah bolehlah itu didoakan calon teman hidupmu."

"Udah boleh kok mulai mendoakan pasangan hidupmu dari sekarang."

...dan hal-hal serupa lainnya yang akhirnya membentuk mindset di gue bahwa: oh, berarti kalo gue gak doain, gue dosa. Salah. Ini harus masuk ke dalam daftar prioritas doa yang penting. Karena katanya keputusan memilih pasangan hidup adalah keputusan terpenting kedua setelah memutuskan mengikut Yesus.

Jadilah kan gue lakukan itu si konsep mendoakan-mendoakan itu.

---

2021-2023 menjadi tahun yang ke sekian kalinya gue melakukan si mendoakan-mendoakan itu tapi tak kunjung mendapat buah atau hasil apa-apa.

2020 gue malah ditolak sama si kawan ketika proses dan perjalanan gue mendoakan makin berwarna abu-abu, membingungkan--karena antara terasa nyaman tapi gimana, antara ini benar tapi ragu juga, sehingga gue memutuskan untuk menyatakan eh taunya dia cuman nganggep gue temen. Just friend, katanya.

Nah, 2021 gue kembali mencoba melakukan hal yang sama, terhadap pria yang berbeda yang gue pilih, ternyata berakhir tak memuaskan juga. Ya yang kali ini sih gue gak harus sampe mengaku atau menyatakan apapun ya. Gue menunjukkan dan memberi sinyal, melakukan effort yang sewajarnya sebagai rekan sepelayanan, tapi sinyal yang gue kasih kayak nembus tembok aja gitu.

Mental.

Gak ada hasil.

Ya dia memang meresponi gue dengan baik, tapi ada beberapa masa yang gue kok ngerasanya aneh dan gak sreg ya; khususnya dengan gaya komunikasi kami. Memang, kelemahannya kami lebih sering ngobrol lewat chat. Entah mengapa kayak gak pernah ada momen ngobrol bareng tatap muka padahal lagi sering pelayanan bareng.

Nah, di situlah titik pahit gue muncul.

Kok sering pelayanan bareng tapi gue berasa jauh ya.

Kok gue kayak udah ngasi effort tapi receiver-nya kayak nyuekin ya.

Kok gini, kok gitu, ...

...dan banyak lagi kok gini-kok gitu yang akhirnya bikin gue capek dan lelah sendiri dengan si kegiatan mendoakan-mendoakan ini.

Sampe akhirnya gue hopeless dan bitter dan gue berani bilang: "mendoakan seseorang itu bullshit."

---

Ngapain gue mendoakan seseorang tapi diri gue sendiri kayak malah ngerasa kopong?

Ngapain gue capek-capek ada di ruang lingkup pelayanan dan persekutuan--malah ada kesempatan beberapa kali pelayanan bareng--tapi gak membuahkan hasil pertemanan yang gimana-gimana?

Ngapaiiiin? Gak ada gunanya.

Bikin capek pikiran aja.

---

Turns out gue menemukan di dalam diri gue bahwa...yang katanya konsep "mendoakan seseorang" itu berasanya kayak lagi 'kejar target'.

Gue sering denger kesaksian orang-orang dalam memulai dan menjalin relasi, yang mereka mendoakan sekian bulan, sekian tahun, kemudian Tuhan kasih jawabannya, dan akhirnya mereka berelasi, bahkan sampai ada yang menikah. Enggak tuh, Tuhan gak kayak gitu di hidup gue.

I'M TRYING TO DO THE SAME THING!

Kurang rohani apa gue aktif sana, aktif sini, mencoba "mendoakan seseorang", gak ada tuh. Gak ada hasilnya.

Kegiatan "mendoakan seseorang" ini malah membawa kelelahan buat diri gue sendiri.

Gue sempet bertanya-tanya, baik pada Tuhan maupun pada diri sendiri: is this the right thing? Sambil mencoba menggali pertanyaan ini, gue coba mengingat kembali saat pertama gue memutuskan untuk mulai "mendoakan-mendoakan" si pria ini.

Pertama kali gue liat abang ini ketika pelayanan bersama di sebuah ibadah alumni. Waktu itu lagi pandemi, dan semua ibadah dilaksanakan secara daring.

Beliau MC, gue pendoa syafaat. Saat itu sebenarnya gue lagi fase pemulihan juga pasca ditolak. Tapi gue memutuskan untuk gak menjauh dari pelayanan dan persekutuan karena gue butuh itu.

Singkat cerita, pas ibadah mulai, ya namanya juga MC ya, mukenye ada dari awal sampai ibadah selesai. Sedetik terbesit di dalam benak gue: "Yha, ganteng juga ni abang."

Hanya itu. Tapi abis itu gue ignore karena lagi patah hati kan. Males dan belum siap untuk memulai lagi yang begitu-begituan. Akhirnya yaudah pelayanan selesai dan gak ada peristiwa yang gimana-gimana lagi.

Beberapa bulan setelahnya, beliau ngontak gue untuk nawarin pelayanan. Long story short intinya akhirnya kami ketemu lagi di pelayanan yang jangka waktunya lumayan lama. Kebetulan saat itu dia orang yang jadi penanggung jawab gue dalam hal informasi terkait si kegiatan pelayanan tersebut (LOL banget gue sok-sok ngerahasiain nama pelayanannya tapi ini juga kalo dibaca orang-orang terdekat pasti ngeh pelayanan apaan πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚).

Sejak saat itu gue memiliki dorongan untuk: Tuhan, gue doain aja apa ya ni orang? Sosoknya abang banget. Feels like ini sosok abang yang gue cari selama ini. Tapi kan belom kenal yak. Boleh gak ya aku doain supaya kenal?

1. "Sosok". Means, kulit luar doang. Memang sih, semua dorongan sepertinya timbul dari mata fisik--jadi yah ini gue mengafirmasi dan mengonfirmasi bukan cuma cowok kok yang lihat fisik. Cewek juga. Turns out pas gue kenal aslinya...ya entar gue cerita di bagian yang berbeda deh.

2. Dijawab gak doanya? Ya dijawab. Kan gue minta pengen kenal, ya dikasih tuh kenal. Setahun pelayanan bareng, tahun depannya pelayanan bareng, BAHKAN tahun ini pun ketemu lagi. 

Nah, ini yang membingungkan dan melelahkan dalam perjalanan gue: kenapa sih konsepnya harus mendoakan orang tersebut?

Jujur gue sekarang jadi bertanya-tanya loh kenapa gue harus mendoakan dia? Seiring dengan perjalanannya ya gue doain...hidupnya. Kan kalo tim panitia lagi sharing kondisi kita jadi tau satu sama lain tuh (yha makin ketauan dah ini pelayanan apaan πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚), ya...itulah bahan yang gue "doain".

Tapi jujur gue sekarang jadi mikir: emang gitu yah konsepnya? Ya gue doain sih apa yang beliau sharing-in, cicilan rumahnya, mimpi S3-nya (yang ini dia direct ngomong ke gue langsung), pekerjaannya (ini juga karena dia yang curhat ke gue), ya gitu-gitu. Cuman...kok gue ngerasa ada yang janggal ya dari proses mendoakan-mendoakan ini? 

Ini orang siapa sih?

Ngapa harus gue doain segala?

Orang asing dalam hidup gue loh dia ini.

Temen yaaa temen begitu, karena satu grup WA doang.

Ngobrol bareng gak pernah, waktu ada momen rapat dan makan bareng juga gak yang gimana-gimana juga. Paling waktu itu sempet dianter pulang dikit dari satu tempat ke tempat lain yang jaraknya deket itu juga cuma ngomongin: "Eh, lu lanjut gak jadi panitia?" Baru gue jawab 1 paragraf, udah nyampe di lokasi saking deketnya gue nebeng.

Udah. Terus kenapa gue harus "mendoakan-mendoakan"?

Ini orang siapeeeeeee?

---

Seiring dengan kebingungan, keanehan yang gue rasain di dalam diri gue, gue cuma bisa menyimpulkan: kayanya gak bener deh nih konsep mendoakan-mendoakan ini. Either konsepnya yang salah, atau gue yang salah prakteknya.

Gue tuh ngerasanya jadi kayak lagi nuntut Tuhan memenuhi apa yang gue inginkan. Iya, meminta sesuatu dalam doa pada Tuhan itu hal yang bener. Doa, beriman, meminta, itu memang Tuhan bilang juga di Firman-Nya kan ("Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu." Matius 7:7).

Udaaaaah, Tuhan, udaaaaaah! Udah kuminta, udah kucari, udah kuketok pintu Whatsapp dan DM Instagramnya juga, tapi gak ada lohh hasilnya..

"Gak ada lohh hasilnya" as in timeline gue. Bukan timeline-nya Tuhan.
Jadi gue udah keburu capek, udah keburu lelah, udah keburu ngerasa gak make sense dengan semua aktivitas mendoakan-mendoakan ini, dan...ya gue bilang ke Tuhan:

"Tuhan, ini gak masuk akal sih si kegiatan mendoakan-mendoakan ini. Udahlah. Kenapa sih aku gak doain diriku sendiri aja dulu biar bener? Kenapa sih konsep mendoakan pasangan hidup itu gak dimulai dari mendoakan diri sendiri dulu? Ketimbang udah keburu naksir sama orang lain tapi realita tak sesuai harapan kan capek, sakit, dan kecewa ya ujungnya."

Capek, sakit, dan kecewa karena gak sesuai dengan apa yang kita harapkan dan bayangkan. Gue gak bisa hitung berapa kali gue nangis gara-gara hal ini--ya padahal dianya juga gak yang gimana-gimana. Dia baik, merespon gue dengan baik, hanya karena guenya lagi si mendoakan-mendoakan itu, jadi berasa ada benih-benih yang ditabur. Sampai pada titik puncak gue lelah dan capek dan ngerasa gak masuk akal melakukan ini semua, gue berhenti.

Konsep "mendoakan seseorang" ternyata menjadi belenggu bagi kebebasan spiritual gue sendiri.

Gue tidak menikmati doa-doa gue.

Gue tidak menikmati hidup gue (karena kinda focus ngedoain si orang itu).

Gue tidak menikmati Allah hadir di hidup gue hari demi hari.

Bodoh, kan?

---

Sekarang gue tengah mengkalibrasi pemikiran dan pemahaman yang tepat terkait "mendoakan-mendoakan" ini. Jujur, gue lumayan bitter jadinya sama persekutuan karena sebuah konsep yang gak masuk akal ini, dan akhirnya ini membawa gue pada keputusan untuk menjauh dari semua trigger itu. Gue mencoba menghindari dan mengambil ruang terhadap si abang itu, dan juga terhadap persekutuan tempat kami bertemu.

Gue gak tau sampai kapan ini berlangsung tapi goals gue adalah: gue pulih.
Seengganya dalam fase-fase menjauh ini gue akan merengkuh setiap proses, perasaan, dan terbuka dengan cara pemulihan yang Tuhan izinkan terjadi.

---

Jadi masihkah saya akan "mendoakan calon teman hidup"?

ENGGAK!

Ngapain.

Gue akan berdoa untuk diri sendiri; meminta pada Tuhan untuk persiapkan gue sebaik-baiknya untuk seseorang yang juga Tuhan perkenankan untuk gue dampingi hidupnya.

Siapa orangnya? Gue gatau. Kali ini gue udah gak mau milih sendiri. Gue memang gak akan menyesali doa gue di awal yang barusan, yang tentang mengenal si orang ini, tapi ya yaudah. Stop sampe situ aja. Terusannya gue hanya akan mendoakan kesiapan diri pribadi gue menjadi pendamping seseorang, siapapun itu.

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN