Percaya sama Tuhan, tapi insekyur sama manusia.

Yep, that's me.

Gue nulis gini abis baca renungan dari warungsatekamu di bagian pertanyaan perenungannya:

"Pernahkah kamu mengalami teduhnya pelabuhan Allah lewat kehadiran orang lain dalam hidup kamu? Siapa yang saat ini sedang memerlukan dorongan semangat dari kamu?"

Abis baca bagian ini gue jadi cukup skeptis dan rada sinis. Mungkin karena hati memang lagi bermasalah.

Gue kinda kurang percaya bahwa Tuhan hadir lewat kehadiran orang lain karena nyatanya orang-orang itu mengecewakan. Tapi memang lambat laun gue sadar juga...ya itu memang fakta yang harus gue terima, bahwa manusia itu mengecewakan. Gue juga pasti mengecewakan buat orang lain.

Lalu gimana caranya buat percaya bahwa Tuhan hadir lewat kehadiran orang lain?

Memikirkan ini rasanya kayak jadi punya dualisme. Seperti kalimat pertama gue di atas: percaya sama Tuhan, tapi insekyur sama manusia.

Pernah gue bertanya-tanya: so what's the point? Haruskah gue sepercaya itu sama manusia kalau katanya Tuhan hadir melalui manusia?

Well, gue butuh waktu lebih untuk merenungkan hal ini. Di saat gue sudah melalui proses mengenali dan menerima diri sendiri, mungkin ini saatnya untuk belajar secara sehat untuk mengenali dan menerima orang lain juga sebagaimana mereka adanya; bukan berdasarkan ekspektasi yang gue pasangkan di awal ketemu mereka (ini konteksnya untuk siapa aja).

Turns out, gue baru inget juga pelajaran beberapa tahun lalu bahwa: bahkan gue sama orang tua aja proses mengenalnya berjalan terus. Gak berhenti. Gak ada ujungnya. Jadi kenapa gue gak terapin mindset dan sikap yang sama terhadap orang-orang lain? (Re: mengenal, menerima, mengenal, menerima)

I know it's hard for me to maintain any kind of relationship. Seringkali ekspektasi terhadap orang lain malah menjadi boomerang dan membunuh gue perlahan-lahan.

Cuman...sepertinya gue perlu terus-menerus mengingatkan diri sendiri bahwa setiap relasi (dalam konteks dan level apapun) adalah anugerah dari-Nya.

Comments

Popular posts from this blog

Enggak Mau Main Piano Lagi Selamanya

MUSIM(an) -- Sebuah perspektif dari cewek yang doyan makan

Cara Jatuh Cinta Sama Indonesia

MAKANAN JIWA: Kasih yang (Tidak) Terbatas

Apakah Relasi dengan Sesama Bisa Menjadi Berhala?

7 Tipe Penumpang Gerbong Pertama dan Terakhir

Suasana Hati Seperti Langit: Mendung

"Rejection" vs "Reflection" - Belajar Dari Lagu MULAN